Back to the reality...
"Maaf, emm.. pagi..," Sapa gue, masih mati gaya.
"Pagi.." Jawab Arven, tanpa berani menatap mata gue. Bahkan gue sendiri juga cuma bisa nunduk. Gue buru-buru lari ke kelas.
"Itu cewek IPA ya? Cantik gengs." Samar masih terdengar suara salah seorang teman yang berdiri di sebelah Arven tadi.
"Ck!, apaan sih lo." Suara Arven masih terdengar.
Gue tersenyum simpul sambil terus berjalan cepat. Dan ternyata satu hal yang gue benci, terjadi sama gue pagi ini. Teman kelas setahun gue yang nggak layak disebut 'Teman' tiba-tiba aja hening saat gue masuk kelas. Mereka lemparkan tatapan aneh ke arah gue.
Ada apa sih ini!
"Kursi gue mana?!" Tanya gue dengan suara agak nyaring. Tapi nggak ada yang kasih jawaban buat gue. Baru kali ini gue dicuekin seisi kelas.
Sejujurnya ini bukan kali pertama gue mendapat perlakuan kaya gini. Mungkin ketiga atau empat kalinya tahun ini. Gue emang nggak asik dalam bersosialisasi dengan teman sekelas, tampak introvert dari luar. Dan gue tahu banyak yang nggak suka dengan sikap maupun sifat gue itu. Yup, gue cewek 17 tahun yang moody.
Kalau udah kaya gini, ruang musik jadi tempat perlindungan paling aman versi gue sendiri. Tempatnya sepi, bahkan banyak yang bilang kalau sering ada penampakan di situ, tapi gue mah biasa aja. Gue pernah dengar suara kaki melangkah pelan, dan makin mendekat, tapi nggak ada apa-apa. Tergantung mindset masing-masing kalau menurut gue.
Lunchbox Doraemon sudah di pangkuan, isinya sandwich kesukaan gue. Berhubung belum sarapan, gue sikat abis semuanya. Udah kenyang plus bete makan di ruangan sepi, sendiri. Gue inisiatif untuk langsung keluar begitu gue lihat jam ditangan gue. Tapi suara beberapa orang ketika gue buka pintu ruangan itu, sempat membuat gue terhenti.
"Tim lawan kayanya banyak banget supporternya."
"Yang bakal menangin pertandingan itu kerja kita, bukan suara riuhnya supporter. Let see."
"Tapi Arven mau nembak cewek abis pertandingan ini."
"Bodo amat. Kalau perlu gue...."
Gue bukan ahli nguping pembicaraan orang. Sepotong dialog itu aja yang gue dengar dari pembicaraan tiga manusia yang berjalan melewati lorong depan ruang musik. Sebagai manusia yang terlahir tanpa keinginan kepo dengan urusan orang, gue segera keluar dari ruang musik menuju ke tempat tujuan gue sendiri.
"Kok masih sepi?" Tanya gue kepada adik kelas yang gue nggak tau namanya.
"Iya kak, masih acara pembuka, bentar lagi juga ramai." Jawabnya.
"Kok bisa gitu?" Tanya gue sedikit penasaran. Karena biasanya gue nggak pernah datang ke acara-acara beginian.
"Lihat aja di sana kak!" Kata cewek di sebelahnya, seraya menunjuk ke arah pintu utama lapangan basket tertutup ini.
"Biasa, kek nggak tau aja, mereka tuh ngantri mau liat kakak gue." Jawab cewek di sebelahnya. Gue agak nyinyir, denger jawaban cewek tadi. Tapi, gue masih terus nanya-nanya sampai gue hampir lepas dari jati diri gue sebenarnya.
"Emang kakak lo siapa?" Tanya gue, kali ini kepo beneran.
"Lihat aja nanti." Jawabnya, masih cuek.
Nggak lama, gue masih duduk di dekat dua adik kelas cewek yang masih belum kenal itu. Gue lihat jam di tangan gue, jam 8.14 a.m. Kedengaran suara histeris cewek-cewek dari pintu utama. Cewek di sebelah gue tadi ikut-ikut teriak. Tapi cewek disebelahnya langsung membungkam mulut cewek di sebelah gue itu.
Nggak bisa dibohongi, gue pun memfokuskan mata gue ke satu titik dekat dengan sumber suara terbesar kala itu.
"Biasa aja kalii, lebay banget sih!" Cegah cewek itu.
"Jadi, kakak lo yang mana?" Tanya gue, setelah suara histerisnya cukup reda.
"Yang itu tuh, centernya. Tapi dia udah punya pacar." Kata cewek itu, menunjuk ke arah sesosok tinggi dan ganteng bagi gue. Bagi mereka juga sih. Dia, Arven.
Arven melambaikantangan ke arah kursi penonton. Entah itu ke arah gue atau adiknya ini, tapi yangjelas itu sempat membuat seisi lapangan teriak-teriak kacau. Mungkin gue bukantipe cewek yang begitu perhatian ke cowoknya. Ternyata cowok gue lebih populer dari yang ada diekspektasi gue.
Nggak heran gue bisa mengakui kepopuleran Arven sekarang ini. Faktanya, para guru pun sampai rela duduk di kursi penonton untuk memberi semangat. Sampai pertandingan dimulai, ternyata nggak ada reaksi apa-apa dari adiknya. Sekalipun Arven cetak poin, adiknya ini santai aja. Malah sibuk mainan HP sendiri.
"Kakak kamu pernah bilang apa-apa gitu tentang pacarnya?" Tanya gue, masih melihat cewek itu, yang sok cuek mirip kakaknya.
"Pernah sih.., katanya ceweknya cantik, baik, pinter, setia meski kadang suka manja." Jawabnya, masih tetep fokus sama game di gadgetnya.
"Terus terus?"
"Kepo amat lu kek Dora." Celetuknya.
"Emangnya salah kalau aku suka sama kakak kamu?"
"Ah terserah aja lah." Ucapnya sembari berlalu pergi dari kursi penonton.
Udah cukup lama pertandingan berlangsung, dan gue mulai bosan karena perolehan yang masih seri.Akhirnya gue memutuskan untuk pergi dari kursi penonton, lari ke arah parkir mobil. Dan keluar membebaskan diri. Sorry Ven, abisnya gue paling nggak bisa diminta nunggu.
Yang penting gue udah absen. Pikir gue singkat.
Nggak jauh-jauh amat gue pergi, gue cuma ke cafe dekat sekolah, beli Cappuchino, abis itu balik ke sekolah jalan kaki. Mobil masih gue parkir di depan cafe.
Gue taruh Cappuchino hangat di loker Arven, tanpa ketahuan. Terus balik ke tempat gue parkirkann mobil. Tancap gas ke toko alat musik, jaraknya lumayan jauh dari sekolah dan dari rumah gue, jadi sebenernya nyokap nggak pernah izinin gue pergi ke toko ini kalau sendiri.
"Iya.., makasih Kak." Kata akhir gue, sekalian pamit sama mbak pelayan, sambil nenteng gitar.
Ya, gue pengen banget bisa main gitar, meski gue nggak tahu siapa yang bisa ajarin gue. Tapi seenggaknya gue udah berhasil bawa pulang gitar seharga dua juta tiga ratus ribu. Itu uang gue sendiri dari ATM, hasil dari penghematan gue selama tiga bulan. Sehemat-hematnya gue, gue masih nggak bisa bawa uang saku dibawah seratus ribu. Karena gue orangnya super cepet, kalau disuruh habisin duit.
Karena gue keluar dari toko alat musik baru jam 8.37 a.m, jadi gue putusin buat ngisi perut di resto nggak jauh dari rumah. Biar enak kalau mau pulang. Tapi mobil masih gue bawa. Biar nyokap nggak banyak-banyak introgasi gue, kenapa gue bisa pulang lebih cepat.
Baru masuk ke restoran, perasaan gue nggak enak. Tapi, gue anggap itu pengakuan perut gue yang kelaparan. Bahkan ini sebenernya bukan plan dari awal, ini cuma plan dadakan, yang disebabkan oleh demo di dalam perut gue ini. Sampai gue selesai makan, gue masih deg-degan aja. Bahkan sampai di dalam mobil dan nyanyi adalah penghiburnya.
"Aaaaa...!" Semuanya jadi gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
A.F
Kepo amat kayak dora 😂
Aduh, kecelakaan nih pasti
2020-06-21
0
Arum
hai kak aku udah mampir nih🌻
mampir juga ya ke novel aku🤗
2020-05-10
1