Happy reading 📖📖 guys
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku bergegas merapihkan barang-barangku. Deon, rekan kerjaku, yang melihat gerakanku, sambil tersenyum mengejek, berkata, “Dijemput sama yayang lo, La? Enaknya yang punya Doi. Lo kalau punya teman cewek yang lagi single, kenalin ke gue, dong.”
“Sorry. Gue tidak punya banyak waktu dengerin teman gue nangis karena sakit hati sama lo. Lebih baik gue gunakan waktu untuk lembur bikin laporan atau audit sampai tengah malam. Dapat uang lemburan. Lebih bermanfaat,” jawabku.
Deon tertawa. “Nakal sebelum nikah itu kan wajar, La. Gue lihat, lo juga tidak beda jauh sama gue. Sejak lo kerja disini, sudah berapa kali lo ganti pacar?”
Aku menjinjing tas ke bahu lalu berjalan mendekati meja Deon. Kuletakkan kedua tangan di mejanya.
“Seenggaknya gue sedang dalam status single, saat gue melanjutkan hubungan yang baru. Sedangkan lo? Yang satu saja belum lo kelarin, sudah ada yang kedua, ketiga … bisa gue tebak, lo pasti keseringan salah manggil nama mereka,” ucapku sambil memasang senyum termanis padanya.
Deon tertawa terbahak-bahak. “Lo memang paling mengerti gue, deh, La. Kenapa bukan lo sih, yang jadi kekasih terakhir gue?”
“Masih banyak pria lain di luar sana. Gue tidak se-hopeless itu sampai milih lo, Deon. Kalo pun tinggal lo satu satunya pria di dunia ini, gue lebih memilih jadi perawan tua, deh!” Aku tertawa mengejek lalu melambai tangan padanya dan berjalan keluar meninggalkan ruangan.
“Kita mau dinner ke mana?” tanyaku begitu sudah masuk kedalam mobil Erik.
“Bogor. Ada tempat dinner romantis di sana. Dijamin, Say pasti suka, deh!” Erik tersenyum lebar. Dia menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Sedangkan satu tangannya yang lain memegang setir.
Aku menatapnya sejenak lalu menoleh ke arah jalanan. Aku kembali teringat ketika aku bertemu dengannya pertama kali.
Saat itu, aku mengantar mama ke tempat acara kumpul-kumpul dengan temannya. Kebetulan salah satu teman mama adalah tantenya Erik.
Biasanya mama tidak pernah memintaku untuk mengantarnya. Tapi, entah mengapa hari itu mama memaksaku. Bahkan kami hampir bertengkar kalau bukan tante Fifi yang segera menjadi penengah kami.
Akhirnya, dengan berat hati aku mengantar mama. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan apa pun di antara kami.
Ternyata, saat itu mama sengaja meminta salah satu dari temannya untuk mengenalkan keponakannya padaku. Di situlah aku bertemu dengan Erik. Kami bertukar nomor dan mulai berhubungan.
Hampir setiap hari, Erik terlebih dahulu menghubungiku dan mengajakku kencan. Setelah beberapa kali berkencan, Erik pun menyatakan keinginannya untuk melanjutkan hubungan kami lebih dari sekadar teman.
Dia tidak bertanya apakah aku bersedia atau tidak. Dia hanya mengungkapkan keinginannya lalu statusku telah berubah menjadi kekasihnya.
Itulah Erik. Segala sesuatu dia yang memutuskan. Dari tempat berkencan, jam kencan, bahkan barang-barang yang dia belikan untukku. Dia tidak pernah bertanya padaku, apakah aku menyukainya atau tidak? Apakah aku setuju atau tidak?
Sebenarnya, menjalani hubungan dengan pria yang bersifat lebih dominan seperti Erik ini adalah hal yang pertama bagiku. Namun, anehnya aku tidak ambil pusing dengan sikapnya itu. Aku malah cenderung menuruti semua kemauannya.
Pernah disuatu Sabtu, pukul dua belas siang, dia masih nekat menyetir ke Bandung untuk sekadar jalan-jalan ke Paskal Shopping Centre, lalu berakhir dinner di The Valley Bistro. Akhirnya, jam dua belas tengah malam kami baru sampai rumah.
Tante Fifi menungguku di ruang tamu saat itu. Untuk pertama kalinya tante menegurku dan aku merasa sangat bersalah padanya. “Lain kali kalau pulang selarut ini kabari dulu, La. Tidak baik seorang gadis pulang terlalu larut malam.”
Hal itu tidak terjadi hanya sekali, tetapi beberapa kali. Tidak peduli apakah esok hari masih harus bekerja atau tidak, apakah aku letih atau tidak, jika Erik ingin pergi kesuatu tempat, sejauh apapun tempat tersebut dia tetap meluncurkan mobilnya ke tempat tujuan. Karena itu, kami keseringan sampai tengah malam dirumah.
Tante Fifi dan Maylin terlihat tidak menyukai Erik, tetapi mereka tidak mengucapkannya karena mereka menghargai keputusanku.
Yang paling bersemangat hanyalah mama. Setiap mama menemukanku ada di rumah, maka yang ditanyakan adalah bagaimana hubunganku dengan Erik? Dan aku hanya menjawab dengan singkat “Baik”.
Erik adalah seorang anak tunggal dari pengusaha kaya raya. Hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Tempat Erik bekerja pun adalah salah satu dari anak perusahaan papanya yang kelak akan diwariskan padanya.
So, orang tua mana yang tidak akan menolak anaknya dijodohkan dengan pria tajir? Toh, orang tua itu juga akan terciprat keuntungan dari calon menantunya yang kaya raya. Bahkan, tidak peduli apakah anaknya pantas bersanding atau tidak dengan pria yang terpaut tiga belas tahun itu.
Happiness is about collecting material things - Kebahagiaan diukur dari materi yang terkumpul. Hal Itulah yang ada di dalam otak mama.
Aku menoleh ke arah Erik. Alisnya berkerut. Memandangku dengan tatapan bertanya. “What?”
Aku kembali menatap ke jalanan. “Nothing!”
Baru kusadari mengapa aku masih terus menjalani hubungan ini. Ternyata alasan dibaliknya karena aku ingin mengecewakan mama. Ya, Tuhan, jiwa pembangkangku benar-benar tidak terselamatkan.
I’m sorry, mom. But you forced me to be like this. (Maafkan aku, Ma. Kamulah yang membuatku menjadi seperti ini.)
*****
Akhirnya kami sudah sampai di restoran dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Perutku sudah sangat lapar. Jadi, saat aku melihat buku menu, aku sudah akan menyebutkan pesananku, tetapi Erik terlebih dulu menyuarakan.
“Satu tenderloin steak, Satu sirloin steak, Satu caesar salad, dan Dua avocado coffee latte.” Kemudian dia menutup buku menunya dan mengembalikan kepada waitress.
“Tolong siapkan air mineral satu gelas. Dengan es batu yang banyak. Thank’s!” Aku memaksakan senyum kepada waitress dan mengembalikan buku menu padanya. Ya, semoga air dingin dapat mendinginkan otakku yang sedang mulai mendidih.
Butuh waktu menunggu dua puluh menit ketika akhirnya pesanan kami datang. Perutku sudah berjoget ria sejak tadi. Kalau saja Erik tidak memesan steak, aku tidak perlu menunggu selama ini.
“Enak, kan, makanannya?“ tanya Erik, ketika melihatku segera mengiris daging dengan cepat dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku. Aku hanya balas mengangguk.
“Besok malam ada acara dinner karena aku mau ke Aussie. Mama memintamu ikut hadir ke acara itu.”
Mataku mendelik ke arahnya saking terkejutnya. “Acara itu tidak hanya orang tua kamu saja, kan? Masih ada anggota keluarga kamu yang turut hadir? Itu adalah acara keluarga, aku merasa tidak enak. Lebih baik aku tidak perlu hadir.”
Erik tersenyum lebar lalu menjawab, “Kamu adalah calon keluarga kami. Setelah aku menyelesaikan studi di sana dan mendapatkan jabatan GM, kita akan menikah.”
Kalimat itu bagaikan petir yang tiba-tiba datang dengan suara menggelegar. Jantungku berdebar sangat cepat. Nafsu makanku hilang entah kemana. Padahal, tadinya aku merasa sepotong daging sapi ini tidak akan cukup mengenyangkan perutku.
Erik sepertinya tidak memperhatikan perubahan raut wajahku karena dia masih melanjutkan ucapannya. “Aku sudah searching penyedia jasa Wedding Organizer dan ketemu tiga WO yang rekomendasinya bagus. Kita akan foto prewed dan acara pernikahannya simple. Kita adakan acara makan-makan di sebuah restoran hanya dengan keluarga dan teman dekat saja.“
Aku memicingkan mata, tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Erik.
Kudengar dari teman yang akan menikah yaitu dia dilamar dengan romantis, lalu mencari penyedia jasa Wedding Organizer yang dapat diandalkan kemudian menggelar acara pernikahan dengan indah dan berkesan, yang tidak akan pernah dilupakan oleh sepasang pengantin.
Yah, jika pada akhirnya akan berujung dengan perceraian. Aku tidak bermaksud mendoakan mereka bercerai, loh! Aku hanya menyatakan apa yang ada di dalam pemikiranku.
Ada berapa persen suami istri yang tetap hidup bahagia hingga ajal mereka tiba? Ada berapa persen anak-anak yang menjadi korban perceraian dari orang tuanya? Ada berapa persen pria yang menepati janjinya sehidup semati saat mengucapkan janji suci pernikahan di altar?
Nyatanya, setelah berumah tangga, seiring berjalannya waktu mereka pun lupa janji mereka saat itu.
“Kamu pasti bingung ya, Beb? Mengapa pernikahan kita dilakukan secara sederhana? Sebenarnya ini karena umurku. Aku merasa malu di umur segini baru menikah.” Ungkapan Erik membuatku kembali sadar dari pikiranku yang sedang berkecamuk.
“Kita bicarakan lagi setelah kamu balik dari Aussie, ya,“ ucapku sambil mengambil minum dan meneguknya dengan cepat.
Aku berusaha keras mengontrol debaran jantungku dan perasaan tidak nyaman hingga membuat seluruh tubuhku gemetar. Sebisa mungkin aku tidak memperlihatkannya kepada Erik.
“Ok. No problem, tapi kamu harus janji, ya, Beb. Kamu akan setia menungguku sampai aku balik dari Aussie. Deal?” Pertanyaan erik ini terdengar seperti anak kecil yang sedang membuat janji bermain bersama di esok harinya.
“Apa aku terlihat seperti *P*laygirl?” tanyaku.
“Bukan begitu maksudku, Beb. Kamu tahu kalau usia kita terpaut jauh, kan? Aku khawatir saat aku tidak berada di sampingmu, ada pria lain yang umurnya tidak berbeda jauh denganmu, lalu berusaha merayumu dan kamu memilih dia.”
Erik menggenggam kedua tanganku dan kembali berkata, “Selama aku di Aussie, janji padaku, jaga dirimu untukku.”
Aku hanya mengangguk tanpa dapat mengucapkan sepatah kata.
Setelah makan malam berakhir, Erik menyetir mobilnya kembali ke Jakarta. Sepanjang perjalanan dia bercerita mengenai pekerjaannya. Namun, aku tidak menyimak.
Pikiranku melayang kembali percakapan tentang menikah. Menikah? Ya, ampun! Hal ini tidak ada dalam kamus hidupku. Aku harus mencari cara untuk membatalkan keinginan Erik ini.
“Besok aku jemput jam tiga sore. Ingat, make up yang cantik ya, Beb,” tiba-tiba terdengar suara Erik hingga aku tersadar dari pikiran.
Aku menoleh ke kiri. Ternyata sudah sampai di rumah. Segera kulepas seat belt dan memberi kecupan kilat di bibir Erik. “See you tomorrow.”
Kemudian aku turun dari mobil. Aku membalikkan tubuh, menatap Erik yang sedang menurunkan kaca mobil. “Tidak mau mampir sebentar?” tanyaku.
Erik menggeleng. “Sudah larut malam. Aku masih harus menyetir kerumah. Ingat, kan, kalau jarak dari rumahku ke rumahmu butuh empat puluh menit?“
Aku mengangguk lalu melambai tangan padanya dan berjalan masuk kedalam rumah. Erik selalu menggunakan alasan itu untuk menolak mampir.
Jangan lupa tambahkan ke Favorite lalu tinggalkan Komentar, berikan Vote, Like dan Dukungannya ya guys. Terima kasih 🙏🤗 Loph you all 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Sophia Verheyden✨
gila sih ini, hubungannya gak sehat bgt. ini namanya si cowok terlalu egois.
2022-04-20
1
Sophia Verheyden✨
maaf kayanya ada kata yg kurang, kak
mksdnya disitu karena aku tidak ingin mengecewakan mama. gitu kali ya, aku hanya bantu koreksi, kak maaf ya 🙏🏻
2022-04-20
1
Sophia Verheyden✨
mamanya gak belajar dari pengalaman, apa?
2022-04-20
1