"Mom, kita pulang.." Suara gue seperti biasa gue masuk rumah.
Dan ternyata hadiah ualang tahun luar biasa benar-benar datang. Gue lihat di sudut ruang keluarga, Nyokap berdiri dengan Bokap membawa kotak besar ditangannya. Gue seolah lupa dengan apapun, gue menangis terharu lihat pemandangan yang hilang sejak 3 tahun lalu.
"Alles gutte zum geburtstag Sayang." Ucap papa memeluk gue.
"Makasih Pa...!" Teriak gue langsung membalas pelukan Papa.
"Halah.., sok kangen. Yang penting buat kamu mah transferan lancar,'kan?" Kata Nyokap menggoda.
Kita nggak bisa terlalu larut dalam kebahagiaan. Setelah melepas rindu beberapa saat, Nyokap meminta gue dan Kak Lacka mengirimkan bingkisan sebagai syukuran gue keluar dari rumah sakit untuk tetangga sekitar. Gue kira bingkisan ini terlalu sederhana untuk dibagikan, tapi itu lebih baik daripada nggak ada yang bisa dibagi sama sekali.
Kami pun keluar dari rumah, dan berkeliling ke rumah-rumah tetangga. Dan semua bingkisan pun sampai dengan selamat di masing-masing rumah. Sepulang dari rumah terakhir, gue dan Kak Lacka masih ketawa-tawa di sepanjang jalan yang kita lalui dengan jalan kaki. Sampai di tikungan terakhir sebelum rumah, gue lihat sosok yang gue kenal akrab sebelumnya berdiri di depan gue, dengan seorang cewek di sampingnya.
Arven, dia jalan kaki berdua sama cewek yang nggak gue kenal. Berlawanan arah sama gue dan kak Lacka. Bahkan kini kami berempat berhadapan dengan kediaman.
"Vi, udah pulang?" Tanyanya memecah hening antara kami berempat, yang saling diam bertatapan.
"Hah, eh, iya." Jawab gue gugup.
"Oh, kalian temenan juga?" Tanya kak Lacka ringan.
"Hah?!Eh, iya temen." Jawab gue, lagi-lagi dengan suara terdengar gugup.
"Oh, kalian temenan juga?" Tanya kak Lacka ringan.
"Hah?! Eh, iya temen." Jawab gue, lagi-lagi dengan suara terdengar gugup.
"Mampir ke rumah yuk!" Suara kak Lacka mengajak kedua manusia di hadapan gue itu. Dan tanpa protes keduanya ikut. Kami berempat pun melangkah menuju ke rumah.
Sampai di rumah, Bokap dan Nyokap nggak menunjukkan reaksi berarti ketika kami berempat masuk. Mereka menyambut kami sekilas dan kembali pada kesibukan mereka setelah memersilakan tamu kami untuk ikut makan malam. Baru kali ini gue makan satu meja berhadapan sama Arven dan rasanya aneh. Tapi setelah gue lihat-lihat, sikap kak Lacka justru lebih aneh.
"Kalau udah selesai makan, piringnya sekalian dicuci ya.., terus nanti kalau udah jam 10, terus Mama sama Papa belum pulang, pagarnya dikunci ya."
"Iya Ma..." Jawab gue.
Sebentar kemudian, suara mobil terdengar keluar dan menjauh dari rumah berpagar tinggi ini. Tanpa gue sadari, kakak udah nggak ada di meja makan ini, begitu juga cewek tadi. tinggal gue yang masih diam dengan tatapan ke piring di depan gue.
"Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Arven pelan. Hening sebentar.
"Cappuchino waktu itu, lo minum nggak?" Gue balik nanya.
"Iya, makasih." Jawabnya mulai ngembaliin suara normal.
"Udah buka kado ulangtahun?" Tanyanya lagi.
"Belum, mau bantu buka?" Tawar gue berusaha relax melawan awkward saat ini.
"Boleh." Terimanya dengan mata menyipit, sambil tersenyum simpul.
Apakah otak gue jadi error setelah kecelakaan waktu itu? Atau mata gue yang rusak? Senyum Arven tampak biasa aja. Harus gue akui sebelumnya gue terhipnotis oleh senyuman itu. Kenapa sekarang enggak?
Berusaha telihat normal, kami berjalan beberapa puluh langkah menuju kamar gue yang nggak seluas aula istana. Tapi cukup luas untuk makhluk sekecil gue. Cukup pantas untuk diisi barang-barang gue yang kebanyakan berwarna hitam dan putih. Di sudut ruangan itu, di bawah lampu sudut, kado-kado menunggu untuk dibuka.
"Banyak ya.." Kata Arven duduk di sebelah gue.
Iya juga, kenapa bisa sebanyak ini kado untuk manusia introvert kaya gue. Apa karena gue koma, jad banyak yang peduli. LOL.
"Kado pertama yang pengen lo buka yang mana?" Tanyanya lagi.
"Yang, mmm.. merah." Kata gue nunjuk kotak kecil merah menyala itu.
"Yang ini? Ini dari gue." Ucapnya seraya tersenyum
"Really??" Spontan gue membulatkan mata menatanya.
"Gue yang bukain yah? Gatau deh lo suka apa nggak." Kata Arven lagi.
"O k aay" Jawab gue pelan.
"Gue nggak punya niatan apa-apa. Gue cuma pengen beliin ini buat lo, karena lo cocok pakenya." Ujar cowok itu menunjukkan kalung berlapis mas putih dan liontin mutiara hitam di tengahnya.
"Ven, lo beli pake uang siapa? Gue nggak mau nerima hadiah yang terlalu mewah buat gue."
"Pake duit gue sendiri kok. Gue cuma pengen beliin ini buat lo, supaya lo bisa pakai." Jelas cowok itu sambil senyum.
"Tapi..."
"Gue pakein yah?" Potongnya.
Aaargh sialan, Arven nggak berubah juga!. Teriak gue dalam hati. Dan gue langsung keringatan, emang bener sialan cowok satu ini, kenapa harus manis kaya gini sih? Kenapa harus gue juga yang menghadapi situasi kaya gini.
"Bboleh deh." Kata gue gugup. Gue mendekat, sambil gue pegangin rambut gue yang terurai bebas. Kalung mahal itu sukses menggantung di leher gue. Beberapa saat Arven masih diam diposisinya, dan mendaratkan bibirnya di leher kanan gue.
"Selamat ulangtahun, Olivia." Bisiknya lirih, bahkan deru napasnya bisa gue dengar dengan jelas.
Entah kenapa meski gue bahagia, tapi rasanya udah beda. Bahagia gue sekarang, bukan bahagia gue seperti kemarin terakhir kali ketemu Arven. Rasanya lain. Gue diam sesaat, menyesuaikan logika yang bahagia dan perasaan yang tercekat aneh saat ini.
"Ehm!" Gue mendehem lirih. Arven masih senyum, matanya menyipit tapi menatap gue dalam.
Dibalik sosok yang dingin dan angkuh dimata banyak wanita, ia menyimpan rasa yang besar untuk seseorang. Dan gue beruntung bisa jadi seseorang itu. Gue beruntung bisa lihat senyum terbatas itu kapanpun gue mau. Mungkin hanya gue satu-satunya gadis yang bisa merasakan hangatnya senyuman seorang Arvendinata.
Di samping rasa nggak karuan yang gue rasa sekarang, dari luar kamar terdengar suara tubrukan piring dengan piring. Siapa yang nyuci piring di wastafel? Bukannya ada mesin cuci? Pikir gue sesaat, segera gue raih tongkat dan turun untuk mengecek, sementara Arven ngikutin gue dari belakang.
Sampai di dapur, keadaan memaksa gue untuk terdiam. Sepasang mata ini menangkap Kak Lacka dan Kakak Arven yang tampak tertawa dengan busa sabun cuci piring yang kemana-mana. Sampai ketika Kak Lacka mencium cewek di depannya itu. Keadaan masih memaksa gue untuk bungkam dan melihat dengan mata yang memburam karena air terkumpul di pelupuk mata.
Arven datang dari belakang gue, dia menarik gue dari tempat semula gue berdiri. Kaki gue melemas seketika, membuat tongkat yang gue pakai itu terlepas dan jatuh hingga lantai dasar dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
✨Asuna Gabut
ceritanya bagus thorr
2020-12-17
0
Alya_Kalyarha
semangat nulisnya kk, udah aku like ya
kalau sempat mampir baliklah ke karyaku "sahabat atau cinta" dan "berani baca" tinggalkan like dan komen ya makasih
2020-06-03
1