Bab 1

Awalnya aku meyakinkan diriku untuk tidak jatuh cinta, sadar diri aku tidak seperti gadis lain yang mempunyai banyak waktu untuk mengagumi atau bahkan waktu untuk berkencan.

Tapi ternyata aku gagal. Aku jatuh cinta di usiaku yang ke enam belas. Dan orang itu adalah Alvaro Pradipta. Tetanggaku.

Siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan seorang Alvaro Pradipta. Al, dia baik. Dia pintar. Dia tampan, dengan mata teduh, hidung bangir, bibir indah, postur tubuh yang ideal tinggi diatas rata-rata dan kulit langsat yang ia dapat dari ibunya. Dia memiliki segalanya tanpa kekurangan. Keluarga yang kaya dan harmonis, memiliki banyak teman, dan banyak yang menyukainya.

Kami bertetangga. Aku dekat dengan keluarganya. Bahkan aku dekat dengan kakak perempuannya. Tapi kami tidak pernah dekat sama sekali. Dia mungkin tersenyum padaku, hanya tersenyum sopan. Dia selalu menolongku walau atas suruhan ibunya. Tapi aku tetap senang.

Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayahku, dia terlalu sibuk dengan keluarga barunya untuk dimintai tolong. Ayahku memang masih membiayai sekolahku. Dia tidak lepas tanggung jawab.

Aku yang hanya tinggal dengan ibuku lah yang menjadi alasan kenapa Al selalu disuruh menolongku. Entah memasangkan bohlam lampu. Atau memeriksa motorku yang sudah terlalu sering mogok. Seperti saat ini.

"Sepertinya motor kamu harus masuk bengkel kali ini. Ada masalah pada mesinnya. Dan aku kurang paham tentang itu." Aku mendingak menatap Al yang selesai memeriksa motorku dan mendesah. Selalu saja masalah seperti ini.

"Baiklah. Terima kasih sudah menolongku memeriksanya Al." Aku tersenyum memberinya es kopi favoritnya. Aku yang membuatnya. Membawa kopi itu dari tempat kerja paruh waktuku. Dan hanya itulah yang disukai Al dariku. Kopi buatanku.

"Besok kita bisa berangkat sekolah bersama. Dan biar aku yang mengurus motormu. Temanku ada yang mempunyai bengkel. Dia bisa menjemput motormu"

Al. Selalu baik. Aku selalu berusaha menangkal pikiran halu di otakku. Dia melakukan ini hanya karena peduli dan memang karena dia baik. Bukan karena dia perhatian padaku.

Sudah beberapa kali saat motorku dibenahi Al selalu mengajakku untuk berangkat bersama. Tapi tetap disekolah kami tidak pernah dekat. Dia yang berada di kelas IPA dan aku yang di IPS menjadi salah satu alasan. Dan alasan utama, karena Al begitu populer diantara sekian banyak murid.

Kami dekat hanya karena sebatas tetangga. Dan orang-orang tidak sibuk menggosipkan aku dan Al yang selalu datang bersama. Karena Al yang mengkonfirmasi hal itu.

"Kalian datang bersama lagi?"

"Motornya masuk bengkel lagi. Sebagai tetangga yang baik dan anak yang berbakti. Aku mengikuti saran ibuku untuk berangkat bersama." Itu yang selalu diucapkan Al kalau salah satu temannya bertanya.

"Terima kasih Al." Melihatnya mengangguk tanpa menjawab apapun bahkan tanpa melihatku. Aku segera berjalan menuju kelasku. Ingat itu Kim. Dia hanya berusaha menjadi tetangga yang baik dan anak yang berbakti. Karena ibunya yang menyuruh untuk mengantarku.

Aku mendapat pesan dari Al kalau dia tidak bisa mengantarku pulang. Dan yap benar saja aku melihatnya mengntar perempuan teman sekelasnya. Dan dia Siska. Seorang model remaja yang disukai Al.

Sudah benar bukan pilihanku untuk tidak mengatakan perasaanku?

"Bu, Kim berangkat kerja dulu ya." Aku mengintrupsi ibu yang sedang sibuk dengan pesanan cateringnya.

"Iya hati-hati ya. Naik apa? Motormu kan di bengkel."

"Kim bisa naik sepeda bu. Sayang ga dipakai."

"Harusnya kamu ga perlu kerja. Toh ayahmu kan ga lupa kasih uang jajan dan sekolah." Dan lagi-lagi. Ibu selalu melarangku untuk kerja. Katanya bukan urusanku untuk memenuhi kebutuhan.

"Lumayan bu nambah uang jajan sama tabunganku." Aku menyalami ibu dan dua pegawai ibu yang turut membantu.

Ibu hanya menggelengkan kepala. "Ya sudah terserah kamu. Asal sekolahmu baik-baik saja."

Aku pergi menuju coffee shop tempatku bekerja paruh waktu. Coffee shop ini milik keluarga temanku, Dinda. Dipegang oleh kakaknya kak Dimas.

Hampir satu tahun aku paruh waktu disini dan lumayan untuk menggemukan tabunganku. Aku tidak bisa mengandalkan ayahku yang mungkin saja sewaktu-waktu ia lupa. Seperti saat aku di sekolah menengah pertama. Saat ia lupa membiayai kami dan sibuk dengan keluarga barunya.

Aku melihat Al sedang duduk di sudut cafe saat aku sampai. Ternyata dia membawa Siska kemari. Tanpa membawa teman-teman lelakinya. Itu berarti mereka ada hubungan spesial bukan?

Berusaha sibuk tanpa menghiraukan pasangan itu. Tenang ini sudah biasa. Tidak seharusnya aku iri apalagi cemburu.

"Kim kamu udah datang? Aku pesan kopi yang biasa kamu buatkan ya satu."

Aku mengerut menatap Al yang ada dihadapanku. Bukankah dia sudah pesan kopi? Aku melirik ke arah mejanya dan ternyata dia tidak meminum kopi itu.

"Ah oke. Dua puluh dua ribu. Ada lagi yang mau dipesan Al?" Aku benci saat aku berhadapan dengan Al. Suaraku selalu terdengar seperti dibuat-buat.

"Tidak itu saja. Aku ketagihan dengan kopi buatanmu." Dia menyengir. Kalimatnya membuatku tersipu. Sial begitu saja aku sudah bahagia.

Aku memberinya kembalian uangnya. Dan memberitahu kalau nanti pesanannya akan diantar ke meja.

Sebenarnya kopi buatanku sama seperti yang diajarkan kak Dimas pada kami karyawannya. Tapi entah mengapa Al selalu meminta kopi buatanku. Dan aku senang akan hal kecil seperti itu.

Aku membawa kopi buatan Al ke mejanya. Melihat Siska menatapku tidak suka. Aku yakin dia tau siapa aku. Bukan, bukan karena aku populer di sekolah. Tapi karena aku Kimberly si tetangga Al.

"Kamu kenapa pesan kopi lagi sih yang. Kan ini masih ada."

Aku mendengar Siska protes saat aku menaruh gelas kopi di meja. Dan benar saja mereka punya hubungan dengan panggilan 'yang' yang sepertinya sengaja ditekankan.

Berusaha menutupi perasaanku. Hanya perlu pura-pura tidak mendengarnya.

"Kopi buatan Kim enak. Kamu mau coba? Aku aja ketagihan." Al meminumnya dan menyodorkan ujung sedotan yang sudah dipakainya pada siska.

Aku segera undur diri. Hal itu membuat hatiku sedikit teriris. Bahkan mereka meminum dengan satu sedotan yang sama. Walaupun aku tau itu hal wajar untuk orang yang berpacaran.

Saat pulang bekerja. Aku memilih untuk berjalan sambil mendorong sepedaku. Tidak ingin cepat sampai rumah. Kelelahan adalah pilihan terakhir agar segera tertidur tanpa memikirkan apapun. Terutama kejadian saat di cafe.

Saat sampai ibu menyuruhku mengantarkan kue ke rumah ibu Ratih. Rumahnya Al. Dan kini Al lah yang membukakan pintu untukku. Entah ini kesialan yang mengiringiku atau keberuntungan karena bertemu dengannya lagi.

"Ini titipan dari ibu." Aku memberikan kue itu pada Al yang masih terdiam. Tak ada tanggapan aku segera berlalu.

"Kim." Aku menoleh saat Al memanggilku. Dan mengangkat sebelah alisku tanpa menjawabnya.

"Sampaikan terima kasih untuk ibu. Dan apa kamu mau datang ke acara ulang tahunku hari minggu ini?"

Aku terkejut mendengarnya. Sudah lewat dua tahun Al tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Katanya dia sudah bukan anak-anak.

"Hanya beberapa orang saja dan hanya barbeque-an disini." Aku mengangguk mendengarnya dan tersenyum.

"Baiklah. Aku akan datang."

Kali ini aku benar benar kabur ke rumahku yan. Tepat disebelah kanan rumah Al. Terlalu bahagia. Aku sampai meloncat dan sudah memikirkan kira-kira kado apa yang cocok dan berguna untuk Al.

Besoknya aku memutuskan untuk pergi sekolah sendiri mulai hari ini, setelah ingat kalau Al kini sudah ada yang punya. Bahkan kini sekolahpun gempar dengan berita itu. Bukan hal aneh. Karena Siska sangat populer dikalangan murid perempuan dan laki-laki. Mengabaikan itu adalah pilihan terbaik.

Pulangnya aku membeli kado untuk Al. Sebuah jaket kulit yang harganya memang tak seberapa. Tapi aku harap dia suka.

Aku terlalu excited. Lihatlah aku membongkar lemari bajuku. Mencari sekiranya pakaian yang bagus untuk menghadiri acara Al malam ini. Setidaknya aku ingin tampil cantik sesekali. Aku yakin Siska pasti datang.

Sedikit berdandan mungkin akan lebih baik. Awalnya aku ingin mengenakan dress. Tapi pada akhirnya aku tetap memilih jeans dan baju hitam dengan model sabrina karena tidak percaya diri dengan pakaian yang berwarna terang.

Aku berjalan menuju rumah Al dengan membawa kado dan kue titipan ibuku. Dari sini aku bisa mendengar beberapa teman Al sudah ada di halaman belakang rumahnya.

Aku disambut ibu Ratih yang seperti biasa tampil cantik dan anggun. Menyuruhku langsung ke belakang karena Al sedang menjemput Siska.

"Si Al itu loh Kim. Harusnya kan dia tidak menjemput karena dia tuannya. Tapi si Siska Siska itu aleman. Masa minta jemput segala. Mana mintanya pakai mobil. Ribet. Ga mandiri." Aku tersenyum mendengar keluhan ibu Ratih. Tapi apa yang harus ditanggapi? Toh Siska pacarnya Al.

Aku bergabung dengan teman-teman Al yang sudah sedikit akrab denganku. Karena aku paling dekat dengan Daniel karena dia teman sekelasku. Jadi aku membantunya membakar sosis dan beberapa daging.

"Kamu keliatan beda hari ini." Daniel tersenyum jenaka menggodaku. Aku memang jarang tampil bak perempuan.

"Hmm karena aku memang jarang berdandan." Kami tertawa. Daniel tau tentang perasaanku. Karena pernah memergokiku saat menulis nama Al di buku catatan ku.

"Kau tau kalau dia dan Siska..."

"Ya aku tau. Dan itu bukan masalah." Aku tersenyum menatap Daniel.

"Kapan kamu bilang ke Al tentang.."

"Tentang apa?"

Aku dan Daniel terkesiap ketika Al tiba-tiba ada diantara kami.

"Tidak. Aku dan Kim sedang membicarakan tentang kampus yang nanti akan kami pilih. Ya kan Kim?"

"Ah iya" aku mengangguk dengan cepat membenarkan perkataan Daniel. Al terlihat bingung.

"Aku mendengar kamu menyebutkan namaku niel." Al bertanya. Terlihat ada kerutan samar di dahinya. Menandakan diantidak percaya.

"Kamu salah dengar."

"Ini sudah matang. Aku bawa ke meja ya. Kamu panggil teman-teman kamu dulu Al"

Aku mengalihkan. Beruntung Siska segera menghampiri al dan mengaitkan tangannya, mengajak Al untuk segera duduk dan memulai acara. Aku segera berlalu dan duduk diantara teman-teman Al. Daniel duduk di sebelahku. Menyengir dan meminta maaf tanpa suara. Aku hanya mendengus menanggapinya.

Acara berjalan dengan seru. Aku tertawa banyak walaupun sebenarnya aku sedih. Melihat betapa mesra dan perhatiannya Al ke Siska.

Daniel terlihat khawatir denganku. Dan aku abaikan.

Saat acara selesai aku membantu ibu Ratih. Kak Vina dan mbok Jum membereskan semua. Yang lain sudah pada pulang. Al pun mengantarkan kekasihnya pulang.

"Kamu loh ya harusnya bilang kalau kamu suka sama Al. Ibu ga suka deh sama si Siska Siska itu. Kamu lihat kan Kim pakaiannya sangat terbuka. Gaun itu seharusnya untuk seusia Vina, bahkan mungkin diatas Vina. Dan tadi dia minta pulang tanpa pamit ke ibu sama ayah. Gak ada sopan-sopannya. Mana dia bilang ke Al. Kenapa Al ngundang kamu. Kata dia kamu ga pantas ada di acara itu."

Ibu Ratih mengeluh. Dia sangat tidak menyukai Siska. Aku tidak bisa mengatakan apapun karena aku memang tidak mengenal Siska. Yang ku tau dia seorang model.

"Al mana suka sama aku bu. Sainganku sekelas Siska ya jelas bukan aku yang Al pilih."

Kak Vina tertawa. "Al tuh ga bisa disuruh peka Kim. Dia harus dikasih tau baru sadar."

Aku kembali menggelengkan kepala. Ibu dan kak Vina terlalu mendukungku. Ga adil rasanya buat Siska. Walaupun sikap ga suka ibu dan kak Vina karena Siska sendiri.

Aku segera berpamitan saat selesai membantu. Dan betapa kagetnya aku melihat Al ternyata sedang duduk di depan teras. Heran kenapa dia tidak masuk kedalam rumah.

"Aku pulang Al, terima kasih sudah mengundangku. Dan selamat ulang tahun." Aku tersenyum heran. Kenapa Al terlihat marah.

"Bisa kita bicara?"

Aku mengerut mendengar nada bicara Al. Terdengar ketus.

"Bicara apa?"

"Kenapa kamu mengatakan perasaan kamu sama ibuku dan kak Vina? Kamu sengaja? Kamu tau ibu dan kak Vina sangat menyukaimu. Jadi mereka bersikap tidak suka saat Siska datang kemari. Siska bahkan marah padaku karena ibu yang terang-terangan tidak menyukainya. Dan aku yakin kamu senang akan hal itu!"

Al membentakku. Dan ini pertama kalinya Al melakukan itu. Dia bahkan mencengkram tanganku. Membuatku refleks merintih.

"Benar kata Siska. Gak seharusnya aku dekat dengan kamu. Gak seharusnya aku mengundang kamu. Kamu mungkin bisa meminta dukungan ibu dan kak Vina tapi buatku kamu bukan siapa-siapa. Mulai sekarang menjauhlah dariku dan keluargaku."

Al masuk kedalam rumah meninggalkan aku sendiri. Jadi Al sudah mengetahui semuanya. Dan bodohnya aku tetap berharap melalui keluarganya. Benar kata Al. Aku memang bukan siapa-siapa.

Merenungkan semua semalaman membuat kepalaku sakit pagi ini. Tidak, aku tidak menangis sama sekali. Air mataku sudah habis saat mengetahui ayah bisa mengkhianati orang sebaik ibu. Jadi untuk urusan ini aku tidak mau repot harus menangisinya. Itu hal sia-sia.

Disekolah aku menghindari segala hal yang berhubungan dengan Al. Termasuk menghindari Daniel yang sekelas denganku. Menghabiskan waktu di perpustakaan adalah jalan terbaik untuk menghindar. Tempat terbaik untuk tidak terlihat.

Dan karena sebentar lagi ujian. Aku akan berhenti bekerja. Jadi aku tidak akan melihat pemandangan tidak mengenakan lagi.

Begitulah hari demi hari yang kulewati. Tapi hari ini sialnya, aku lupa membawa bekal dan mengharuskanku pergi ke kantin sekolah.

Aku, Dinda dan Daniel pergi bersama. Daniel selalu saja bisa membuat obrolah lucu dan hangat. Aku pergi ke toilet dan Dinda memesan makanan. Namun sial aku berada di tempat dan waktu yang salah.

"Akhh.." Aku bertabrakan dengan Siska. Dan tampaknya dia tak suka karena minumannya tertumpah di bajunya. Beberapa temannya mengerubungi kami.

"Kimberly. Kamu sengaja ya?! Kamu ga suka sama aku karena aku berhasil ngedapetin Al? Kalau kamu ga suka kamu harusnya bilang baik-baik. Ga perlu siram aku." Nada bicaranya terdengar aneh seperti dibuat-buat. Dan hei apa-apaan itu. Aku bahkan tidak menyentuh minuman yang ternyata kini tergeletak dibawah itu.

"Loh kenapa kamu.."

"Siska kamu kenapa?" Itu suara Al yang memotongku. Aku melihat dia menghampiri siska dan menyampirkan jaketnya di bahu Siska.

"Itu Al si Kimberly dia nyiram Siska. Aku liat dengan kepalaku sendiri."

Hah? Demi apa. Yang membela Siska itu teman Siska sendiri. Dan setauku tadi tidak ada siapapun.

"Aku bahkan ga nyentuh gelas minuman itu. Terserah Al kamu mau percaya atau tidak. Itu bukan urusanku."

Aku pergi tanpa membiarkan Al berkata apapun lagi. Aku ga akan membiarkan hatiku terluka hanya dengan kata-kata yang ia lontarkan lagi.

Terpopuler

Comments

Ita

Ita

salam kenal kak author,,,, trimakasih dh bkin novel yg panjaaaaaaaaanggggg eps n bagus😘 slalu dr penulisan yg bkin betah tuk baca. mau crita sbagus apapn klu pnulisanya kurg enak d bc aku skip. karyamu patut d apresiasi thor. smangat brkarya kak othor🤗

2022-05-14

1

Lilis Ferdinan

Lilis Ferdinan

wah, diawal udah menarik nih,,,, ikutan nyesek deh,,,, tau gmn rasanya cinta tak trbalas,,, ☺☺

2022-04-08

0

Siti Fajar Herlina

Siti Fajar Herlina

Lanjut...

2022-03-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!