Sarah POV.
“CM Agency sudah bekerja sama dengan banyak brand-brand terkenal, televisi dan desainer hebat hampir di seluruh dunia, bahkan model-model kami sudah banyak yang bekerja dan tinggal di luar negeri untuk pindah ke agency yang lebih besar lagi. CM Agency juga akan menyiapkan manajer pribadi bagi model-modelnya saat mereka dirasa sudah siap untuk menjalankan pekerjaannya sebagai model profesional.” Kata-kata Calvin membuatku bersemangat.
Dengan hal itu semua aku bisa membuat hidup Langit lebih layak lagi.
Calvin mengambil sebuah kertas. “Hmm, dari biodata dirimu, kamu sama sekali belum pernah terjun ke dunia model, bahkan mengikuti event-event kecil sebagai model.” Lanjut Calvin dan melihat ke arah Dave.
“Dave yang memberikan rekomendasi spesial darimu untukku. Aku tidak percaya dengan yang namanya insting atau ramalan masa depan, tetapi melihat ekspresi wajahmu sekarang, apabila di latih dengan tepat akan menjadi ekspresi yang paling di sukai oleh para fotografer.” Lanjut Calvin dengan penuh kharisma.
“Sekarang berganti bajulah, kami akan melakukan pemotretan dirimu dan bayangkan dirimu akan menjadi sampul depan sebuah majalah ternama.” Ucap Calvin.
Langkah kakiku menuju ke belakang layar, disana sudah ada seorang tukang make up dan baju yang siap mendadani ku. Apa yang harus aku lakukan nanti, aku sama sekali tidak punya pengalaman tentang ini.
Sebuah bandana berwarna hijau dengan motif putih, sweater berwarna putih dengan lingkar pada pundak yang mengekspos pundak kiri ku dan dalaman berwarna senada dengan bandana sudah terpasang pada tubuhku.
Lipstik berwarna kecoklatan sudah dipoles kan membuatku menatap cermin dan menelan salivaku kasar.
“Hei, jangan tegang. Keringat dari pelipismu menghancurkan make up yang sudah aku buat.” Ucap tukang make up di depanku dengan sedikit kesal.
“Ini sentuhan terakhir.” Dave yang tiba-tiba saja datang membawa sebuah kalung dengan tulisan "GC” berwarna emas.
“Perfect.” Ucap Dave setelah memasangkan kalung itu pada leherku.
Kedua orang yang dari tadi mendadani ku diam-diam mengambil fotoku.
“Dave, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.” Ucapku gugup. Dave memegang kedua pundak ku.
“Kamu hanya cukup berpose, lakukan saja pose yang ada di pikiranmu dan rileks.” Aku hanya mengangguk dengan kata-kata Dave, tetapi sama sekali tidak mengurangi kecemasanku.
Aku sudah berdiri lagi di tengah-tengah ruangan dan membuka mataku dengan lebar melihat tambahan seorang pria dengan noda kopi pada kemeja dan jasnya.
Duduk di antara Dave dan Calvin, bahkan Dave sendiri mengeratkan genggaman tangannya dengan urat yang menonjol pada pelipisnya. Kassa.
“Oh iya perkenalkan, Sarah. Ini Angkasa Pratama pemilik perusahaan majalah fashion terpopuler di Australia yaitu Glamour.” Suara Calvin yang terasa menggema di telingaku.
"Glamour akan mengajukan kerja sama kepada CM Agency, dimana model-model dari agensi kami akan mendapatkan kontrak kerja eksklusif dari Glamour.”
Perkataan Calvin terasa seperti pisau bermata dua untukku.
Kesempatan mendapatkan pekerjaan seperti ini sangat jarang aku dapatkan dan mungkin dapat menaikkan ekonomiku dan Langit.
Tetapi di satu sisi pekerjaan ini akan membuatku sering bertemu dengan Angkasa dan yang paling aku takutkan kalau sampai dia bertemu dengan Langit dan tahu bahwa Langit adalah anaknya.
“Baik, Sarah. Mari kita mulai pemotretannya.” Saraf-saraf ku menegang, aku sama sekali tidak tahu harus melakukan apa.
Blitz lampu setiap kalifotografer menekan tombol pada kameranya membuatku mengedipkan mataku berkali-kali.
Terdengar suara tawa kecil dari dua orang yang mendadani ku karena gerak kakuku.
Jepretan kamera terdengar lagi.
Spontan aku melihat Calvin memangku kepala dengan tangannya, menilai dengan tenang.
Angkasa dengan wajah datar dan melihat ku dan Dave yang entah sejak kapan menghilang dari tempat duduknya.
Aku tidak boleh seperti ini, aku harus meyakinkan diriku dan ini adalah keputusanku.
Dengan yakin. Aku mengubah gerakan ku berjongkok dan menumpu tubuhku pada heels, tangan kiri menyentuh lantai sekaligus memperlihatkan pundak ku yang terbuka.
Sebuah lampu sorot tiba-tiba menyoroti ku, tetapi aku tidak mengubah fokus ku.
Jepretan kamera terakhir pun dilakukan.
Angkasa POV.
Aku berjalan menuju sofa dan membaringkan tubuhku, mataku terpejam namun pikiran ku berkeliaran entah dimana.
Aku membiarkan kemeja ku yang bernoda dan beraroma kopi.
Bibirku membuat sebuah senyuman dengan sendirinya. Aroma tubuhnya membuatku gila.
Masih dapat aku rasakan kehangatan kulitnya pada bibirku, entah mengapa seakan aku pernah merasakan kehangatan itu dan sekarang aku bahkan merindukannya.
Aku melihat undangan pertunangan ku pada meja di dalam apartemen dan membuangnya ke tong sampah.
Kristal kekasihku selama 6 bulan yang lalu.
Dia wanita yang selalu bersamaku dalam beberapa waktu terakhir.
Aku mengambil ponselku dan membuka kembali foto wanita yang sedang menatap menara Eiffel. Siapa wanita ini sebenarnya?
Mengapa tidak ada yang tahu tentang siapa dirinya dan keberadaanya semenjak tubuhku berada di rumah sakit 5 tahun yang lalu.
Aku mengganti kemeja kotorku, mengambil kunci mobilku dan mengendarainya menuju ke kafe tempat Sarah bekerja, walaupun aku tahu dia pasti sedang tidak ada disana. Dia masih melakukan audisinya untuk agensi itu.
Mobilku berhenti pada sebuah taman.
Aku mencari tempat duduk yang sekarang sedang dipenuhi banyak anak kecil.
Sampai akhirnya suara tangis anak kecil membuatku menoleh.
“Siapa yang menyuruhmu duduk disini?” Ucapku dingin.
“Suka-suka, Langit.” Ucapnya dengan suara serak menatapku tidak kalah tajamnya denganku.
“Kamu kenapa menangis, dasar bocah.” Kataku lalu menatap lurus ke depan, punggungku bersandar pada kursi taman.
“Uncle sendiri kenapa kelihatan seperti orang yang tidak punya teman seperti itu.” Tanyanya menatapku sengit begitu pun juga denganku.
“Dasar bocah, jangan panggil aku Uncle.” Kataku tanpa menoleh ke arahnya. Matanya sama denganku.
“Kenapa kamu nangis disini? Kalo mau nangis sana pulang.” Lanjutku.
“Engga, Langit gak mau nangis depan mama. Langit gak mau buat mama sedih.” Ucapnya yang membuatku teringat sesuatu. Langit?
“Sarah Gibran? Mamamu?” Tanyaku sekarang menatapnya lekat.
“Kok uncle tahu? Uncle siapanya mama?” Tanyanya dengan heran.
Jika Dia Anaknya Sarah, aku menjadi penasaran dengan ayahnya.
“Kenapa kamu menangis?” Tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
Aku melihat dia menatap seorang anak kecil yang sedang bermain ayunan dengan ayahnya.
“La…Langit ingin ketemu papa.” Ucapnya menunduk dan terisak lagi.
Tanganku ingin sekali menyentuh punggungnya, tetapi aku mengurungkan niatku.
“Papa Langit memangnya dimana?” Tanyaku berharap anak kecil ini akan memberitahukan ku.
“Papa Langit pergi tinggalin Langit dan mama.” Ucapnya.
Aku dapat melihat kemarahan pada dirinya saat dia mengatakannya.
“Ta…pi Langit ingin ketemu papa, Langit janji kok gak akan nakal. Langit janji akan jadi anak baik.” Ucapnya.
Ada perasaan marah dan sedih saat Langit mengatakan tentang kepergian papanya, ingin sekali aku membunuh pria itu karena meninggalkan mereka seperti ini.
Aku melingkarkan tanganku dan memeluk tubuh kecil di sampingku, dia tidak menolaknya bahkan dia ikut memelukku lebih erat.
Sampai aku merasakan pipiku menjadi basah. Mengapa aku menangis.
BERSAMBUNG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Christine Noven Dwisofia
thor jadi kassa lupa ingatan gara² dipukul, dan sarah pergi ninggalin kassa karna dia tidak mau kassa kenapa²??terus kenapa bisa kassa selamat yah thor??
2021-07-08
0
🍾⏤͟͟͞͞★<мαу ɢєѕяєк>ꗄ➺ᶬ⃝𝔣🌺
bang SP sebenarnya apa yg terjadi sama Kassa 🥺🥺
2021-07-06
0
guest1053795901
ada apa dgn kassa thor
2021-07-06
0