Keadaan masih memaksa gue untuk bungkam dan melihat dengan mata yang memburam karena air terkumpul di pelupuk mata.
Arven datang dari belakang gue, dia menarik gue dari tempat semula gue berdiri. Kaki gue melemas seketika, membuat tongkat yang gue pakai itu terlepas dan jatuh hingga lantai dasar dapur.
Kak Lacka menoleh ke sumber suara. Melihat Arven yang merengkuh bahu gue membantu berdiri, melawan kaki kiri gue yang hampir mati rasa. Kakak Arven juga melihat ke arah kami berdua berdiri. Terlintas di otak gue untuk meminta maaf dan pergi secepatnya dari sana. Tapi gue beku, terdiam dalam ketidak percayaan.
Akhirnya, kami berempat duduk berhadapan di kursi beranda samping. Tak ada yang berani memulai berkata. Tak ada pula senyum yang terukir di antara kami berempat. Mata gue menatap ke ruang hampa. Arven dan kak Hefni juga saling bertatapan namun tetap terdiam.
"Nggak ada penyelesaian dengan kediaman" Kak Hefni mulai angkat suara. Gue cuma menitikkan air mata yang tak tertampung lagi.
Nggak tahu kenapa, tapi rasanya berat kalau harus pisah dari Arven secepat ini. Kalau pun mungkin rasa ini udah berubah, tapi gue seperti jadi satu-satunya orang yang terlanjur memahami semua tentang Arven hingga rasanya berat bila harus melepas. Posisi yang membingungkan, ketika dua sisi hati saling uring-uringan.
"Jangan nangis, ini bukan akhir dari segalanya." Arven berdiri dari duduknya.
Gue nggak sanggup menyusun kalimat untuk mendukung pernyataan Arven. Gue biarkan waktu berlalu dengan sewajarnya. Malam yang canggung telah berlalu. Bahkan gue segera pergi ke kamar setelah kejadian itu. Dan nggak mengizinkan siapapun untuk ganggu gue sampai pagi.
Penat. Yang gue lakuin ini seperti drama atau permainan anak kecil yang kalah karena realita kehidupan orang dewasa. Kalau hanya gue yang merasakan sakit, bisa aja gue terima. Tapi kalau harus ada orang lain yang merasakan sakit yang sama, maaf gue nggak sejahat itu.
Gue introvert, nggak seperti Kak Lacka yang bisa bergaul sama siapa aja. Karena itu nggak banyak orang yang bisa memahami gue. Dan Arven merupakan salah satu orang yang mengerti gue, that's why gue nggak bisa sakitin orang yang peduli sama gue. Itu yang gue pikirin semalaman sampai akhirnya bangun pagi ini.
"Kak Hefni sama Arven mana Kak?" Tanya gue.
"Pulanglah." Jawab Kak Lacka dingin, sembari mengambil air mineral dari kulkas di dapur.
"Ooh." Gue berlalu pergi.
Belum setengah jalan pergi dari dapur yang terasa panas, Kak Lacka yang masih berdiri di depan kulkas menutup pintunya dengan kasar dan menarik tangan gue sama kasarnya.
"Apa sih Kak!" Teriak Gue berusaha melepaskan cengkeraman tangannya dari pergelangan gue.
"Duduk!" Perintah Kak Lacka yang membuat sidang dadakan pagi itu.
Serentak gue menatapnya tak suka. Siapa yang suka diperlakukan kasar dan seenaknya sendiri. Apa yang seperti itu masih bisa disebut saudara yang baik.
Tatapan matanya yang seperti hendak membunuh itu berubah menatap tajam ke arah leher gue yang terekspos. Buah karya Arven yang tak sempat gue hapus itu, tampak merah di kulit yang bersih ini.
"Kenapa?!" Tanya gue dengan nada tinggi. Kak Lacka masih melihat ke leher kanan gue yang membekas merah di sana.
"Lo pacaran sama Arven?!" Tanya Kak Lacka dengan nada penuh penekanan.
"Iya. Jauh sebelum Kakak kenal Kak Hefni. Is that something wrong?!" Jawab gue tanpa rasa takut.
"Huh? Gue nggak nanya berapa lama kalian pacaran tuh." Kak Lacka memandang gue dengan tatapan merendahkan.
"Terus kenapa?" Tanya gue lagi masih tak terima.
"Kakak mau kalian putus." Ucapnya singkat.
Tapi aneh, karena mendengar Kakak mengatakan itu, aku sama sekali tak takut. Bahkan aku terlalu berani untuk menghadapi kenyataan jika benar-benar membuat Kak Lacka marah setelahnya.
"Oh."
Yah, terkadang mencoba bodo amat tanpa komentar adalah jalan pintas ketika berbagai alasan yang gue ucapin tak dapat diterima orang lain. Mulai bosan dengan siklus kehidupan dimana gue selalu kalah dari orang lain. Dan akhirnya makhluk introvert ini memilih untuk mencari suasana sepi sendiri.
Dua minggu lamanya Kakak nggak mengajak gue ngobrol selayaknya saudara. Gue yang terbiasa diam ini pun hanya menyesuaikan. Hanya jika kita tinggal berdua. Kakak selalu menunjukkan attitude baik di depan Bokap dan Nyokap karena gue tahu Kakak adalah sosok yang paling nggak mau bikin orangtua sedih.
"Wih, kenapa nih, tiba-tiba aja senyum sendiri." Suara kak Lacka seraya tangannya menyambar HP yang gue pegang. Biarlah, toh gue nggak punya rahasia apa-apa, Pikir gue.
"Kak, ini gips kapan bisa dilepas sih? Libur semester tinggal beberapa hari,'kan?" Tanya gue mengangkat kaki kiri gue yang gatal tak tertahan di dalam balutan tebal gips.
"Emang udah bisa jalan? Ntar kambuh lagi tahu rasa lo." Ujarnya Asal mangap.
"I'm okay, tapi, keknya kakak khawatir banget sama adiknya ini." Ledek gue sambil ketawa-tawa di dekat kak Lacka duduk.
"Bodo amat." Jawabnya acuh, melirik gue yang masih senyum-senyum.
Lega rasanya, akhirnya Kak Lacka kembali. Mungkin sekarang sedang ada drama yang dimainkan untuk tampak biasa aja, dan melupakan yang lalu. Tapi gue hanya perlu mengikuti alur dan benar-benar mengakhiri apa yang sudah terjadi. Semoga memang semudah itu.
"Vi, kenal cowok ini nggak?" Tanya kak Lacka menunjukkan foto seseorang yang nggak gue kenal.
"Enggak, siapa?" Tanya gue balik.
"Dia terkenal di sekolah lo, masa nggak kenal? Lo nggak punya temen apa?"
"Gue emang nggak punya temen." Gue menyetujui fakta menyakitkan itu.
"Nih, gue kasih tahu ya, dia itu anak kepala sekolah, dia bisa semua cabang olahraga di sekolah kita, dan dia tuh BERPRESTASI, penerus gue banget." Cerocos kakak panjang lebar.
"So what? Gue ke sekolah naik Lambo biasa aja tuh." Kata gue pongah.
"Kalau lo bisa akrab sama dia, gue yakin lo bisa balas dendam sama temen sekelas lo."
"Gue? Akrab sama Gibran? Anak paling songong di sekolah?"
"Lo tahu Arven juga sombong sama oranglain, tapi luluh sama lo, masa dapetin Gibran aja lo nggak bisa."
"By the way, tahu dari mana gue mau balas dendam sama temen sekelas?" Gue mengerutkan dahi menatap Kakak.
"Info apa sih yang nggak gue tahu." Ujar kakak, mengacak-acak rambut gue.
"Ya, ya, ya." Ucap gue menarik kembali HP gue dan lari ke kamar.
Sejujurnya, perkataan Kakak cukup membuat rasa kepo dalam diri ini kembali muncul. Memengaruhi otak untuk turut menggerakkan jari tangan dan mencari nama yang sama.
"Nah! Langsung stalking, hati-hati, jangan pake hati." Kejut Kakak.
"Apaan sih?" Spontan aja gue menutup penelusuran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Polly🥰
🔥🔥🔥
2020-12-17
0
Lay -Amelie
Olivia secantik authornya nihh
2020-12-16
1