"Vi, lo udah dengar tentang dosen baru yang masih muda. Katanya dia baru selesai S2 di Columbia University." Zahra duduk dengan buku setumpuk menutupi mukanya.
"Kok bisa langsung jadi dosen di sini?" Tanggap gue membantunya memilihkan beberapa buku.
"Katanya sih dulunya mahasiswa sini juga."
"Ooh."
"Kesempatan nih Vi." Zahra menatap gue.
"Kesempatan apaan?" Gue terus mengabaikannya.
"Bisa lo jadiin pengganti 'Dia' yang nggak setia itu."
Deg!
"Apaan sih. Orangnya aja belum pernah lihat. Lagian, mungkin dia ada di suatu tempat dan dia masih dengan rasa yang sama menunggu untuk ketemu gue lagi."
"Vi, kisah cinta tiap orang itu beda-beda. Mungkin gue udah kenal Kevin sejak SMP, dan hubungan kita masih berjalan sampai sekarang. Tapi nggak semua cowok bisa setia kaya Kevin ke gue."
"Jadi, gue salah kalau masih berharap ya?"
"Lo terlalu cinta sama orang itu kayanya. Bahkan kita udah sahabatan hampir empat tahun, dan lo masih ceritain tentang orang itu." Mendadak Zahra menanggapi kata-kata gue dengan serius.
"Tapi bukannya gue selalu cerita apapun ke elo."
"Beda Vi. Lo selalu cerita tantang orang itu pakai perasaan. Sorot mata lo ketika nyeritain cowok itu, kelihatan banget kalau lo bahagia di waktu-waktu kalian bersama dulu. Gue senang bisa dengar setiap cerita lo. Dan semoga, lo nemuin sosok itu lagi di hidup lo." Ujarnya panjang lebar.
Gue cukup tersenyum melihat sahabat empat tahun gue ini. Dari semua kisah yang gue ceritain, gue jadi merasa kalau gue terlalu kekanakan karena masih mengingat cowok di masa SMA. Bahkan Amell yang sahabatan sama gue sejak kecil, bisa tiba-tiba menghilang. Mana mungkin cowok yang muncul di masa SMA itu masih ingat gue sampai sekarang.
Mungkin udah saatnya gue membuka hati untuk seseorang yang benar-benar bisa jadi masa depan. Gue bukan gadis yang baru merayakan sweet seventeen. Bahkan gue udah melawatkan sweet twenty empat tahun lalu tanpa seseorang sebagai pengisi hati. Kemana perginya Olivia yang dulu?
"Sekian pertemuan pertama kita hari ini, sampai ketemu di kelas saya minggu depan." Dosen muda itu menutup pertemuan sore ini. Meninggalkan mendung hitam di wajah-wajah mahasiswi yang sedari tadi mengamati kharismanya.
"Unexpected." Ujar Zahra masih melihat dosen itu berjalan keluar dari auditorium.
"So? Lo masih mendukung gue untuk dapetin dosen muda itu?" Zahra menatap gue sesaat setelah mendengar pertanyaan gue.
"Tapi mereka bilang dosen muda kita itu lulusan Columbia University. Bukan lulusan UI."
"Lo salah dengar kali."
"Astaga..." Zahra mengusap dahinya yang berkeringat. Pertama kalinya gue lihat sahabat gue segelisah saat ini.
"Udahlah, jangan panik gitu. Ini namanya nikmat Tuhan buat lo."
"Nikmat Tuhan apanya?"
"Yanikmat Tuhan. Karena akhirnya dipertemukan dengan Pak Kevin dengan statussebagai guru dan murid." Gue tertawa terbahak sembari memasukkan laptop ke dalam tas.
***
"Kalau kamu terlahir kembali, kamu mau jadi siapa?"
"Aku mau jadi diriku lagi."
"Kenapa?"
"I have no reason. Mungkin karena aku bersyukur dengan segala kekurangan yang aku terima. Aku bersyukur dengan apapun keadaanku. Aku nggak gitu peduli dengan kondisi makhluk kecil yang buat orang lain mungkin mengkhawatirkan. Tapi bagiku, it's not a big problem. Dan aku menikmati tiap rasa sakitnya datang."
Konyol ketika gue tanpa sadar mengatakan itu di depan psikolog. Tapi dari situ mungkin gue mendapat diagnosis bahwa gue ini makhluk yang putus asa dengan hidup. Mulut gue emang gini, suka ngasal aja kalau ngomong.
***
Semua jadi penuh cahaya. Saking silau dan saking banyaknya cahaya, gue nggak sanggup buka mata. Tapi pelan-pelan gue berusaha buka mata, gue lawan silaunya cahaya. Dan nggak lama, semua kembali normal. Gue nengok ke sekeliling, nggak ada siapa-siapa, cuma ada suara detak jarum jam di atas pintu kaca besar jauh di depan gue. Nggak lama setelahnya, pintu kaca itu terbuka disusul seseorang masuk ke ruangan ini.
"Oliv! Udah sadar?" Suaranya khawatir. Setelah itu pergi lagi ninggalin gue yang masih linglung. Nggak berapa lama, masuk nyokap dengan diikuti empat orang di belakangnya. Banyak banget.
"Ma, aku pengen pulang. Di sini nggak enak." Suara gue serak kaya orang baru bangun tidur.
"Iya, kita pulang habis ini." Jawab nyokap singkat.
Sambil memeriksa infus dan darah yang terus mengalir, masuk ke tubuh gue. Beberapa saat kemudian, nyokap keluar masih diikuti empat orang tadi. Dan kakak masuk tak lama setelah nyokap keluar.
"Liv, lo beneran sadar?" Tanyanya.
"Sadar kok." Jawab gue masih-mikir.
"Lo ingat siapa gue?" Tanyanya menunjuk dirinya sendiri.
"Ingat. Kak Lacka lah.."
"Lo tahu, lo udah bikin orang sekompleks jadi bingung." Lanjutnya.
"Aku tidur berapa lama?" Tanya gue dengan suara yang masih serak.
"Hampir dua bulan. Lo kecelakaan bulan Oktober, dan sekarang Bulan Desember." Jelas Kak Lacka.
"Serius?! Sekarang tanggal berapa?" Tanya gue nggak percaya.
"11"
"Hell. Serously?" Gue nggak pernah sekaget ini.
Gue nggak suka rumah sakit. Singkatnya, dua hari kemudian gue pulang dari rumah sakit. Dan bukan makin sembuh, tapi malah makin pusing. Gara-gara mobil yang ringsek gue tabrakin pohon. Lebih pusing karena harus dibalut sana sini. Harus naik kursi roda lagi. Real, gue kelihatan kaya orang cacat. Dan begitu gue masuk kamar, hadiah ulangtahun yang gue lewatkan, dan hadiah tahun baru gue menunggu.
"Ma, selama aku di rumah sakit, Mama nggak pulang ke rumah ya?" Tanya gue, ke nyokap yang baru masuk.
"Kenapa emangnya?" Nyokap memandang gue heran.
"Nggakpapa sih." Gue cuma bisa tersenyum.
"Papa nggak pulang lagi Ma?" Tanya gue setelah sadar kehadiran laki-laki paling berjasa itu nggak terdeteksi di dalam luxury house ini
"Mungkin." Jawab nyokap tak memberikan gue kepastian.
Gue langsung ngarahin kursi roda keluar rumah, ke tempat kakak berdiri. Gue bisikin kakak sebentar, dan kakak mengangguk setuju.
"Ma, aku mau keluar sama Kak Lacka.." Teriak gue dari luar rumah.
"Kemana?" Teriak Nyokap balik tanya.
"Bentar aja kok, bye Mom.."
Gue cepat-cepat ambil topi dan tongkat bantu jalan, segera gue masuk mobil Kakak, meninggalkan pekarangan luxury house itu. Rasanya lumayan berdosa karena bikin nyokap nggak pulang ke rumah selama gue di rumah sakit. Setidaknya gue masih bisa kuras tabungan gue ini untuk beli sesuatu buat nyokap.
Nggak lama, mobil pun berhenti di bangunan tinggi berhias natal. Maklum, ini baru pertengahan Desember. Kami pun masuk ke dalam bangunan itu. Dan keluar dari sana sekitar pukul 19.46. Butuh waktu dua setengah jam buat beli something buat nyokap. Dan secepat mungkin, mobil pun melaju kembali ke rumah berpagar tua ini.
"Mom, kita pulang.." Suara gue seperti biasa gue masuk rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Lay -Amelie
kereeen
2020-12-16
1
Iamfine
Kayanya Si Olivianya juga cantik deh🤣
2020-03-25
3
Iamfine
Sempat bingung bacanya di awal. Ternyata alurnya campuran kaya novel-novel punya penulis terkenal gitu😂😂
Semangat ya Thor
2020-03-25
1