"IAN! LAMA BANGET LO BARU DATENG!" Teriak Manda di tengah kerasnya musik yang memekakkan telinga di sebuah club malam elit ibu kota. Ian yang melihat Manda yanh sedang kesal dengan keterlambatannya hanya menyengir kuda.
"Mana yang lain, non?". Tanya Ian setengah berteriak di telinga Manda.
"Ada tuh di table 7. Udah open bottle juga. Lo kesana aja!".
Ian pun berlalu meninggalkan Manda di dance floor dan menuju table 7 dimana teman-temannya duduk.
Sesampainya disana Ian langsung merebahkan dirinya di sofa dan mengambil asal gelas yang berada di atas meja dan Ia teguk isinya sampai tak bersisa. Teman-temannya yang belum Ia sapa pun hanya bisa memandang Ian dengan heran. Pikiran mereka semua sama. Pasti berantem dengan Rio. Terbukti mereka datang terpisah dan Ian tidak menegur Rio.
"Nih tambah lagi, yan". Ucap Eki sembari menyodorkan botol minuman dari kaca.
Belum sempat tangan Ian meraihnya, botol minuman tersebut sudah di pegang erat oleh Rio. Rio menatap Ian dengan tajam.
"Sini-in botolnya yo! Ngapain sih main ambil aja. Gelas gw belum juga di isi.." Sungut Ian pada Rio.
"Udah cukup 1 gelas aja. Kalau kesal bilang! bukan minum-minum".
Ian menatap Rio dengan tatapan yang sulit di mengerti.
Rivan, Gilang dan Eki yang melihat aura dingin antar keduanya berinisiatif untuk merilekskan suasana.
"Woy disini tuh kita mau seneng-seneng bukannya mau nontonin lo berdua debat!" Ucap Gilang pada Ian dan Rio.
Rivan berdiri "Kita dance aja yuk biar seger". Ucapnya.
Ian pun bangkit dari duduknya di susul oleh yang lainnya termasuk Rio.
Ian yang memiliki tubuh yang proporsional dan wajah yang cantik serta pintar memadu padankan busana semakin terlihat menarik di mata lelaki yang berada di lantai dansa.
Banyak yang mencoba mendekatinya atau menyentuhnya secara diam-diam dan terang-terangan. Namun Ian mempunyai bodyguard yang selalu menjaganya yang tidak lain adalah teman-temannya.
Ian masih asyik meliukkan badannya mengikuti alunan musik yang menghentakkan lantai dansa. Ketika dirasanya ada sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya. Saat Ian mau melepaskan tangan tersebut pada pinggangnya, Ia terkejut karena Rio yang melingkarkan tangannya.
"Jangan terlalu semangat. Lo gak sadar berapa pasang mata lelaki yang ngeliat ke arah lo, hm?" Ucap Rio tepat di telinga Ian.
"Itu hak mereka mau lihat kemana.. Mata juga mata mereka kok." Ketus Ian
"Terus kenapa lo pakai baju yang terlalu terbuka begini sih? Gue gak suka, Ian."
"Hak gw dong yo mau pakai baju atau gak pakai baju sekalian! Kenapa lo yang repot sih?".
Rio seketika itu juga menarik Ian untuk keluar dari Club. Teman-temannya yang melihat itu hanya mengangkat bahu nya berpikir bahwa Ian dan Rio perlu privasi untuk menyelesaikan masalah mereka berdua.
Di dalam mobil...
"Lo masih marah karena gw bawa temen cewek ke rumah? Itu temen kampus gw, Ian. Lo juga lihat sendiri kan gw gak hanya berdua. Gw bawa 4 orang temen kampus gw ke rumah lo." Gusar Rio yang tidak tahu lagi harus bagaimana membujuk Ian.
Ian memalingkan wajahnya ke arah luar.
Iya.. gw tau mereka gak hanya berdua. tapi gw tetep gak suka lihat Rio akrab dengan teman-teman kampusnya apalagi cewek! Gw ini kenapa sih.. Rio bukan siapa-siapa gw! Kenapa juga gw harus marah.. tapi..........
Ian menoleh saat merasakan tangannya digenggam oleh Rio. Hangat.. batin Ian.
Rio menatap Ian dalam-dalam.
"Gw harus ngapain biar lo gak marah lagi sama gw, hm?" Tanya Rio dengan lembut.
"Gak perlu ngapa-ngapain. Itu hak lo kok mau dekat sama siapa aja, Yo. Gw gak suka aja kemarin berisik banget temen-temen lo di tambah gw lagi badmood juga sebelumnya".
"Yakin hanya itu alasannya?" Tanya Rio masih menggenggam tangan Ian.
"Iya.. Hanya itu.." Ucap Ian.
Sebenarnya Ian masih bingung mengartikan perasaannya sendiri pada Rio dan Rio juga tidak pernah mengucapkan kata sayang ataupun menyatakan perasaannya. Hubungan mereka mengalir begitu saja tanpa adanya pengakuan dari hati keduanya.
"Yaudah gw mau pulang. Gw janji sama papa gak akan pulang larut banget, Yo."
"Sama gw aja. Nanti mobil lo biar Gilang yang bawa. Mana kuncinya?" Ucap Rio sambil menadahkan tangan meminta kunci mobil Ian. Ian pun memberikan kunci mobilnya dan Rio bergegas keluar mobil untuk mencari Gilang ke dalam club.
Sepanjang perjalanan pulang keduanya tidak banyak bicara. Mereka hanya ditemani dengan alunan musik dari radio dan tenggelam dalam pikiran masing-masing
Ian yang saat ini berusia 19 tahun menjelma menjadi gadis yang menarik dan pintar.Tidak ada lagi bau matahari yang tercium dari seragam sekolah yang dahulu selalu Rio sebut untuknya. Saat ini Ian sedang menempuh pendidikan di Universitas Swasta yang terkenal di Ibu Kota. Sedangkan Rio sudah di tingkat akhir.
Hubungan keduanya sampai saat ini sangat baik. Terlampau baik lebih tepatnya. Dimana ada Rio disitu ada Ian. Begitulah kira-kira. Om Imran pun mempercayakan penjagaan putri sulungnya pada Rio. Jadi kemanapun Ian pergi khusunya untuk pergi bersenang-senang dalam momen-momen tertentu, Rio pasti akan selalu ikut untuk menemani dan menjaga Ian.
Keduanya masih sama-sama saling mencari arti rasa yang ada di hati mereka. Apakah itu sayang terhadap lawan jenis atau sayang sebagai adik kakak. Entahlah hanya mereka yang tahu.
Keesokan harinya..
Rio yang sedang sarapan bersama Om Imran dan Tante Dewi menoleh ketika Ia melihat Ian berjalan dengan wajah yang segar yang dipoles makeup tipis.
Cantik. Batin Rio sembari melihat Ian yang berjalan menuju meja makan.
"Pagi pa.. ma.. Yo.." Ian tersenyum pada ketiga orang yang sedang berada di meja makan. Adik-adiknya sudah berangkat lebih dulu ke sekolah dan hanya tersisa mereka yang berada di ruang makan.
"Pagi sayang.." Sahut kedua orang tua Ian.
"Kamu ada kuliah pagi?" Tanya Imran.
"Iya pa.. hari ini padat banget jadwal kuliahnya."
"Yaudah makan dulu sekarang biar ada tenaga buat mikir". Timpa Dewi pada putrinya.
ian pun memilih semangkuk sereal juga tidak lupa roti panggang cokelat keju favoritnya
"Apa semua SKS kamu sudah di selesaikan, Rio?" Tanya Imran pada Rio.
"Belum, Om. Sedikit lagi selesai".
"Ya cepatlah selesaikan. Setelah lulus kamu mau langsung bekerja atau langsung lanjut ambil S2?".
"Sepertinya kerja sambil lanjut aja, Om. Cari-cari pengalaman juga". Sahut Rio.
"Papa kamu itu menelfon Om. Dia mengutarakan keinginannya ingin membawa kamu ke Amerika setelah kamu selesai studi disini. Dia ingin kamu melaniutkan S2 disana saja katanya.".
Rio nampak berpikir dengan perkataan Imran sedangkan Ian nampak kaget.
"Iya Rio di sana mungkin lebih bagus universitasnya dan kamu bisa dekat dengan kedua orang tua kamu. Tapi sejujurnya tante sih berharapnya kamu terus tinggal disini hehehe" Ucap Dewi.
"Iya akan Rio pikir matang dulu ya Om, Tante. Lagipula itu masih cukup lama." Rio tersenyum pada kedua orang tua Ian yang sudah Ia anggap seperti kedua orang tuanya sendiri.
Tidak lama kemudian Ian bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk pergi ke kampus. Di sepanjang jalan sambil menyetir, pikiran Ian terusik dengan 1 hal yaitu kemungkinan Rio akan pindah ke Amerika. Ia merasa tidak rela. Ia merasa hatinya sakit ketika memikirkan kemungkinan tidak akan bersama-sama Rio lagi. Tidak ada lagi Rio di dalam hari-harinya Ia merasa sangat tidak rela. Memikirkannya saja sudah membuat moodnya sangat buruk!
ddrrrtt. ddrrttt.
Getaran ponsel Ian menandakan ada pesan masuk. Ian yang baru saja sampai parkiran kampus segera mengambil ponselnya.
"Selesai jam berapa kuliahnya?" Pesan masuk dari Rio
"Jam 14.30." Balas Ian.
"Ketemu bisa gak sebelum pulang ke rumah?"
"Kok gitu? ketemunya di rumah aja kan bisa, yo.." Balas Ian lagi.
"Ada yang perlu gw omongin sama lo."
"Yaudah kita ketemu di Mal XXX ya jam 3 sore"
"Oke".
Ian segera memasukkan ponsel ke dalam tas dan beranjak keluar mobil untuk menuju ke dalam ruang kuliah.
Mall XXX
Rio terlihat sedang berjalan dengan santai menuju restoran tempat Ia dan Ian janji bertemu. Di setiap kakinya melangkah tidak lepas dari tatapan memuja para wanita. Ada yang hanya meliriknya berulang kali dan ada juga yang terang-terangan mengaguminya. Namun Rio cuek dengan semua itu. Ia bukanlah seorang playboy yang memanfaatkan ketampanan yang dimilikinya untuk menggaet hati para wanita untuk di jadikan mainan atau pengisi waktunya saja.
Dari luar restoran Rio bisa melihat Ian tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Rio tersenyum tipis dan melangkah menuju meja dimana Ian duduk.
"Hey". Ucap Rio sembari menarik kursi.
"Jalanan macet yo sampai lo telat? lagian ngapain sih pake ngajak ketemu di luar yo.. kita kan tinggal serumah". Cecar Ian yang sudah bete menunggu Rio cukup lama.
"Sorry tadi harus nemuin dosen dulu makanya telat. Gw ngajak ketemu di luar karena gw mau ngomong serius sama lo jadi gw pikir gak enak kalau di rumah". Ucap Rio.
"Makan dulu deh yo biar gw punya tenaga buat dengerin omongan lo.. muka lo serius banget soalnya. Serem gw".
Rio pun tertawa dan mengambil buku menu yang sudah Ia minta sebelumnya pada pelayan.
"Yaudah jelasin lo mau ngomong apa sekarang sampai kita harus ngobrol di luar rumah begini?" Tanya Ian sembari mengelap mulutnya setelah Ia selesai menyantap makan siangnya.
"Gw mau tanya.. Lo mau gw pindah ke Amerika atau tetap di sini?". Ucap Rio tanpa basa-basi.
Ian mengerutkan keningnya mendengar perkataan Rio.
"Kenapa lo tanya gw? Apa hubungannya sama gw sih?".
Iya memang gak ada hubungannya tapi gak tau kenapa gw perlu tau lo mau gw pergi atau tetap di sini.. Batin Rio sembari menatap Ian.
"Gw hanya butuh pandangan dari orang lain aja, Ian." Jawab Rio. Lain di hati lain di mulutnya.
"Kalau gw bilang lo jangan pergi dan tetap tinggal dirumah gimana?".
"Gw akan turutin kalau itu mau lo."
"Kenapa lo mau nurutin gw?" Ian bertanya dengan menatap dalam manik mata Rio.
Karena gw ngerasa kalau gw gak bisa jauh dari lo, Ian..
"Kenapa? Jawab gw!" Paksa Ian yang kesal karena Rio hanya diam menatapnya.
"Karena mungkin gw gak bisa jauh dari lo, Ian." Ucap Rio akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya.
Ian terdiam membisu.
"Gw gak mau lo berada jauh dari radar gw. Maaf buat lo bingung sedangkan kita gak ada hubungan apa-apa." Lanjut Rio meraih tangan Ian dan menggenggamnya.
"Iya kita memang gak ada hubungan apapun dan semestinya lo gak boleh begini ke gw. Gw bukan pacar lo".
"Tapi gw mau mulai hari ini hubungan kita lebih dekat lagi dari sebelumnya. Gw gak menyebut itu pacaran. Terserah lo mau menganggap apa hubungan kita ini.. Yang jelas gw mau lo selalu ada di sisi gw. Lo mau, hm?". Rio menatap mata Ian dengan tatapan yang sulit di artikan.
Ian terdiam sembari menatap tangan Rio yang masih menggenggam tangannya. Tak lama kemudian Ian pun mengangguk sambil mengulas senyum manis pada Rio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Mana bisa kek gitu Rio,Cewek itu butuh kepastian,Bukannya di gantung kayak jemuran..
2024-04-28
0
Qaisaa Nazarudin
Menurut ku disini sih Rio yg pengecut jadi cowok,gak mau jujur,Ntar saat Ian sudah jadi milik orang baru deh Rio kelabakan dan berubah jadi Pebinor..🙄🙄
2024-04-28
0
Qaisaa Nazarudin
Lama banget mengerti kan rasa sampai bertahun2 😂😂😂
2024-04-28
0