Happy reading 📖📖 guys
Muncul seorang wanita paruh baya. Senyum lebar merekah di bibirnya. Walau sudah di makan usia, wajah wanita itu tetap terlihat cantik. Tubuhnya yang ramping. Rambut model Wavy berwarna merah marun. Semua itu pasti butuh biaya yang tidak murah untuk perawatannya.
“Oh, Erik sayang. Sudah lama Mama tidak bertemu denganmu,“ ucap wanita itu sambil memeluk Erik.
“Jangan berlebihan, Mom. Seminggu yang lalu kita baru bertemu,“ jawab Erik.
Jadi, wanita ini adalah Mamanya Erik. Barusan apa yang di ucapkannya? Sudah lama tidak bertemu? Bukankah Erik tinggal bersama dengan mereka? Apakah kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga mereka jarang bertemu?
Mama Erik kemudian menatapku. Matanya bergerak, meneliti penampilanku dari atas hingga bawah lalu kembali ke atas, berulang kali. Tatapannya seolah-olah sedang menelanjangi tubuhku.
“Kenalkan Mom, dia kekasihku, Rayla.” Erik menarik pinggangku hingga menempel pada tubuhnya.
“Selamat Malam, Tante. Perkenalkan, nama saya Rayla Pramanta.” Aku berusaha menarik bibir untuk tersenyum.
“Hmm….” Mama Erik masih sedang menilai seperti apakah wanita yang menjadi kekasih anaknya ini.
“Je bent eindelijk thuis, Erik【1】.Apakah gadis cantik ini kekasihmu?” tiba-tiba muncul seorang pria paruh baya.
Aku langsung mengenalinya sebagai Papa Erik karena wajah Erik mirip dengannya.
“Nama saya Rayla Pramanta, Om. Senang bertemu dengan Om.” Kali ini aku tersenyum dengan tulus.
Sikap Papanya Erik membuatku nyaman. Terlihat dengan jelas bahwa Papanya Erik tidak seperti istrinya yang lebih tertarik menilai seseorang dari penampilan luar.
“Rayla, bagus sekali namamu. Selama ini Erik menyembunyikanmu dari kami. Setiap kali kami bertanya kapan akan mengenalkan dirimu kepada kita? Jawabannya selalu nanti, jika waktunya sudah tiba. Akan tetapi, kali ini dia tidak bisa menolak setelah kami memintanya untuk mengundangmu di acara ini,” ucap Papanya Erik.
“Lebih tepatnya mengancam,“ tukas mama Erik menambahkan.
Akhirnya dia sudah selesai men-scanning-ku. Entah nilai seperti apa yang dia berikan kepadaku. Aku tidak mau tahu.
“Sudah, Sudah, Ayo kita mulai acara makan malamnya,” ucap Papa Erik.
Kemudian Papa Erik berjalan terlebih dahulu kembali ke ruangan lalu disusuli Mama Erik. Sambil tersenyum, Erik menggandengku ke tempat meja makan.
Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang sibuk mengobrol. Erik memperkenalkan diriku kepada seluruh anggota keluarganya. Aku tidak dapat fokus mengingat satu per satu karena beberapa di antara mereka memandangku seperti tatapan Mamanya Erik tadi.
Sepanjang acara makan malam berlangsung, aku berusaha tersenyum. Erik dengan manisnya membantu mengambilkan makanan lalu menaruhnya di piringku. Padahal, biasanya saat kami berkencan, dia tidak pernah melakukannya.
“Apa pekerjaanmu, Rayla?” Mama Erik mulai menginterogasiku. Semua orang di ruangan ini langsung berhenti bicara. Mereka terlihat ingin sekali tahu pekerjaan apakah calon istrinya Erik ini?
“Staff Accounting, Tante,” jawabku canggung.
“Sudah berapa lama di posisi itu?”
“Tiga tahun lebih, Tante.“
“Sudah selama itu masih menjadi Staff? Tidak naik pangkat?“ salah satu dari keluarga Erik melontarkan pertanyaan tersebut. Aku tidak ingat dia siapanya Erik, tapi terlihat masih muda. Mungkinkah sepupunya?
“Aku sudah nyaman dengan posisi itu,” jawabku sambil berusaha memasang senyum.
“Bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu memiliki usaha apa?” Mama Erik lagi-lagi memberikan pertanyaan yang membuatku semakin merasa tidak nyaman.
Apa maksudnya menggunakan kata 'pekerjaan apa' kepadaku, kemudian menggunakan kata 'memiliki usaha apa' kepada orang tuaku?
“Orang tua saya sudah bercerai, Tante. Aku dan adikku tinggal bersama Mama. Mama buka usaha bidang kuliner, Restoran makan,” jawabku.
“Oh ....” Setelah itu Mama Erik tidak bertanya apa-apa lagi. Keluarganya yang lain kembali sibuk mengobrol.
Aku ingin secepatnya meninggalkan tempat ini. Aku dapat merasakan Mama Erik dan anggota keluarga lainnya tidak menyukaiku. Jika aku menikah dengan Erik, sudah pasti hubunganku dengan Mama Erik tidak akan berjalan dengan harmonis.
“Pantas saja lo tidak pernah mau kenalin ke kita-kita, Bro. Ternyata manis juga orangnya.“ Seorang pria yang kutebak umurnya tidak berbeda jauh dengan Erik, menggeser kursi kosong di sampingku dan duduk di sana lalu menatapku sambil tersenyum misterius.
“Lo yakin, Rik? Kartu AS-nya tidak semudah itu, loh!” tanya pria itu lagi.
Aku menatapnya dengan heran. Apa maksudnya?
“Shut your mouth, Hen!” Erik terlihat tidak tenang dan memasang wajah sangarnya.
“Hai, nama gue Hendarta Gunawan, sahabatnya Erik dari kuliah. Sebenarnya gue sudah bosan bersahabat dengannya, tapi apa boleh buat. Dia tidak punya pilihan lain yang lebih baik dari gue,” ucapnya sambil tertawa.
Pria yang bernama Hendarta ini terlihat lebih baik dibandingkan dengan anggota keluarga Erik yang lainnya. Tentu saja selain papanya Erik.
“Semoga kali ini berhasil, Rik. Gue bantu doa,” ucap Hendarta lagi.
Lalu dia menoleh padaku. “Kalau Erik berbuat yang tidak-tidak terhadap lo, jangan sungkan-sungkan hubungi gue ya, Rayla. Perlu catat nomor ponsel gue?”
“Tidak perlu! Jangan ganggu Rayla!” tukas Erik sengit. Dia mengelap mulutnya dengan serbet. “Sudah malam. Aku antar kamu pulang, Beb.”
Kemudian dia bangkit berdiri dan menarik tanganku hingga aku mengikuti gerakannya.
“Mau ke mana, Erik?” tanya mamanya.
“Sudah malam, Mom. Aku mau mengantar Rayla pulang.”
Papa Erik pun berkata, “Hati-hati. Lain waktu datang main ke sini lagi ya, Rayla”.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih atas undangan makan malamnya. Selamat Malam.”
Erik menarik tanganku dengan tidak sabar. Aku tidak protes karena aku juga ingin segera meninggalkan tempat itu. Aku tidak akan menginjak tempat ini kedua kalinya.
Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga bangunan rumahku mulai terlihat. Untuk pertama kali ini aku merasa sangat lega ketika sampai di rumah.
“Sorry, jika acara makan malam tadi membuatmu tidak nyaman. Mereka memang seperti itu. Jangan diambil hati, ya.” ucap Erik dengan suara lembut.
Aku menggeleng dan berusaha memasang senyum padanya. “Tidak apa-apa. Mungkin aku butuh waktu, Erik. Tentang menikah, kita bicarakan lagi setelah kamu kembali dari Aussie.”
Aku segera membuka pintu mobil lalu berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, aku menghela napas dengan lega. We don’t have future, Erik. (Kita tidak punya masa depan, Erik)
*****
Tepat pukul setengah dua belas, aku beranjak keluar dari kamar. Perutku sudah sangat lapar. Aku berjalan ke ruang dapur dan menemukan Tante Fifi sedang mencuci piring.
Berbagai lauk pauk terhidang di meja. Tanpa menunggu lagi, aku segera mengambil piring dan menuang nasi ke dalamnya kemudian mulai makan dengan lahap.
“Masakan Tante enak banget!” ucapku memuji.
“Itu masakan mama kamu. Tante tadi ke Restoran dan mengambil beberapa lauk pauk untuk dibawa pulang. Mama kamu sempat protes.“ Tante Fifi mengelap tangannya yang basah lalu berjalan ke ruang tamu.
Aku hanya mengangguk. Tidak berapa lama aku menghabiskan semuanya tanpa sisa.
Saat aku masih kecil, mama tidak begitu pintar memasak. Sejak ditinggal papa, untuk membiayai kebutuhan kami dan pendidikan kami, mama terpaksa bekerja di sebuah Restoran kenalan temannya.
Mama di tempatkan bagian dapur. Dimulai dari mempersiapkan bahan-bahannya, memotong bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak, sampai akhirnya mau tidak mau mama mesti terjun dalam memasak karena terkadang kekurangan tenaga kerja.
Lama-kelamaan mama pun jadi pintar memasak. Kemudian bersama temannya, mama memutuskan untuk mencoba buka usaha. Berkat ilmu yang mama pelajari saat dia bekerja di Restoran tersebut, usahanya berjalan lancar hingga sekarang.
Khusus di hari Sabtu dan Minggu, Restoran mama paling ramai pengunjungnya sehingga mama keteteran melayani tamu.
Awalnya mama meminta Maylin untuk membantunya. Sebagai gantinya, mama akan memberinya upah. Namun, baru sehari Maylin part time, karena mama terlalu cerewet, Maylin tidak mau melanjutkan part timenya.
Akhirnya, mama mencari pekerja yang bersedia part time di hari Sabtu dan Minggu.
Aku melihat Tante Fifi sedang menonton acara televisi. Aku pun memutuskan duduk di sampingnya.
“Bagaimana acara semalam? Lancar?“ tanya Tante Fifi memulai percakapan.
“Seperti keinginan mama, rumah Erik besar dan megah bak istana. Ada taman bunga juga. Perabotan di dalam semuanya terlihat berkualitas tinggi. Hidangan makanannya seperti hotel bintang lima.”
Tante Fifi menoleh ke arahku. “Tante tidak bertanya tentang rumahnya. Yang Tante tanyakan adalah bagaimana acara makan malamnya?”
“Lancar. Sesuai keinginan mama,” gumamku pelan.
Tante Fifi menghela napas. “Selama ini Tante selalu diam, tapi karena semalam Erik sudah memperkenalkan dirimu kepada orang tuanya, Tante ingin menyampaikan pemikiran Tante ini.”
Sesaat tante Fifi diam sejenak, sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya. “Apakah Erik benar-benar pria yang terbaik untukmu? Dia tidak pernah masuk ke dalam rumah, memperkenalkan dirinya kepada Tante dan Maylin. Dia hanya menemui mamamu di Restoran. Apakah dia tidak menganggap Tante dan Maylin sebagai salah satu bagian dari keluarga kamu?”
“Bukankah mama bilang, Erik adalah pilihan yang terbaik?” balasku dengan sinis.
“Bagaimana dengan kata hatimu?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan Tante Fifi.
“Yang menjalaninya adalah kamu, La. Tante tidak ingin kamu menyesal dikemudian hari.”
“Aku dan Erik hanya berpacaran, Tante. Belum akan menikah,” tuturku.
Tante Fifi terlihat terkejut. “Erik sudah mengenalkanmu pada keluarganya dan kalian masih belum bahas tentang pernikahan?”
Apakah setiap berpacaran harus di akhiri dengan menikah? Kalau hanya berpacaran dapat menjaga hubungan dengan baik, untuk apa menikah?
Setelah menikah, kita akan melihat semua sisi keburukan pasangan masing-masing. Lalu mulai merasa tidak cocok. Dimulai dari meributkan hal yang sepele hingga sampai suatu hari satu kata kiamat itu pun tiba yaitu cerai.
Suara dering ponselku berbunyi. Menyelamatkanku dari pertanyaan Tante Fifi. Aku menatap sebentar tulisan yang muncul di layar ponsel, Erik’s calling.
“Ada apa, Erik?”
“Aku sedang dalam perjalanan kesana. Sekitar lima belas menit lagi sampai. Bersiap-siap lah!”
Aku menghela napas dengan berat. Tante Fifi masih menatapku, memperhatikanku.
“Pikirkan baik-baik apa yang Tante katakan tadi. Restin memang menginginkan yang terbaik untuk kalian, tetapi terkadang apa yang dianggap terbaik oleh orang tua, tidak semuanya benar untuk anaknya,“ ucap Tante Fifi.
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan ke kamarku untuk bersiap-siap.
【1】Akhirnya kamu pulang kerumah
Jangan lupa tambahkan ke Favorite lalu tinggalkan Komentar, berikan Vote, Like dan Dukungannya ya guys. Terima kasih 🙏🤗 Loph you all 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
☠Mia Novita
semangat terus kakk, Saling support ya, sukses terus♥️
2022-06-05
1
Lina Zascia Amandia
Semangat ya!
2022-05-24
1
mumu
sama aja Erik dg laki2 yg jemput perempuannya di simpang rumah udh kesel 😤
2022-05-24
1