Bab 2

Aku mendengar semua orang mencemooh ku. Dan ini kedua kalinya aku dibicarakan semua orang setelah sekian lama. Yang tidak peduli akan kejadian kemarin hanya Dinda, Daniel dan beberapa murid lain yang memang tidak mengurusi hal remeh seperti itu.

"Sebel deh mereka ngehakimin kamu seolah mereka paling benar. Si nenek lampir lagi. Pakek sok sokan tersakiti, kebanyakan nonton drama dia. Harusnya kamu ke kamar mandi sama aku." Aku meringis mendengar ocehan Dinda yang sibuk marah-marah.

"Udahlah ga ada untungnya juga kan buat kita. Mau membela diri kaya gimana juga. Siska pasti dibela." Benar bukan? Mengingat seberapa terkenalnya dia dikalangan murid. Aku mencoba meredamkan emosi Dinda. Dan Dinda mencebikkan bibirnya. Membenarkan perkataanku.

Mau gimanapun sejak acara ulang tahun Al aku pasti terlihat salah dimatanya. Jadi buat apa susah-susah membela diri.

Menjaga jarak paling sulit dilakukan saat dirumah. Apalagi ibu Ratih yang terkadang mampir ke rumahku untuk memesan kue atau mengantarkan makanan. Kadang ibu menyuruhku mengantarkan kue-kue buatannya. Beruntung aku bisa membaca situasi melalui kamarku di atas yang jendelanya tepat menghadap halaman rumah Al. Dan aku mengantarkan kue saat Al tidak berada dirumahnya.

Minggu berlalu. Dan aku sudah melewati ujian nasional. Berharap aku lulus dengan nilai terbaik. Walau bukan yang tertinggi.

Karena ibu sedang tidak enak badan. Aku terpaksa harus makan siang di kantin lagi. Sejak insiden itu aku tidak pernah ke kamar mandi atau kantin sendiri. Dinda selalu menemaniku.

"Kamu tau? Aku dengar Al dan Siska selalu bertengkar akhir-akhir ini." Dinda berbisik saat melihat Al dan teman-temannya memasuki kantin tanpa Siska disampingnya.

"Kamu tau dari mana?" Aku mengerut. Mungkin saja mereka memang tidak pergi bersama bukan?. Walaupun aneh karena mereka sekelas.

"Teman ekskul-ku yang kebetulan sekelas dengan mereka. Mereka bahkan sempat ribut di kelas. Yah lebih tepatnya Siska yang cari masalah di kelas."

Wow. Aku baru tau akan hal itu. Tapi masa bodo. Aku mungkin masih menyukai Al. Tapi aku tidak mau menjadi bodoh. Karena mengharapkan.

Dinda izin ke kamar mandi saat Daniel tiba-tiba duduk di sampingku, teman-temannya ikut bergabung dengan meja kami. Dan tanpa diduga Al juga ikut duduk di hadapanku menggeser mangkuk bakso Dinda.

"Ada yang mau minta maaf dengan kamu." Daniel menyenggol bahuku dan mengedikkan kepalanya ke arah Al. Membuat aku otomatis memandang Al yang ternyata sedang menatapku.

"Kenapa memang?"

"Aku sudah salah menilai." Al mengucapkan itu sambil menatapku. Aku terdiam. Tidak mengatakan apapun. Terlalu malas. Dan memilih melanjutkan makanku.

"Aku antar kamu pulang."

Aku mendongak kembali dan mengerutkan kening. "Septian udah antar motorku. Jadi aku bisa pulang sendiri."

Aku melihat Al menatap Septian dengan tatapan seolah berkata 'kenapa tidak memberitahuku' yang membuat Septian tersenyum kikuk.

"Toh masih bisa bicara di rumah kalau memang niat minta maaf. Lagian sebel banget. Kok bisa cowok pacarin cewek cantik yang etitude nya nol." Aku melotot mendengar Dinda yang datang-datang nyeletuk dengan santainya.

"Mana kita tau. Pas pdkt pasti tiap orang nampilin kesan baik untuk dapat nilai lebih. Bukan gitu Kim?"

Aku menoleh menatap Daniel dan membalas dengan memutar mataku. Malas membahas hal ini.

Pulang sekolah ibu meminta tolong seperti biasa mengantarkan kue ke rumah sebelah. Aku memperhatikan area halaman untuk memastikan tidak ada motor Al. Dan yap Al belum pulang.

Aku mengetuk pintu. Dan terkejut yang membuka ternyata Al. Aku kembali menengok melihat halaman rumahnya dan benar tidak ada motor Al di situ.

"Motorku dipinjam Dito." Dia memberitahu seolah bisa membaca gelagat ku.

"Aku ingin antar pesanan ibu Ratih."

"Itu aku yang pesan. Bukan ibu. Lagian pake panggil nama ibuku lengkap. Kedengarannya aneh. Biasanya juga panggil ibu."

Aku semakin terkejut mendengar nada ramah Al. Bukankah dia sendiri yang minta aku untuk menjauh dan jangan belagak dekat dengan keluarganya?

"Ah oke. Kalau gitu aku pulang. Terima kasih." Sebelum aku berbalik Al menahan tanganku.

"Bisa kita bicara? Aku ingin minta maaf."

"Sudah aku maafkan." Sial aku terlalu cepat menanggapi. Bagaimanapun aku jarang bersentuhan dengan Al. Ini membuat perutku melilit.

"Aku sudah putus dengan Siska. Dia tidak sebaik yang aku pikir. Dan masalah kejadian depan kamar mandi. Aku melihatnya dari kejauhan. Dan ya aku tau kamu tidak salah."

Aku melongo mendengar apa yang Al ucapkan. Dia melihat tapi tidak membelaku sama sekali?

"Bisakah kamu tidak menjauhiku lagi? Terutama keluargaku. mereka mengomeliku abis - abisan karena kamu jarang ke rumah."

Aku tersenyum melihat Al memasang muka memelas. Aku menjauhinya atas permintaannya. Tapi aku juga harus tau diri. Bukan berarti dia ingin dekat denganku hanya karena memintaku untuk tidak menjauh.

"Ah iya ya sudah. Lagi pula ga ada yang perlu di bahas. Semua udah lalu."

Aku melepas cekalan tangan Al. Dan segera berlalu. Jatungku masih berdebar. Aku tidak bisa menutupi kebahagiaanku saat mendengar Al mengatakan telah putus dengan Siska. Mereka hanya jalan sebulan. Entah kenapa aku bersyukur. Jahat memang.

Ting

Aku menatap handphone ku dan membaca sebuah pesan yang dikirim Al.

'Sebagai permintaan maaf dan mumpung kita sudah bebas. Mau nonton denganku besok?'

'Boleh aku yang memilih filmnya'

Aku membalas dan segera tidur. Berusaha mengabaikan rasa senangku. Ini pertama kalinya Al mengajakku jalan.

Besoknya aku melihat Al sudah duduk di atas motornya tepat di depan pagar rumahku.

"Kamu berangkat sama aku ke sekolah. Biar kita bisa langsung nonton pas pulang."

Al memberikan helm padaku. Aku melihat ia memakai jaket pemberianku. Dan sial dia tampan. Dan hal ini membuat kami sangat terlihat canggung. Ah mungkin hanya aku yang canggung.

Al membawa motor dengan santai. Toh kita memang sudah bebas. Tidak ke sekolah pun tak apa. Hanya saja ini mungkin kesempatan kami murid kelas tiga untuk mengenang masa sekolah. Sekalian memenuhi berkas untuk pengajuan beasiswa.

"Kamu milih kampus apa?"

Aku menoleh pada Al yang berjalan di sampingku. Ini pertama kalinya kami berjalan berdampingan.

"Di Jakarta aja. Targetku bukan kampusnya tapi beasiswanya. Selama mereka menyediakan beasiswa penuh aku akan mengambilnya." Al mengangguk mendengar penjelasanku.

"Aku juga milih di Jakarta."

"Ahh okay." Aku bingung harus merespon apa. Aku memang anak yang pasif dan sedikit jutek kalau kata Dinda.

"Apa jurusan yang kamu pilih?" Al bertanya lagi.

"Hmm. Mungkin akuntansi. Tapi aku hanya mengambil D3."

"Agar cepat lulus?"

Aku mengangguk. Tujuanku kuliah hanya formalitas kalau yang sebenarnya aku tidak ingin kuliah sama sekali, terlalu malas. Tapi Ibu bilang pasti banyak yang melihat latar belakang pendidikan saat melamar kerja.

Kami memasuki kantin. Di kantin aku sudah melihat Dinda dan Daniel.

"Kamu dipanggil bu Fitri Kim." Dinda memberitahu padaku. Aku menitipkan tasku dan segera berlalu ke ruang BK.

Bu Fitri memberi tahuku kalau ada beberapa beasiswa yang ditawarkan. Dan aku memilih salah satu kampus swasta yang terbilang bagus, karena hanya itu yang menawarkan beasiswa penuh untuk D3. Ibu Fitri lah yang membantuku. Ibu Fitri bilang, aku terbilang mampu karena masih memiliki ayah. Jadi bu fitri menyarankan beasiswa prestasi. Aku bukan anak yang jenius tapi aku cukup pintar, sejauh ini hanya otakku yang bisa aku andalkan. Minimal nilaiku belum pernah ada yang menurun.

Setelah memenuhi berkas. Kami bersiap untuk pergi ke mall. Aku dan Al berangkat dari sekolah menuju mall terdekat. Sedikit kecewa. Ternyata kita tidak hanya berdua. Tapi Al mengajak yang lainnya. Termasuk Dinda. Ya sudahlah toh aku memang tidak mau lagi berharap.

Kami menonton film Karate Kid yang tayang pada saat itu. Film yang seru dengan suasana yang canggung. Aku duduk di pojok baris E. Al duduk tepat disebelahku. Dia memberikan jaketnya untuk menutup bagian rokku yang tersingkap sedikit dan perasaanku terombang ambing hanya karena hal kecil seperti itu.

Ingat Kim. Dia melakukan itu karena memang dia baik. Bukan karena hal lain.

Kami pulang setelah nonton dan makan makanan cepat saji. Al menurunkanku tepat didepan pagar. Aku memberikan helm dan jaketnya. Dan berterima kasih atas traktirannya.

"Sekali lagi aku minta maaf. Ibu bilang kalau kamu tidak pernah mengatakan apapun masalah perasaan kamu ke ibu ataupun kak Vina."

Aku terdiam hanya menatap Al yang terlihat tidak nyaman dengan tatapanku.

"Tidak masalah."

"Bisa kita kembali berteman?" Al menatapku dengan pandangan memohon. Membuatku sedikit tersenyum.

Okay. Mungkin memang semua harus diawali dengan pertemanan. Kita memang belum bisa dibilang berteman. Bertetangga mungkin iya.

"Baiklah. Lebih baik kita masuk."

Al tersenyum. Lalu memasukkan motornya ke dalam rumahnya.

Dan malam ini. Mungkin aku tidak akan bisa tidur sama sekali.

Bolehkah aku berjuang lagi Al?

Terpopuler

Comments

Ita

Ita

takutnya lg bt bahan taruhan sama siska

2022-05-14

0

Lilis Ferdinan

Lilis Ferdinan

haduhhh,,,udh d, kim,,,jng trlalu brharap,jangan smp kecewa lg, tp ya,,,,gituh d, klw udh cinta,,,,

2022-04-08

0

Siti Fajar Herlina

Siti Fajar Herlina

Udah ngak usah. lbh baik lindungi hati & perasaan kamu Kim.

2022-03-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!