Hari demi hari aku dan Al semakin dekat. Bahkan kini bukan hanya aku yang main di rumahnya. Tapi Al juga kadang mampir ke rumahku sekedar ikut membantu ibu. Atau menghampiri ku mengajak pergi.
Dan kini aku tau. Kami akan berada di kampus yang berbeda. Dia mengambil S1 jurusan teknik arsitektur di universitas swasta yang sangat terkenal dan mahal. Tidak heran dia memiliki bakat itu dan aku turut mendukungnya. Hanya dukungan teman.
Sedikit khawatir. Takut Al bertemu dengan banyak perempuan cantik. Tapi Al bilang teknik biasanya lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Tapi bukankah itu yang jadi masalah utama? Biasanya perempuan yang minim itulah yang menjadi primadona. Ditambah lagi perempuan itu mengambil jurusan teknik yang terkadang membuat banyak pria kagum. Karena jarang perempuan yang mengambil jurusan itu. Kecuali mereka yakin dengan kemampuan mereka.
Tapi ya sudahlah. Khawatir pun percuma. Lihat saja saat ini. Al mengetahui tentang perasaanku. Tapi dia bahkan tidak menoticenya sama sekali. Benar-benar hanya menganggapku teman.
Aku sedang duduk di sebuah cafe depan kampus yang Al pilih. Menemaninya untuk daftar ulang. Kalau dipikir-pikir. Kami sudah seperti pacaran. Aku tersenyum memikirkan itu.
"Hei. Lama ya? Maaf tadi sangat mengantri." Al datang menghampiriku. Aku tersenyum melihatnya berkeringat. Rambutnya sudah dipangkas rapih. Dia jauh lebih tampan dari sebelumnya.
"Tidak apa-apa. Kemarin kamu udah nemenin aku. Jadi gantian."
Al mengacak rambutku. Membuatku merenggut. Bukan karena tidak suka. Tapi karena hatiku pun ikut teracak-acak.
"Ayo katanya mau nonton."
Dan yap. Hari ini kami nonton berdua untuk kesekian kalinya. Dan bahkan Al sudah berani menggenggam tanganku. Menghadirkan butterfly effect di perutku. Dan membuat otak dan hatiku berharap lebih.
Al bahkan rela menemaniku berbelanja beberapa pakaian dan sepatu. Aku memang memutuskan untuk belajar berpenampilan sedikit modis. Tidak mau kalah dengan Al yang selalu tampak oke dengan pakaian apapun yang dipakainya. Bahkan kini aku selalu berdandan. Tidak mau tampak jelek didepan Al.
"Sudah? Tidak mau lihat make up?" Al bertanya sambil mengambil kantong belanjaan dari tanganku.
"Tidak. Aku belum butuh. Lagian aku tidak terlalu suka make up. Pakai seperlunya aja. Beli kalau sudah akan habis."
Al mengangguk dan tersenyum. "Kamu memang beda dari cewek yang lain."
Aku mendengus tau arti dalam kalimat itu. "Aku orang yang hemat maksud kamu?"
Al terkekeh. Sebelah tangannya yang bebas menggandeng tanganku lagi. Dan membawaku memasuki salah satu tempat makan.
"Bukan. Tapi kamu apa adanya. Kamu sadar kalau kamu memang sudah cantik. Jadi untuk apa berdandan berlebihan." Al melanjutkan setelah memesankan makanan untuk kita berdua.
Kalimatnya membuatku tersipu. Benarkah aku cantik?
Kami menikmati makanan kami. Selama dekat aku kini tau kalau Al tidak menyukai timun dan dia sangat suka telur setengah matang. Al juga tidak menyukai bebek goreng sama sepertiku. Aku harap aku akan semakin mengenal dia. Bukan hanya diberi tau ibu Ratih dan kak Vina.
Hari ini kami sedikit lupa waktu. Kami baru pulang saat jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dan anehnya ibu tidak pernah meneleponku setiap aku pergi dengan Al. Ya, sepercaya itu ibu pada Al.
"Boleh kita bicara sebentar?"
Al mengatakan itu saat aku mengembalikan helmnya.
"Mau di dalam?" Tawarku.
Al menggeleng. "Disini saja."
Aku berdiri menghadapnya yang menyenderkan tubuhnya di motor.
"Begini. Aku sudah tau perasaanmu sebelumnya. Maaf kalau aku sangat tidak peka."
Aku sedikit terkejut saat Al kembali membahas ini. Aku memilih diam menunggu Al melanjutkan kalimatnya.
"Aku ingin mencoba hubungan lebih dengan kamu. Apa kamu mau menerimaku?"
Aku membelalakkan mataku. Benarkah ini?
"Aku menyukaimu. Mungkin baru sebatas suka dan nyaman. Tapi setidaknya. Itu bisa dijadikan dasar sebuah hubungan bukan?"
Aku masih belum bisa menjawab. Lidahku benar-benar kelu. Bahkan bernapas pun aku sedikit kesulitan.
Al menggenggam tanganku yang tidak memegang tas belanjaan. Dia tampak serius dengan perkataannya. Dan aku bingung harus menjawab apa.
"Aku.." sial hanya itu yang keluar dari bibirku. Bahkan aku tak sanggup menatap matanya.
"Aku harap aku menerima jawaban yang membuatku bahagia. Aku mohon. Aku punya ibu, ayah, kak Vina dan ibumu yang mendukungku. Jadi jangan harap untuk menolakku."
Aku otomatis terkekeh geli. Demi apapun dia sedang mengancam. Bukan meminta jawaban.
"Kalau begitu. Bukankah kamu tau jawaban apa yang akan aku beri?" Aku menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri. Suaraku sedikit bergetar tadi. "Jangan kecewakan aku."
Al tersenyum puas. Kedua tangannya kini memelukku. Dan ia mengucapkan terima kasih dengan membisikkannya di telingaku.
"Masuklah. Dan kita pasti mimpi indah malam ini."
Aku mengangguk. Memasuki area rumahku. Menatapnya yang memasukkan motor sambil mencuri pandang ke arahku.
Awalnya aku yakin dengan hubungan ini. Aku kira. Ini akan bertahan sampai akhir. Tapi ternyata tidak. Dia berubah. Dan hanya aku yang masih sama. Tetap mencintainya.
***
Jakarta 2017
Langit mendung Jakarta menyambutku saat aku keluar dari pintu kedatangan. Setelah lima tahun akhirnya aku memberanikan diri untuk kembali. Karena permohonan seseorang yang sangat aku sayangi.
Seolah paham suasana hatiku. Hujan mulai turun. Tanganku begitu dingin. Masih belum terlalu paham situasi yang terjadi saat ini.
Hal pertama yang kulakukan saat sampai di Jakarta adalah mengunjungi rumah sakit. Di hadapanku sudah ada nama kamar yang ditunjukkan suster padaku. Dan benar saja. Tertulis nama ibu Ratih samping pintunya.
Apakah aku harus masuk sekarang? Atau menunggu seseorang keluar dan menyadari keberadaanku?
Napasku terlalu sesak untuk memasuki kamar itu. Terakhir kali aku menangis adalah saat dimana ibuku dipanggil Tuhan. Dan aku tidak mau merasakan itu untuk kedua kalinya.
"Kamu sudah sampai nak?"
Aku mendongak. Ayah Dana, suami ibu Ratih yang tadi berbicara dengnku. Air mataku lolos. Tangisku pecah. Ayah Dana menghampiriku. Memelukku dengan erat membisikkan semua akan baik-baik saja.
Ibu Ratih. Wanita hebat yang aku anggap ibuku sendiri. Kini terbaring sakit. Menghadapi kanker sebagai lawannya. Dan ia baru memberitahuku.
Aku marah. Marah pada diriku sendiri. Aku kira ibu ratih sudah melupakanku. Aku kira dia tidak peduli lagi padaku. Tapi ternyata ia tidak membalas pesanku selama ini karena ia sedang menghadapi cobaan Tuhan.
Untuk orang sebaik dirinya. Kenapa harus mendapatkan cobaan seperti ini.
"Jangan nangis depan ibu nak. Ayah mohon. Ibu meminta kamu pulang karena ingin melihat dan merindukan anaknya yang tinggal jauh di negara orang." Ayah Dana ikut terisak. "Berikan ibu senyummu nak. Ayah yakin ibu bangga kalau melihat putrinya satu lagi sudah sukses."
Aku menghapus air mataku dengan sapu tangan pemberian ayah. Aku tersenyum menatap ayah Dana yang sudah ku anggap ayahku itu. "Apa ayah baik-baik saja?"
Lihatlah Kim kau salah bertanya. Ayah Dana jelas tidak baik-baik saja. Separuh hidupnya sedang berjuang. Tapi aku tetap melihat anggukan kepala ayah Dana. Jadi aku harus tersenyum bukan?
Aku kembali duduk. Mencoba mengatur napasku. Mengambil bedak padatku sembari berkaca. Tidak terlalu bengkak. Hanya perlu sedikit sapuan bedak untuk menutupi wajahku yang memerah karena menangis.
Semua akan baik-baik saja. Aku membisikkan itu pada diriku sendiri. Dan menggandeng tangan ayah Dana untuk memasuki kamar.
Disanalah. Aku melihat ibu Ratih terkejut bahagia menatapku begitupun kak Vina yang sedang menyuapi ibu buah. Aku menyadari tatapan lain dari sisi lain kamar. Tapi aku mencoba untuk mengabaikannya.
"Ibu."
"Oh ya Tuhan. Putriku. Kimberly."
Adegan haru biru pun terjadi. Ibu memelukku dengan erat. Aku mencoba menahan diri saat menyadari betapa kurusnya ibu.
Ibu mengusap seluruh wajahku dan tubuhku. Mencoba meyakinkan dirinya kalau aku kini benar-benar berdiri dihadapannya.
"Ya Tuhan Kim kakak juga merondukanmu. Bukan ibu saja. Ayo peluk kakak."
Aku menoleh menatap kak Vina yang sangat terlihat cantik. Dan "Hey kapan kakak menikah? Kenapa aku tidak diberi tau? Jahat." Kak Vina sedang hamil terlihat dari perutnya yang sedikit membuncit.
"Acara sederhana. Maaf tidak memberi tau. Karena serba dadakan."
Aku mengangguk. Dan memberitahunya kalau aku turut bahagia sembari mengelus perutnya. Aku sadar arti tatapan kak Vina padaku. Tidak. Aku sungguh tidak menyukai tatapan itu tatapan sama yang aku dapatkan lima tahun lalu. Aku mengalihkan pandangan dari kak Vina. Dan akhirnya membuat tatapan kami bertemu. Dia duduk di sudut ruangan. Menatapku dengan intens. Aku hanya tersenyum sembari mengangukkan kepala padanya. Dan ia tidak membalas. Hanya menatapku dengan tatapan yang entah artinya apa.
Lima tahun berpisah. Dan ia tampak sangat berbeda. Tubuhnya kini terlihat terlatih. Bahunya kokoh. Rambutnya tipikal pria eksekutif muda. Dan jambang tipis mengelilingi dagunya.
Aku mengalihkan pandanganku. Tujuanku kemari hanya untuk ibu Ratih. Ya hanya untuk ibu Ratih bukan yang lain.
Kini aku hanya berdua dengan ibu Ratih. Ibu sudah menceritakan awal mula kenapa beliau mendapat cobaan ini dan kini beliau tertidur. Dan aku berusaha untuk tidak menangis. Menyesali semua. Menusap tangannya yang kini terlihat sangat kecil dibandingkan tanganku.
Ibuku meninggal karena penyakit jantung yang mendadak. Dan kini. Ibuku yang lain menghadapi hal sulit lainnya.
Harusnya aku tidak pergi. Harusnya aku sering sering mengunjunginya. Tak peduli dengan harga mahal yang harus ditempuh bukan?
"Bisa kita bicara?"
Aku menoleh. Mendapatkan Al ternyata sudah berdiri di belakangku. Aku mengangguk mengikutinya keluar ruangan. Ia mengajakku duduk di cafetaria rumah sakit yang terlihat sepi dan memberiku secangkir kopi.
"Bagaimana kabarmu?"
Aku mengangguk menggigit bibirku menenangkan debaran tidak nyaman yang hadir. "Aku baik." Jawabku tanpa mau bertanya kabarnya
"Ibu. Memintaku menikahimu."
Aku terdiam. Ibu juga sudah mengatakan itu padaku. Tapi tidak ku jawab.
"Kamu tau. Aku hanya akan menikah dengan orang yang mencintaiku."
Aku mencoba tersenyum. Kami sudah tidak bisa kembali bersama. Dan aku yakin iabtau akan hal itu.
"Apa kamu memiliki kekasih?" Tanyanya lagi.
Dan aku menggeleng. "Punya ataupun tidak itu tidak ada hubungannya."
"Tidak bisakah kamu mempertimbangkan? Kumohon bantu aku. Aku pernah membuat ibu kecewa. Dan kali ini aku ingin ibu bahagia."
Aku terdiam. Memikirkan kata-kata yang keluar dari bibir Al. Tertawa meringis. Menyedihkan. Dia memohon saat tak ada lagi yang bisa membantunya selain aku.
"Kamu tau itu kesalahanmu. Kenapa kini aku yang harus berkorban?"
Al terlihat terkejut mendengar perkataanku. Ini pertama kalinya aku tampak sinis. Dan aku sadar itu.
"Baiklah. Kamu tau aku menerima ini hanya karena ibu. Aku ingin ibu bahagia."
Al masih diam. Mungkin efek terkejut yang tafi masih tersisa. Dan aku memilih untuk meninggalkannya. Sungguh aku tidak ingin peduli lagi. Walaupun aku bertanya-tanya. Dimana dan kemana perempuan itu.
***
Ibu adalah orang yang paling bahagia saat kami memberitahu tentang rencana pernikahan kami. Dan aku hanya berniat menikah secara sederhana.
Karena kondisi ibu. Kami akan melaksanakan pernikahan di hotel yang tepat berada di sebelah rumah sakit. Hanya ayahku dan beberapa temanku yang datang termasuk Dinda dan kakaknya.
Al mengundang beberapa saudaranya dan teman-temannya. Ternyatabmereka masih berteman hingga saat ini. Dapat kulihat Daniel tersenyum menatapku.
Orang bilang aku cantik. Tapi hari ini aku tidak merasa seperti itu sama sekali. Meski aku ikhlas menjalani pernikahan ini.
Kami mengucap sumpah. Dan kami kini menjadi suami istri. Dulu mungkin aku akan bahagia. Tapi kini entah lah. Tetap saja ada rasa yang tidak bisa dijabarkan. Marah dan kecewa itu. Masih tersisa di hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ita
next cus
2022-05-14
0
Ita
brarti putus nya dlu krn ada some thing y... pn tau dong msalhnya apa. pnisirin
2022-05-14
0
Lilis Ferdinan
ntahlah,,, mungkin berkorban untk org yg disayangi, ngak salah,,,, tp hrs siap fisik dan mental mnghadapi org yg pernah mnyakiti kita, lagi dan lagi,,,,
2022-04-08
0