October 20
Menikmati makan malam di tepi pantai. Jangan tanya sebagus apa momen ini bagi gue. Quality time dengan keluarga seperti yang selalu gue harapkan dan kini menjadi nyata. Di sisi lain, pemandangan seorang cowok mondar-mandir mengurus berbagai hal yang terlihat penting baginya. Dengan kemeja putih yang kedua lengan panjangnya tersingsingkan, cowok itu bicara serius kepada beberapa orang di sana.
Wajahnya yang begitu serius, dan tatapan tajamnya itu benar-benar mampu meluluhkan hati gadis mana pun. Bahkan rambut yang ditata dengan gaya slicked back undercut itu masih senantiasa rapi di jam segini. Begitu sibuknya sampai piring di sebelah gue ini dingin terabaikan tanpa sebulir nasi di atasnya.
"Via.., makanannya di sini loh." Bokap mengetuk meja di depan gue.
"Papa gimana sih, kalau calon menantu Papa itu belum duduk, Via juga nggak bakal bisa konsentrasi makannya." Kak Lacka melirik ke arah gue.
"Gitu Vi?" Nyokap ikut-ikutan memojokkan gue yang kehabisan kata-kata lagi.
"Aku pergi aja apa ya?" Gue sontak berdiri. Orang-orang di meja itu menatap kearah gue dengan gemasnya.
"Mau kemana?" Manusia itu telah berdiri di hadapan gue dengan tangannya yang menahn lengan gue, tepat ketika gue berbalik. Pasti ada yang mengatur ini semua.
Lantas kedua tangannya beralih menahan bahu gue, memaksa agar gue duduk kembali ke kursi yang sempat akan gue tinggal itu. Kini justru hanya salah tingkah yang bisa gue rasa. Manusia ini tanpa peduli keadaan memakan makanan di piringnya ketika duduk di kursi kosong sebelah gue.
"Ayo dimakan Liv."
"Kita pergi aja kali Pa, Ma, Om, Tante." Kak Lacka mengajak orang-orang itu pergi dari kursi yang telah disusun sedemikian apiknya di pinggir pantai.
"Dimakan dong..., masa udah aku temenin masih nggak dimakan juga?"
Deg! I think it's better if you're not here like before.
Nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Tinggal habisin makanan yang tersisa di piring, dan mungkin gue bisa pergi setelahnya. Situasi ini nggak nyaman buat gue. Memang, terakhir kali gue ngobrol dengan manusia yang kini duduk dan makan di sebelah gue ini adalah enam tahun lalu. Tapi rasa ini masih nggak berubah.
Ini adalah pertemuan pertama gue setelah terpisah enam tahun tanpa komunikasi dengannya. Rasanya canggung. Dulu sebelum gue pergi tanpa kabar, status kami 'Pacaran'. Setelah gue tiba-tiba balik dengan rasa yang masih sama, gue takut status kami udah berbeda. Apalagi saat ini kami bukan lagi anak SMA.
Waktu bisa mengubah segalanya. Bagaimana dengan enam tahun yang dia lalui tanpa gue tahu. Jarak antara kami juga terlalu jauh untuk jadi alasan tetap mempertahankan hubungan dua anak remaja.
Sekarang, setelah perpisahan enam tahun lalu. Gue bisa anggap lo sebagai apa?
***
Sedikit tentang Hujan dan senja.
Gue bukan penikmat senja dengan secangkir es kopi. Gue juga bukan penikmat hujan ditemani hangatnya secangkir teh, atau coklat panas bahkan. Gue adalah gue yang lebih suka Cappuchino entah itu hangat atau dingin, dengan laptop yang berisi ribuan kata di microsoft word. Gue suka kegiatan membosankan ini daripada berada di tengah pesta.
Seseorang pasti memiliki waktu atau momen indahnya sendiri-sendiri. Begitupun gue. Manusia dengan raga yang masih dikategorikan hidup. Sangat suka dengan suasana setelah hujan. Hawa yang tertinggal dari kucuran air jatuh dari langit. Sejuk.
Tapi gue sangat manusiawi. Gue akui bahwa gue manusiawi karena hanya suka waktu setelah hujan, tapi gue benci sewaktu hujan turun. Seperti manusia yang lebih suka hasil tanpa mau menerima beratnya pengorbanan dalam tiap proses. Ya, itulah gue.
Gue pernah kehujanan dan demam sampai berhari-hari. Tapi tentu bukan itu satu-satunya alasan kuat ketika muncul pertanyaan 'Kenapa Olivia benci hujan?'. Bukan benci, lebih tepatnya aku tidak begitu menyukai hujan, meski itu adalah anugerah Tuhan.
Hujan itu...
Gue belum punya keinginan membahasnya sekarang.
***
Gue nggak bisa berpuitis. Gue nggak biasa menggunakan kalimat bermajas. Tapi gue suka bercerita. Masa SMA. Gue akui bahwa saat itu adalah masa paling indah. Seragam putih abu-abu dan hati merah muda. Semangat membara khas anak muda. Diimbangi kreatifitas, integritas, yang akan membawa perubahan berarti.
Dari background profesi orangtua yang merupakan seorang ahli bedah syaraf dan pilot. Ditambah dengan Grandpa pemilik perusahaan konstruksi membuat gue harus menjalani kehidupan SMA di sekolah bertaraf internasional yang dipilihkan keluarga. Gue terima aja, karena di situ juga gue menemukan 'cinta'.
Nggak begitu paham dengan definisi cinta yang sebenarnya, cukup mendalami etika bersosialisasi dan gue merasa sudah siap betul dengan kehadiran cinta di tengah-tengah masa SMA ini. Dia teman gue dari SMP. Meski awalnya ilfeel karena sikapya yang sok kenal dekat, akhirnya luluh juga hati ini kepada makhluk bernama 'Lelaki'.
"Olivia.., beruntung gerbangnya belum saya tutup." Sindiran menyambut gue yang datang dengan nafas ngos-ngosan. Hari ini sengaja gue nggak bawa masuk ferrari kesayangan gue itu dan memilih berlari sampai di sekolah.
"Makasih pak.., anda memang yang terbaik." Kata gue ngacungin jempol, sambil masih terus lari.
Parahnya,kelas gue ada di Zona paling belakang sekolah. Yang artinya gue harus jalan melaluibanyak pandangan siswa dari berbagai arah. Sesekali gue dengar celotehan merekatentang gue yang super bandel di sekolah ini. Dan sesekali gue balas tatapan tajam mereka, dengan sorotan panas gue.
Parahnya, kelas gue ada di Zona paling belakang sekolah. Yang artinya gue harus jalan melalui banyak pandangan siswa dari berbagai arah. Sesekali gue dengar celotehan mereka tentang gue yang super bandel di sekolah ini. Dan sesekali gue balas tatapan tajam mereka, dengan sorotan panas gue.
Gue masih marah. Setengah nahan malu juga, melanjutkan jalan di antara kelas-kelas mereka. Gue rasa jalan ke kelas gue lebih jauh daripada mendaki everest mount. Muka gue masih bete, gue jalan menunduk, melihat tiap-tiap pijakan kaki gue. Jalanan paving ini benar-benar membosankan jika dilihat terus-menerus.
Sampai akhirnya gue menabrak seseorang. "Kalau jalan lihat-lihat dong."
Gue mendongak ke atas, Arven pakai seragam tim basket. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin. Cuma gara-gara obrolan kami semalam, gue jadi salting abis. Anyway, dialah makhluk bernama 'lelaki' yang jadi cowok gue selama satu semester ini. Dia cowok yang populer, so that's why gue memilih untuk merahasiakan hubungan ini. Belum siap aja mendapat perhatian khusus dari seisi sekolah.
Tapi berdasarkan musyawarah kita berdua semalam, cowok ini akan membuka hubungan rahasia kami ke publik, hari ini. Gue udah nggak punya alasan lain untuk menolak cowok sepintar Arven. Mau debat kaya apapun gue akui, gue kalah sama dia. Udah gitu aja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Lay -Amelie
oh ini tah karya author!!
akhirnya bacaaa
2020-12-16
2
S.A, Golden
sip
2020-08-01
3
A.F
Hai thor. Udah baca nih. Chapter satu dulu ya. Tapi udah tak like, bintang lima, dan vote. Btw, ada paragraf yang terulang 😊
Salam dari A Man in Disguise 🍃 Kalau ada waktu baca karyaku juga ya
2020-06-21
0