"Rambut lo tuh benerin, berantakan. Udah kayak kepala nanas," ujar Chilla, tak mau membalas ucapan Arnas. Ia akan kalah jika membalas. Lagipula apa peduli Arnas jika ia naik angkot, memang tidak boleh orang ngidam naik angkot? Dan lagi, kenapa sih Jonas tidak pulang bersama Arnas?!
"Gak nyambung," omel Arnas dan Chilla hanya melengos.
Walau mengomel, dari ekor matanya Chilla dapat melihat Arnas tetap merapikan rambutnya yang berantakan tertiup angin hingga menyebabkan beberapa bagian berdiri tegak.
Chilla mengeluh dalam hati. Salah arah ia melihat. Ia malah berhadapan langsung denga pria tua yang terus memperhatikanya sejak tadi. Sungguh mengganggu. Maka ia beralih memandang tempat duduk bagian belakang angkot. Nah di pojok sana didapati sepasang muda-mudi yang sedang berpacaran. Cringe sekali.
Pada akhirnya, mau tak mau Chilla kembali menoleh ke arah Arnas yang duduk mengarah ke luar. Laki-laki itu tampak santai. Tapi wajahnya tetap saja songong. Menyebalkan.
"Gak usah ngeliatin," ujar Arnas tanpa berpaling pada orang yang ditegurnya. "Nanti suka lagi, kan repot."
"Amit-amit," desis Chilla. "Lo gak ada Jonas-Jonasnya."
"Mumpung lo nyingggung kembaran gue—gue gak penasaran, cuma mau memastikan," ujar Arnas, kali ini memandang lawan bicaranya, "gue bahkan gak mau tahu gimana bisa lo gak bareng kakak lo—lo naik angkot gak berharap biar bisa pulang bareng Jonas, kan?"
"Gue tahu lo penasaran walau pun gue gak tahu kenapa harus. Gue gak pulang bareng Kak Largha karena dia bolos sama temen-temennya ke Bogor," Chilla menjelaskan. "Dan iya gue berharap bisa pulang bareng Jonas, bukan malah terjebak sama lo sekarang."
"Lo bisa loncat kalo mau," balas Arnas tanpa dosa.
"Gila ya, lo sadis banget. Beda banget sama Jonas."
"Lo anarkis, beda banget sama... Zeeta."
Chilla terdiam. Memandang keras pada Arnas yang tersenyum kecil, merasa menang.
"Mau ngasih tahu aja biar lo gak penasaran, Jonas belum pulang karena masih ada urusan sama Zeeta."
"Cuma urusan sekolah, kan?" Chilla mengejek.
Semua orang di angkatan mereka tahu Jonas sedang belajar keras untuk lolos seleksi sekolah agar dapat jadi salah satu perwakilan tim olimpiade sains, dan Zeeta adalah senior yang sudah berpengalaman. Mereka cuma sebatas senior dan junior. Cuma itu.
"Iya... Cuma urusan sekolah."
Subhanallah, jika buka di angkot teringin Chilla menjambak rambut Arnas. Wajahnya itu loh, menyebalkan sekali.
"Cuma ya, biar lo nyerah aja, gue mau ngasih tahu kalo Jonas udah suka sama Zeeta dari jaman SMP."
What?!
"Dan lo gak ada apa-apanya dibanding Zeeta," Arnas melanjutkan. Kelihatan menikmati sekali menghancurkan harapan Chilla mendapatkan Jonas. "Zeeta pinter, lo ****. Zeeta kalo ngomong sopan, lo barbar—"
"Gue barbar cuma sama lo, ya," sela Chilla.
"Zeeta cantik, lo amit-amit."
Chilla mengepalkan tangannya. Wah, biadap sekali mulut Arnas. Butuh digeprek itu bibir beserta lidahnya.
"Udahlah, nyerah aja."
Mendadak Chilla menarik dasi Arnas yang melingkari kendur kerah baju laki-laki itu. Meski begitu, Arnas tetap tertarik ke arah Chilla, membuat mata keduanya bertemu. Intens. Kelabu kelam dan coklat terang. Kejadian itu membuat semua penumpang di belakang terkesiap, menunggu adegan selanjutnya.
"Kenapa sih lo pengen banget gue nyerah sama Jonas?" Chilla tersenyum simpul, melihat keterkejutan Arnas yang nyata. "Lo suka ya sama gue?"
Satu...
dua...
Chilla menghitung dalam benak. Arnas yang tak mengelakkan pandang ataupun memutus jarak membuat Chilla meyakini bahwa laki-laki itu memang ada rasa padanya. Jelaslah kenapa semenjak tahu bahwa Chilla menyukai Jonas, Arnas jadi agresif dan terus mencoba mencari gara-gara dengannya, padahal sebelumnya laki-laki itu sibuk menghindarinya. Kasihan Arnas.
ti...
"Kayaknya..." bisik Arnas. Merangsek maju, membuat Chilla memundurkan wajah dan melepaskan dasi di tangannya.
ga...
"Gak mungkin."
Arnas duduk seperti semula. Membiarkan Chilla yang masih syok dengan tangan terkepal kendur.
"Kiri, Bang," Arnas berseru.
Tersadar Chilla mendengar seruan Arnas walau itu tak tertuju padanya. Ia menatap Arnas yang memasang ekspresi paling mengesalkan: menahan senyum seolah baru saja mengalahkannya.
Sial. Chilla merutuki kekagetannya tadi. Kan ia yang berniat mengalahkan Arnas, malah rencananya berbalik menyerangnya.
Angkot menepi lalu berhenti. Chilla melempar pandangan tajam pada Arnas sebelum melompat turun serampangan. Dan sekali lagi kepalanya terantuk pintu angkot, namun kali ini tak terasa sakit. Aneh.
Ketika Chilla menoleh, ia menjumpai Arnas yang cepat-cepat menarik tangannya turun. Ia memandang Arnas dengan curiga. Laki-laki itu baru saja melindungi kepalanya kalau ia tak salah duga.
"Apa?" tanya Arnas agresif.
Chilla tak menjawab. Ia langsung membayarkan sejumlah uang lalu melangkah meninggalkan si rambut nanas.
ΔΔΔ
"Assalamualikum!" Arnas berseru, membuka pintu.
"Waalaikumsalam!" Terdengar sahutan dari arah dapur. Suara Ibu.
Arnas mengendus udara. Aroma sedap kukis coklat. Seperti di setir, Arnas melangkah ke dapur seusai melepas sepatu. Di antara langkahnya ia melucuti kaos kaki sambil melopat-lompat. Jika ada Ayah, beliau akan menggeleng tak setuju lalu mulai mengomel. Serius, punya Ibu cerewet itu biasa, tapi Ayah cerewet itu agak menyebalkan.
Benar saja, di meja dapur Arnas menemukan ibunya sedang menyusun kue ke dalam toples. Ia pun tak lupa mengecup tangan ibunya kemudian mulai mencomoti kukis langsung dari atas loyang. Masih hangat.
"Cuci tangan dulu Arnas," Ibu mulai.
"Masih bersih, Bu."
"Cuci tangan!" Ibu memukul tangan Arnas.
"Iya-iya," Arnas bersungut-sungut. Segera pergi ke tempat cuci piring untuk mencuci tangannya.
"Jonas mana?" tanya Ibu kala Arnas menuangkan setitik sunlight ke telapak tangannya.
"Masih di sekolah. Belajar buat seleksi tim olimpiade." Arnas dengan bersemangat menggosok tangannya, menciptakan limpahan busa yang langsung luruh begitu dicucuri air.
Ibu ber-oh ria. Beliau kemudian berkata, "Ibu bikin sop. Mau dipanasin dulu gak buat makan?"
"Nanti aja, Bu," jawab Arnas. Ia meraih serbet di dinding untuk mengelap tangannya.
"Gak laper?"
Arnas melingkarkan tangan di leher ibunya. Dikecupnya sebelah pipi beliau. "Gak. Kenyang lihat Ibu."
"Gombal anak Ibu." Ibu tersenyum.
Arnas memungut satu kukis, memasukannya sekaligus ke dalam mulut.
"Ayah pulang jam berapa? Arnas mau pergi main futsal," ia berujar di antara sela kunyahan.
"Ayah udah pulang."
"Apa?!" ucap Arnas syok.
"Arnas!" Ibu mengeluh. "Budek ini kuping Ibu."
"Ibu kok gak bilang Ayah udah pulang?" Arnas melepaskan diri. Ia berdiri di samping Ibu. Menuntut penjelasan. Kacau sudah rencana main futsalnya. Tamat. Ayah tak akan mengizinkan. Apalagi dengan ujian tengah semester yang kian dekat.
"Ya kamu gak nanya dari tadi," ujar Ibu santai. Masih khusyuk menata kuenya dengan sempurna ke dalam toples. Tak simpati dengan nasib anaknya yang terancam batal main futsal.
"Ayah sekarang di mana?"
"Di kamar kamu sama Jonas."
"Ngapain?" tanya Arnas was-was. Wajahnya dipenuhi teror. Mampuslah ia. Buku tugas dan lebar jawaban ulangannya yang dihiasi nilai-nilai yang membumi tertata rapi di meja belajar.
Ibu mengangkat bahu.
"Ayah gak ngecekin buku Arnas, kan?"
Kali ini, Ibu barulah terlihat agak panik. Tapi itu hanya membuat kekhawatiran Arnas meningkat.
Sial! Kenapa Ayah pulang secepat ini. Biasanya juga sore baru pulang, karena jarak sekolah SMP yang dikepalai Ayah cukup jauh dari rumah.
Kocar-kacir Jonas berlari menaiki tangga. Dua kali ia nyaris terpeleset, untung ia cekatan segera meraih pegangan tangga, jika tidak gegar otak ia siang ini.
Terengah-engah Arnas begitu sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. Ia mengatur napas sebelum melangkah masuk ke dalam.
Ayah berdiri di sisi meja belajar Jonas yang jaraknya lebih jauh dari pintu, membolak-balik buku. Karena sudah enam belas tahun jadi anak ayahnya, Arnas sangat paham bagaimana sistematis dan teraturnya beliau. Ayah tak akan melewatkan meja belajarnya yang jaraknya lebih dekat dari pintu. Dan Arnas sama sekali tak mau berjudi dengan nasib, berharap bahwa Ayahnya belum menyentuh buku-bukunya. Itu tidak mungkin.
Arnas memejamkan matanya sejenak. Bersiap untuk yang terburuk. Ia bukannya tak pernah dimarahi dan bertengkar dengan Ayah—sebab ia bukan anak sempurna seperti Jonas, hanya saja jika bisa dihindari kan lebih baik.
Kadang ia lelah sekali. Ia punya banyak teman, beberapa bahkan cukup kenal dengan orang tua mereka. Tak ada yang seperti ayahnya yang begitu terobsesi agar anak-anaknya sempurna dalam bidang akademik, lalu masuk kampus ternama dan kemudian menjadi dokter, jaksa, atau pengacara--pekerjaan terhormat menurut ayahnya. Ia tak minta ganti Ayah, ia hanya berharap beliau berpikiran lebih terbuka perihal masa depan serta pilihan anaknya.
"Baru pulang, Ar?" Ayah menoleh.
Arnas tersenyum ragu. Ia menyeberangi ruang, menghampiri Ayah untuk menyalami.
"Iya, Yah."
"Jo mana?"
"Masih di sekolah. Ada... urusan."
Ayah mengangguk-angguk. "Kamu gak ada urusan?"
"Gak ada," Arnas mencoba sebaik mungkin tak terpancing emosi. Meski tahu benar, tanya ayahnya adalah tahap awal usaha membandingkan ia dan kakaknya. "Kan beda kelas."
"Tugas kelas?"
Arnas mengangguk. Sedikit berbohong tak apa kan? Demi kedamaian nusa dan bangsa.
"Ayah tumben udah pulang?"
"Lagi gak enak badan."
"Terus kenapa Ayah gak istirahat?" tanya Arnas dengan nada memarahi yang ringan. "Nunggu diomelin Ibu?"
Ayah tersenyum kecil. "Gak parah kok. Biasa, penyakit orang tua."
"Ya udah, Ayah istirahat biar Arnas pijitin," bujuk Arnas. Meraih pundak ayahnya, mulai mengurut.
"Gak usah," tolak Ayah. "Kamu ganti baju aja, abis itu belajar."
Tangan Arnas membeku. Belajar. Cuma itu yang ada dipikiran ayahnya. Bahkan Ayah sama sekali tak bertanya apa ia sudah makan atau belum. Belajar terus.
Arnas menjatuhkan tangannya. Ia bergerak menjauh. Meletakkan tasnya di atas meja belajar.
"Arnas belum makan."
"Ya sudah, makan dulu. Terus belajar, sebentar lagi mid semester," ujar Ayah. "Ayah lihat nilai tugas sama ulangan harian kamu banyak di bawah KKM. Jauh dibandingkan nilai-nilai Jonas."
Jonas lagi. Belajar. Jadi seperti Jonas. Belajar. Jadi seperti Jonas. Itu saja yang ada dipikiran dan diucapkan Ayah. Memuakkan sekali. Sungguh bagus kakaknya—Syahnas—mati muda, jika tidak dia harus tersiksa menghadapi ayah seperti ini lebih lama. Makan hati.
"Arnas mau main futsal."
"Gak ada main futsal. Belajar! Kamu harus bisa sebaik Jonas."
Arnas menoleh pada ayahnya. "Arnas sama Jonas itu beda, Yah! Berhenti nyuruh Arnas buat jadi Jonas!" Emosinya naik, meninggi. "Karena Arnas juga gak pernah nyuruh Ayah jadi Om Rudi!"
Ayah terdiam. Bibirnya terkatup, rahangnya kaku. Matanya berkilat marah. Arnas tahu ia agak keterlaluan kali ini, membandingkan Ayah dengan Om Rudi—saudara kembar ayahnya yang merupakan seorang dokter yang bekerja di rumah sakit besar dengan posisi penting.
Ayah mendekat. Arnas bersiap-siap dengan kemungkinan ditampar karena ucapannya. Namun di luar dugaan, Ayah mengelus rambutnya sambil berkata pelan, "Belajar, pebaiki nilai kamu. Supaya nanti kamu gak kayak Ayah yang berharap jadi Om Rudi."
Arnas tertegun.
ΔΔΔ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
5 like mendarat kakak🧡🧡🧡
2021-01-11
1
Ruliyah Yu Yah
ide jualanya cocok thor.GEPREK LIDAH DAN NYINYIRAN MULUT TETANGGA😂😂😂😂😂pedes ndower....
2021-01-08
0
Ruliyah Yu Yah
ide jualanya cocok thor.GEPREK LIDAH DAN NYINYIRAN MULUT TETANGGA😂😂😂😂😂pedes ndower....
2021-01-08
0