Beberapa jam setelah pernikahan. Kami harus segera membawa ibu ke rumah sakit. Beliau harus istirahat dan tidak boleh kelelahan.
Ibu menangis hebat sesaat setelah pemberkatan. Mengucapkan maaf yang seharusnya bukan tugas beliau. Semua bukan salah ibu.
Ibu membisikkanku harapan dan doanya. Agar aku dan Al bahagia dengan pernikahan kami seperti ibu yang bahagia karena hal ini.
Kak Vina pun turut menangis di pelukan suaminya. Dia meminta maaf atas nama adiknya yang brengsek. Hanya ayah Dana yang mengerti perasaanku. Beliau hanya memelukku. Aku tidak mau mengingat masa lalu ku.
Ayahku sendiri hanya terdiam. Aku tau ayah masih merasa bersalah padaku dan ibu. Aku baru mengetahui ternyata penyebab ibu terkena serangan jantung saat itu karena ayahku memberitahu kalau hakku (yang seharusnya mendapat sebagian hartanya) tidak ada. Karena ternyata aku memiliki kakak laki-laki dari perempuan itu. Yang berarti ayah sudah berselingkuh lebih dulu bahkan sebelum aku ada. Hal itu yang membuatku enggan menganggapnya ada.
Aku memasuki kamar hotel yang memang disediakan untuk kami. Membersihkan make up dan berlalu untuk mandi. Semua berjalan terlalu cepat. Tanpa ada penyesuaian. Aku masih bingung harus seperti apa saat berhadapan dengan Al.
Selesai mandi aku melihat Al duduk di atas kasur. Aku tau kita memang harus membicarakan semuanya. Mengingat kejadian dulu. Dia yang marah dan aku lebih marah. Kami terlanjur saling membenci.
"Ibu minta kita tidak menjaganya dulu. Dia mau kita istirahat."
Aku mengangguk tanpa menatapnya. Hanya fokus mengeringkan rambutku dengan hair dryer. Dan segera pergi tidur.
Aku mendengar Al memasuki kamar mandi. Dan membuatku melepaskan napas yang tanpa kusadari aku menahannya.
Membelakangi Al adalah pilihan terbaik. Jadi aku pilih sisi kiri kasur yang membelakangi pintu kamar mandi. Berharap segera terlelap.
Namun aku merasakan Al sudah menaiki kasur dan memelukku dari belakang. Membuat tubuhku seketika meremang merasakan hembusan napasnya di area leherku.
"Sungguh. Aku harap pernikahan ini berhasil. Aku akan berusaha. Kesalahanku di masa lalu mungkin terlalu besar. Tapi aku mohon. Bantu aku. Aku tidak ingin mengecewakan ibu, ibumu dan anak kita."
Napasku memburu mendengar kalimatnya. Dadaku sesak. Air mataku mengaliri wajahku. Aku mendorongnya menjauh.
"Jangan pernah sebut anakku. Dia bukan anakmu. Kamu sudah menolaknya. Jadi lebih baik kamu diam."
Al mencoba meraihku yang terduduk di lantai. Namun aku tetap menolaknya. Aku bahkan merasa jijik dengan sentuhannya. Panik menyerangku. Semua ingatan masa lalu seketika terputar. Betapa bodohnya aku. Mungkin Tuhan memanggil ibu pergi karena tidak mau ibu malu memiliki anak sepertiku. Mungkin Tuhan menghukumku karena aku tidak taat dan tidak bisa menjaga anakku.
***
"Aku memang bodoh karena meninggalkanmu. Aku memang bodoh karena menyia-nyiakan kamu dan anak kita. Aku gelap mata karena cemburu pada Daniel. Sungguh maafkan aku sayang maafkan aku."
Aku sadar dari pingsanku, merasakan Al menciumi punggung tanganku. Dan sadar aku kini berada di rumah sakit yang sama dengan ibu.
Aku bodoh bukan? Bahkan sampai sekarang aku masih menyayanginya. Masih mencintainya. Masih mengharapkan permohonan maaf dan penyesalannya. Dan kini aku mendapatkan itu.
Al menyadari aku telah sadar dari pingsanku. Ia memanggil dokter untuk memeriksa. Dokter hanya berkata aku terkena serangan panik.
Ya. Aku terkena panic attack syndrome setelah kejadian mengerikan itu. Sudah tidak kambuh karena aku sering pergi konsultasi.
"Ini semua karenaku bukan?"
Aku masih terdiam. Berusaha menstabilkan emosiku.
"Aku.."
"Aku juga cemburu. Kamu selalu memilihnya. Kamu bahkan meninggalkanku saat aku membutuhkan dukungan. Kamu menolakku dan anakku. Menuduhku kalau anak yang ku kandung milik Daniel." Aku memotong kalimatnya.
Tubuhku gemetar mengingat itu. "Kau tau? Bahkan sampai kini aku masih menyimpan foto menjijikan yang dikirim wanita itu padaku. Bodoh memang. Tapi itu membuatku mengingat agar aku tidak jatuh dan kembali menjadi bodoh untuk yang kedua kalinya."
Al terkejut namun aku melihat dahinya mengerut. Dan aku tidak peduli.
"Foto?"
Mendengar nada terkejutnya membuatku tersenyum sinis. Sayang handphone ku tertinggal di kamar. Aku mungkin sudah berganti handphone. Tapi aku masih menyimpannya di googl* drive.
"Kau terlihat menikmati malam panasmu dengan wanita itu disaat aku membutuhkanmu."
"Bayiku. Dia masih terlalu kecil untuk bertahan. Harusnya kalau kamu tidak menginginkan aku lagi kamu bisa mengatakannya saat bayiku sudah kuat." Aku menjeda. Rasa sesak itu datang kembali.
"Aku bahkan masih bisa merasakan sakitnya. Dua belas minggu. Usianya baru dua belas minggu."
"Apa kamu masih bisa berpikir kalau aku bisa dengan mudah memaafkan? Kalau untuk masalah kamu yang berselingkuh. Mungkin aku tidak akan peduli. Dan mungkin aku dengan bodohnya akan dengan mudah memaafkanmu. Dan kita akan bahagia. Tapi kalau diposisi sesulit ini. Apakah memaafkanmu akan terasa adil buat anakku?"
Al terisak. Mungkin ia membayangkan menjadi diriku.
Bohong kalau akut tidak pernah berandai. Mengharapkan Al kembali ke sisiku dan berandai kita akan hidup bahagia dengan kehidupan baru.
***
2012
"Kenapa kamu jadi susah dihubungi? Rumah kita bersebelahan. Tapi kamu bahkan tidak punya waktu untuk menjengukku."
Hubungan kami sudah jalan tahun kedua. Tapi entah mengapa aku merasa Al semakin menjauh. Bahkan kami tidak pernah bisa untuk sekedar bertemu dan bercerita. Al selalu saja meladeni perempuan bernama Nadia itu. 'Nadia sedang sakit'. 'Nadia sedang membutuhkanku'. 'Aku sedang bersama Nadia'. Bahkan aku sempat berpikir. Apakah aku masih menjadi kekasihnya?.
"Aku sibuk dengan tugasku."
Kini itu yang menjadi alasan. Aku merasa hanya aku disini yang berjuang. Kami bahkan tidak LDR. Tapi seperti sedang menjalani LDR.
"Baiklah. Kita mungkin memang butuh waktu masing-masing."
Dan aku menyesali perkataanku barusan. Al benar-benar tidak menghubungiku setelah itu. Aku bertanya pada Daniel pun ia tidak tau apa kesibukan Al.
Aku pasrah. Setelah semua yang kuberikan. Aku memang bodoh. Terlalu termakan cinta. Memberikan tubuhku secara sukarela. Sungguh bodoh bukan?
Aku menatap alat test kehamilan di kedua tanganku. Membeli banyak untuk meyakinkanku. Dan hasilnya semua sama.
Positif.
Takut. Itu hal dominan yang paling kurasakan. Ini berarti membuat ibuku kecewa. Aku tidak tau harus bagaimana.
Ditambah Al yang tidak meresponku. Bahkan Al tidak pulang ke rumah. Ibu Ratih bilang Al menginap di kosan temannya.
Hari itu hujan deras mengguyur kota Jakarta. Aku harus menunggu di rumah sakit karena lupa membawa jas hujan. Ya aku memeriksa kandunganku. Dan bayi ini sudah berusia sebelas minggu. Jika dihitung itu berarti terakhir kami lakukan saat berlibur di oulau seribu.
Hujan yang cukup lama membuatku pulang terlambat. Dan terlambat pula menemukan ibuku yang sudah terjatuh di bawah anak tangga.
Panik. Tapi aku berhasil menelpon ambulans dan ibu Ratih. Dan dokter menyatakan ibuku terkena serangan jantung. Dan sudah meninggal saat di perjalanan.
Aku menangis hebat. Hanya bisa memanggil ibuku yang sudah terbaring kaku dengan kain putih ditubuhnya. Memeluk ibuku berharap ia akan terbangun lagi. Tapi tak bisa. Ibuku sudah meninggalkan ku sendiri.
Tuhan menghukumku sangat berat. Ibuku. Hartaku satu-satunya. Diambil oleh-Nya.
Al datang, disaat ibuku dimakamkan. Dan aku terlalu malas bicara dengannya. Aku tau ia hanya kasihan melihat ku. Mengasihani hidupku.
Ibu Ratih, kak Vina Dinda dan Daniel yang selalu disampingku terkadang ayah Dana juga menemaniku. Mereka selalu mengajakku berbicara. Meskipun aku tidak membalasnya sama sekali.
Seminggu aku bersedih. Selama itu pula aku hanya ditemani mereka. Al? Entahlah dia hanya datang beberapa kali.
Aku teringat ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Aku pergi ke kampus Al ditemani Daniel yang memang sekampus dengannya. Tapi kami tidak menemukan Al.
"Aku akan menanyakan Al ke teman sekelasnya. Kamu pulanglah terlebih dahulu. Kamu perlu istirahat."
Kami duduk di cafe sekitaran kampus Al. Kenapa sesulit ini untuk bertemu dengannya.
"Terima kasih niel. Kamu selalu menolongku."
Daniel tersenyum. Memegang tanganku dan menguatkanku. Dia tau apa yang ku alami saat ini.
"Jadi ini kelakuan kamu dibelakangku Kim?"
Aku menoleh. Mendapati Al dengan wajah memerah marah.
Al menarik tanganku untuk berdiri. Membuat Daniel mencegahnya.
"Kamu tau Kim kekasihku. Tapi kenapa kamu mendekatinya."
Aku mencegah Al dan mencoba memberi penjelasan namun Al terlalu marah. Ia menarikku menuju mobilnya. Dan membawaku ke sebuah kos laki-laki yang ternyata selama ini menjadi tempat tinggalnya.
"Kamu selingkuh?!"
Al berteriak tepat didepan wajahku. Garis rahangnya yang terlihat jelas menandakan ia menahan amarahnya.
"Aku mencarimu. Dan Daniel membantuku. Kamu yang menghilang Al."
Aku menjelaskan dengan nada kecewa. Ia menuduhku selingkuh. Tidakkah dia tau betapa aku mencintainya.
"Ya terus kamu bisa gitu malah nongkrong pegangan tangan kaya gitu? Kamu bisa menelponku."
Aku tertawa sinis. "Bukankah selama ini aku menghubungimu? Dan kamu sering mereject telepon dariku."
"Alasan!"
"Al! Aku hamil."
Al terdiam. Entah mengapa wajahnya malah terlihat semakin marah.
"Apa kamu yakin itu anakku? Setelah lihat kelakuanmu. Aku bahkan tidak yakin anak itu milikku. Apa itu milik Daniel?"
Marah. Aku marah. Tapi tidak sanggup meluapkan amarahku. Aku hanya terdiam. Mataku dengan kurang ajarnya malah menangisi cowok brengsek yang ada di hadapanku ini.
"Setelah semua. Kamu meragukanku? Menuduhku dan Daniel berselingkuh dibelakangmu? Apa semua karena si Nadia Nadia murahan itu?"
Pipiku terasa panas. Al menamparku. Menamparku karena aku mengusik Nadianya. Aku tertawa miris. Kini bukan marah yang kurasakan. Tapi kecewa.
"Aku.." ia tampak kaget. Karena ternyata ia juga bisa melukaiku secara fisik.
"Baiklah. Kita akhiri semua. Aku sudah tau siapa yang kamu pilih."
Aku berbalik. Keluar dari kamar kos itu dengan tergesa. Tidak mempedulikan teriakan Al yang memanggilku. Masa bodoh dengan hujan yang sedang turun dengan deras.
Semua sudah berakhir.
Aku bahkan menghindari seluruh keluarga Al. Daniel. Bahkan Dinda temanku. Aku mengurung diri. Memikirkan semua. Mungkin pergi jauh adalah hal yang ku pilih saat ini.
Aku sudah mempersiapkan segalanya. Tapi sebelum rencana pelarian diriku terlaksana. Aku mendapati pesan sebuah foto. Dan di foto itu aku melihat Al yang tertidur tanpa mengenakan atasan dengan Nadia dipelukannya.
Aku merasakan keram luar biasa diperutku. Dan melihat darah mengaliri kedua pahaku. Hal terakhir yang kulakukan sebelum pingsan adalah menelepon ibu Ratih. Dan semuanya berakhir.
*
Aku terbangun mendapati aku sudah berada disebuah rumah sakit. Aku refleks terbangun dan mengecek tubuhku terutama bagian perutku. Ibu Ratih yang berada disampingku memanggil dokter.
Dan dokter memberitahuku kalau aku keguguran. Bayiku tidak terselamatkan. Dan aku akan menjalani proses kuretase. Mengangkat sisa-sisa jaringan yang tertinggal.
Aku menangis dan berteriak sejadi-jadinya menyesali semua. Menyesali apa yang terjadi. Dan aku menyesali telah mengenalnya.
Hanya dalam dua minggu aku merasakan kehilangan dua kali. Ibu Ratih dan ayah Dana meminta maaf padaku. Memelukku. Ayahku datang ia juga memelukku. Meminta maaf atas semua yang terjadi. Kak Vina pun melakukan hal yang sama.
Hanya Al yang tidak ingin ku temui. Dia pasti bahagia. Tidak ada penghalang untuk hubungannya dengan Nadia.
Sudah cukup. Sudah tidak ada lagi hal yang mengaitkan kami. Semua sudah berakhir. Benar-benar berakhir.
Dan aku tidak tau harus menyalahkan siapa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ita
jd gt critanya,,,,,, ok, skrg balik k masa sesudah menikah sah. mudah2an kim bs mnerima dan berbahagia dg al
2022-05-14
0
Ita
wow, ada apa ini? cb balik awal lg ah , mungkin ada yg trlewat
2022-05-14
0
Lilis Ferdinan
ohhhh,,, sdh hamil aj trnyata,,,,,, hehe,,, cpt jg alurnya,,,,, haduhhhh,,, hati2 kim, jng sampe kecewa untuk kesekian kalinya,,,
2022-04-09
0