Udara terasa sejuk saat ini. Terlihat langit yang perlahan menjadi gelap karena awan hitam mulai singgah di daerah itu. Elena berdiri dengan penuh kepercayaan dirinya di atas altar yang akan ia gunakan untuk upacara pernikahannya. Semua orang menatap kearah wanita muda dengan wajah bak seperti Lady pada jaman pertengahan Eropa. Salah satu pelayan memberikan sebuah microphone atau pengeras suara pada Elena.
Elena menelan ludah perlahan. Tangan yang lainnya meremas tepi pakaian. Wanita yang tinggi seperti model itu mencoba menguatkan hatinya. Susana di sana terlihat begitu serius, seolah semua orang mendakwa dirinya. Perlahan Elena menutup mata untuk mengerjapkan sebuah kata yang akan ia umumkan saat ini. “Acara ini di bubarkan...,” ucapnya dengan menarik napas dan menghembuskannya kembali.
Semua orang seketika terlihat kebingungan, riuh dan juga panik dengan pengumuman itu. Elena kembali berbicara dengan nada tegas namun tidak terlalu keras. “Saya harap, semua yang hadir disini bisa memakluminya!” ucap Elena dengan diikuti permintaan maaf karena telah menyita waktu dari semua orang yang hadir.
Tiba-tiba suara gemuruh langit yang memekakkan telinga mulai terjadi. Kilatan cahaya menyambar di daerah itu. Dengan diikuti oleh air yang seketika itu mengguyur rumah besar milik keluarga terpandang, Tuan Leonard. Semua orang berlarian pergi karena tak ingin basah oleh hujan yang turun mendadak itu. Elena masih berdiri dengan raut wajah dingin. Ia di papah masuk kedalam rumah oleh sang pelayan pribadinya, bibi Ruby.
“Nona, kita harus segera melepas pakaian anda! Jika tidak, anda akan terkena flu dan itu akan membuat anda sakit lama,” ucap sang bibi dengan masih memayungi Elena yang berjalna turun dari altar.
Terlihat pula sang paman dan bibi yang mengurusnya ketika kedua orangnya meninggal. Ya, paman Fredy Prusia adalah adik kandung dari sang ayah. Namun, berbeda ibu. Karena nyatanya, sang kakek Elena dari sang ayah, adalah keturunan bangsawan Jerman. Ia adalah keturunan dari Raja terdahulu. Dan nyatanya sang Raja, tetap mempunyai selir yang tak di legalkan oleh kerajaan dimasa sekarang.
“Apa kau baik-baik saja, sayang?” tanya sang tante Lily istri dari paman Fredy.
Elena tak mengindahkan ucapan sang tante. Ia hanya berjalan pergi melewati kedua orang tua itu. Tante Lily segera mengikuti Elena untuk menghiburnya. Ia tak tahu jika Xander akan berbuat begitu teganya pada Elena. Sang tante dan paman Elena memang tinggal di rumah besar itu juga karena wasiat dari sang ayah. Memang perusahaan besar itu di pegang oleh sang paman dengan warisan atas nama Elena. Jadi sebelum Elena benar-benar bisa untuk menangani perusahaan, sang paman akan membantunya dan selalu berada di pihaknya.
Elena berjalan menuju ke arah ruangan utama, di mana tadi ia mengganti pakaiannya dan serta di rias. Elena berganti pakaian dengan wajah datar tapa ekspresi sedikitpun. Semua orang yang berperan menangani penampilannya hari ini, segera membuka dan menghapus wajah Elena. Selesai dengan tampilannya, Elena yang kembali memakai pakaian biasannya mulai berjalan kembali menuju ruangan depan di rumah itu.
Elena berjalan dengan langkah mantap menuju ruangan depan dengan masih memegang ponselnya sedari tadi. Ya, tak sekalipun Elena menyimpan ponselnya, karena mungkin saja ia melewatkan panggilan masuk dari Xander sang kekasih hati. Setibanya disana, seperti biasa ia duduk di kursi yang biasa ia gunakan. Memang kebiasaannya di sore hari ialah Elena selalu mengadakan acara minum teh bersama kedua orang tuanya atau pun para saudara dekat dari kedua orang tuanya.
Elena masih terdiam dengan wajah datarnya. Tak sedikit pun sedari pengumuman itu, Elena berbicara pada sang asisten pribadinya sekali pun. Elena masih berharap akan kedatangan Xander. Sesekali matanya menatap layar ponsel pintar yang selalu ia genggam sedari tadi. Dan ketika terdengar notifikasi masuk, ia bergegas menatap layar ponselnya itu. Walau pun notifikasi itu bukan dari orang yang di harapkannya.
Hingga, suara nada dering terdengar kencang. Seketika itu pula, Elena yang sedang memegang cangkir tehnya, segera menyimpan cangkir itu dengan tergesa. Ia menatap layar ponsel sesaat ketika terlihat nomor yang tak ada di kontaknya dan bergegas menjawab panggilan itu. “Ya, Hallo!?” jawab Elena dengan raut berubah penuh tanya.
“Ini saya nona, Daniel!” jawab sang sopir.
“Ah, ternyata kau! Bagimana?” tanya Elena yang kembali berwajah datar.
“Saya melaporkan bahwa di rumah tuan Xander tak ada siap pun. Maaf saya belum menemukan beliau, serta kami sedang mencarinya ke seluruh penjuru kota dan termasuk meminta pertolongan pada letnan Willy," tutur Sang sopir pribadi, keluarga Leonard menambahkan.
“Oh, baiklah!” ucap Elena singkat.
“Saya akan menghubungi nona jika menemukan tuan Xander atau sesuatu hal yang menyangkut tuan,” jelas Sang sopir yang kemudian pamit menutup panggilannya.
Elena kembali meraih cangkir tehnya. Ia duduk begitu tenang, menatap kearah air mancur yang ada di depan halaman rumahnya itu. Sang pelayan pribadinya jelas mengetahui bahwa Elena saat ini sedang gelisah, bingung dan bersedih. Ia berusaha terlihat tegar, di depan orang lain. Karena bagimana pun, orang yang dipercayai bisa malah berbalik untuk menyerangnya dengan kelemahannya saat ini.
Sang pelayan pribadinya, bibi Ruby. Merupakan pelayan yang sedari kecil mengurus Elena jadi hanya dia lah yang mengerti semua tentang Elena. Sang bibi menyiapkan camilan kesukaan Elena. Ia tak berbicara apa pun pada nona muda itu. Yang ia bisa lakukan hanya menghiburnya dengan pelayanannya. Terutama ia akan memberikan teh herbal, ketika raut wajah Elena datar seperti sekarang.
Sang bibi pun mengganti bunga yang ada di dalam vas tepat di atas meja yang sedang di gunakan Elena. Khususnya bunga Daisy kesukaan Elena. Setelah meletakkan vas bunga dengan bunga kesukaan Elena, bibi Ruby mulai menghidupkan cerobong perapian tak jauh dari sana. Memang rumah besar itu mempunyai penghangat ruangan otomatis tetapi, khusus di ruangan depan. Di mana ruangan itu yang selalu di gunakan untuk acara minum teh, terdapat cerobong perapian yang memang kesukaan dari mendiang ibunda Elena, Nyonya Samantha.
“Nona, ada lagi yang Anda inginkan?” tanya bibi Ruby ramah.
Elena menggeleng pelan. Melihat jawaban Elena dengan isyarat, sang bibi pun bergegas pergi dari sana. Suara gemuruh petir dan hujan masih terdengar terus menerus. Udara yang dingin, membuat hidung Elena mulai bereaksi. Ia akan bersin-bersin beberapa kali sebelum suhu tubuhnya terbiasa dengan udara dingin di sekitarnya itu. Sang bibi pun kembali datang dengan membawa selimut kaki dan mantel untuk Elena.
“Anda akan sakit, jika terus menerus disini, nona!” ucap sang bibi yang khawatir.
Elena tetap mengindahkan ucapan sang bibi. Seperti biasanya sang bibi akan selalu menemani Elena ketika sedang minum teh sore. Sang bibi duduk dengan tenang dan merajut untuk menemani Elena. Begitulah kebiasaan dari Elena, setelah kedua orang tuanya meninggal. Hanya biasanya, Elena selalu bercerita tentang seharian yang dilewatinya hari ini, dimana ia melewatinya dengan sang kekasih tercinta. Terkadang Elena berceloteh, dan terkekeh ketika ia menceritakan kisahnya dengan sang tunangan Xander.
Tetapi, hari ini tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sang bibi hanya menyayangkan sikap Elena ketika ia tengah bersedih atau sedang kesal. Ia hanya bisa berdiam diri dan memendam semuanya di dalam hati. Padahal sang bibi selalu membujuknya untuk bisa mengungkapkan isi hati Elena ketika bersedih atau pun ketika kesal. Dan sang bibi sampai detik ini tak pernah melihat Elena menangis terkecuali ketika kedua orang tuanya meninggal.
Dan itu hanya air mata yang menetes begitu saja, tak dapat tertahan oleh Elena. Tak seperti orang lain yang akan menangis sejadi-jadinya, hingga terdengar suara sesenggukan. Sang bibi masih merajut dengan tenang ketika seseorang datang menghampiri Elena. Ternyata itu adalah sang tante, Lily. Ia datang membawa kabar dengan memperlihatkan ponsel dirinya.
“Sayang, kita harus bertindak dengan ini!” ucap sang bibi yang memberikan ponselnya.
Seketika itu, Elena menatap kearah ponsel dan meraih ponsel yang di sodorkan oleh tantenya tersebut. Dengan wajah datarnya, Elena menatap layar ponsel itu dengan serius. Tiba-tiba keningnya mengernyit. Dan pupil mata Elena membelalak lebar. “Benar kan? Ini sudah keterlaluan! Kita harus bertindak! Jika Tante mendapat ijin darimu sayang, maka saat ini paman dan tante akan segera bertindak,” jelas sang tante dengan wajah kesalnya.
To be continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
miknik👾r*b*t
up lagi
2021-09-29
0
violeta arnes
jan sedih terus
2021-08-26
0
burd
gaskeun
2021-08-26
0