Aneh sekali. Arnas bahkan sempat su'udzon bila Chilla sedang mabuk. Soalnya tingkah Chilla seperti orang yang hilang akal—senyum-senyum sendiri. Dan gadis barbar itu sama sekali tidak menghiraukannya. Nih, ya, berdasarkan pengalaman saja, saat semester lalu ia dan Chilla berbagi jadwal piket kelas bersama, Chilla selalu berusaha merebut sapu yang dipilihnya. Belum lagi segala tingkah gila yang membuat Arnas naik darah karena harus mulai bersih-bersih dari awal. Pokoknya Chilla sukses sekali membuat Arnas minta perubahan jadwal piket pada sekretaris kelas sampai harus memohon-mohon. Sial sekali kejadian itu.
Dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya, siapa coba yang tidak akan su'udzon melihat kini Chilla mengambil sapu lidi dan pengki butut yang tersisa tanpa protes dan tindak anarkis?
Tapi ya sudahlah. Kan bagus hukuman ini dapat berlalu dengan tenang.
Arnas mengambil posisi di bagian halaman yang sudah disepakatinya dengan Chilla sebagai teritorialnya. Seketika itu juga ia tersadar betapa luas halaman sekolah ini. Sungguh mulia memang tugas tukang kebun sekolah. Untunglah cuma hari ini saja masa hukumannya menyapu bersih seluruh sampah yang didominasi dedaunan kering berlaku. Ia mau resign sekolah saja bila harus melakukannya setiap hari selama sisa semester ini—seperti tadi sempat ia khawtirkan.
Lama Arnas fokus menyapu. Ia bahkan hampir lupa bahwa ia tak sendiri. Ada gadis barbar yang bertugas bersamanya, walau entah gadis itu berada di bagian halaman yang mana.
Hari sudah mulai gelap. Syukurlah bagian halaman yang menjadi tugas pembersihannya sudah terjajah sapu semua. Ia harap Chilla juga mengerjakan tugasnya dengan baik. Sebab mereka tak akan bisa pulang sebelum halaman bersih. Dan Pak Suprilah yang akan memeriksa sendiri seberapa baik pekerjaan mereka saat mereka laporan nanti.
Arnas menyandarkan sapu ke dinding tembok pembatas sekolah. Ia menyatukan tangan lalu melakukan peregangan yang menimbulkan bunyi derak mengkhawatirkan.
"Gila tulang gue," gumam Arnas sendiri.
Baru saja ia meraih sapunya untuk dikembalikan ke tempatkan semulai ketika, "Aaaaaaa!" suara teriakan membuat bulu kuduknya meremang.
Tanpa perlu berpikir lebih dulu, Arnas menjatuhkan sapu di tangannya dan langsung berlari ke sumber suara. Ia tahu benar itu suara Chilla. Dan menyadari bahwa sekolah sudah begitu sepi dan hari sudah mulai gelap membuatnya sangat khawatir.
Lari Arnas seketika terhenti ketika melihat sesosok gadis yang rambutnya dikuncir satu nan tinggi di ubun-ubun, berjongkok di depan tumpukan daun kering, membelakanginya.
Jadi jutaan keadaan darurat yang tadi melintas dalam benar Arnas tak ada?
Sial.
Tapi untuk lebih memastikan, Arnas melangkah mendekati gadis yang sempat dikhawatirkannya. Yang ternyata sedang mengorek-ngorek sampah.
"Ngapain sih lo teriak-teriak?" tanya Arnas, masih terengah.
Tubuh Chilla sedikit bergetar sebelum menoleh dan mendongak menatapnya. Gadis itu pasti terkejut mendengar suaranya.
"Ngagetin sih lo," omel Chilla. Alisnya berkerut sinis.
"Gue nanya, ngapain lo tadi teriak?" Arnas mengabaikan kekesalan Chilla. Bukankah ia yang seharusnya lebih kesal setelah dibuat khawatir sedemikian rupa? Bukan apa-apa ya, kalo Chilla terluka atau apapun, ialah yang paling mungkin dicurigai dan disalahkan.
"Barang gue ilang," jawab Chilla, sudah sibuk lagi mengorek di antara tumpukan sampah.
"Barang apaan?"
"Permen."
Ia tidak salah dengarkan? Permen? Cuma permen? Ia nyaris jantungan hanya karena permen?
"Apaan?"
"Permen, budek," balas Chilla. Kata 'budek'-nya itu loh, santai sekali terlontar. Seolah penghinaan adalah nama sapaan Arnas.
"Lo ngorek-ngorek sampah buat nyari permen?" tanya Arnas tak percaya. "Lo **** apa gimana?"
"Udah deh gak usah bacot," balas Chilla. Nadanya sudah agak naik, sesuatu yang terdengar normal sekali. Ternyata Chilla sudah sadar.
"Udahlah, beli aja lagi. Permen doang. Kalo gak biar gue beliin. Sepuluh dah," bujuk Arnas. "Gue mau pulang."
Chilla berdiri, berbalik menghadap Arnas. Wajahnya keliatan frustrasi—mungkin memang frustrasi sebab nada suaranya rendah kembali, bukan bertambah tinggi seperti normalnya.
"Itu permen penting," rengeknya. Baru kali ini Arnas merasa bahwa Chilla memang remaja enam belas tahun, bukan nenek lampir. "Terus kalo lo pengen pulang ya pulang aja. Gak usah sok mau ngajak bareng, gue dijemput Kak Largha. Najis gue pulang sama lo." Kemudian Chilla mulai melangkah kecil, menyusuri halaman rumput secara perlanan.
"Dih!" Arnas memasang ekspresi tak percaya. "Jangan kepedean, pe'a. Sedetik pun gue gak pernah kepikiran mau ngajakin lo pulang bareng. Gue itu mau ngajakin lo laporan kalo tugas kita udah selesai ke Pak Supri. Soalnya gue gak bisa pulang kalo gak laporan bareng lo."
Tak ada respon dari Chilla. Gadis itu sudah melangkah lebih jauh. Mau tak mau Arnas menyusulnya.
"Lo dengerin gue gak, sih?!"
"Gue gak budek kayak lo, ya," balas Chilla. Untung tidak nyolot.
Arnas menghentikan langkahnya. "Gue mau pulang Achila!" teriaknya.
Chilla berhenti. Ia berbalik, lalu balas berteriak, "Gue juga mau pulang Arnas!!" lebih kencang. "Tapi gue butuh permen gue!!!" Setelah itu Chilla berputar, melanjutkan pencarian.
Aishh!
Arnas mengacak rambutnya. Malah ia ikut frustrasi. Dasar Achilla! Menyusahkan saja.
"Permen apa?!" tanya Arnas pada akhirnya. Tak punya pilihan.
"Stroberi!"
ΔΔΔ
"Udah solat?" tanya Jonas yang baru menggantung sajadahnya.
"Udah," balas Arnas seraya menutup pintu kamar. Kemudian ia langsung menghempaskan diri ke kasur dalam posisi tengkurap. Nampak kelelahan.
Jonas melangkah mendekati meja belajar. Ditariknya kursi mundur lalu duduk. Selagi memilih apa yang akan dipelajarinya karena tugas sekolah sudah tuntas semua, Jonas bertanya, "Kok pulang malem banget?"
"Gara-gara tetangga anarkis kita," keluh Arnas. Hal itu membuat Jonas mengubah posisi, menghadap pada adiknya yang terpejam.
"Kenapa lagi?"
Jonas heran, kenapa Arnas dan Chilla kedengaran tidak akur sekali dari setiap cerita Arnas. Seolah Chilla benci sekali pada Arnas, dan sebaliknya.
"Dia ngotot banget nyariin permennya yang jatoh. Gak mau pulang sebelum itu permen sialan ketemu."
Jonas mengernyit heran. "Permen?"
"Iya. Permen loli stroberi."
Hei, itu bukan permen pemberiannya siang tadi, kan?
Arnas membuka mata, berguling menatap kakaknya, mencari dukungan. "Gak masuk akal banget, kan? Emang dasar gak waras itu orang," ujarnya dongkol. "Awas aja lo suka sama dia. Gak setuju gue."
Jonas tertawa. "Apaan sih lo, tiba-tiba ke arah sana."
"Inget aja gue gak setuju," gumam Arnas sebelum terpejam lagi.
Jonas hanya diam saja. Ia tak pernah berpikir ke arah sana. Toh, dari sejak SD bertetangga dengan Chilla, mereka tak pernah betul-betul berkawan. Tahu kan yang ia maksud? Berkunjung ke rumah satu sama lain atau hangout bersama, semacam itulah. Baik Jonas maupun Arnas dari dulu memang agak takut bergaul dengar Chilla, sebab kakaknya—Largha—terkenal sangat protektif. Seakan Largha merasa bahwa orang-orang di lingkungan ini tak cukup bisa dipercaya untuk berteman dengan adiknya. Ya memang sih, yang seusia mereka di lingkungan ini mayoritas laki-laki.
Tapi meski tak dekat, mereka tetap saling menyapa ketika berpapasan. Setidaknya ia begitu, walau Arnas sudah tidak lagi. Adiknya membenci Largha karena persoalan perekrutan anggota tim futsal—kalau tak salah. Dan Arnas dengan Chilla, tahu sendirilah, tak begitu baik juga. Nah, perkara Arnas dan Chilla, Jonas tak tahu kenapa.
"Ar?" panggil Jonas.
"Mm?"
"Masalah lo sama Chilla apaan, sih? Kayaknya lo benci banget sama dia."
"Bukan gue yang benci, dia yang benci sama gue."
"Karena?"
"Lo gak inget?" Arnas melek lagi.
"Apa?"
"Tragedi berdarah."
"Seriously?" tanya Jonas tak percaya. Maksudnya, itu sudah lama. Ia kira Chilla sudah melupakan dan maafkan Arnas. Memang sih itu pasti sangat memalukan, tapi kan—ya ampun, ternyata masih karena itu?
"Cewek," ujar Arnas terdengar sok bijak, "kalo udah benci mendarah daging banget."
Jonas hanya bergeming untuk sejenak. Sebelum melanjutkan, "Lo minta maafnya kurang bener kali."
"Kurang bener apa lagi, Jo... Cuma belum bersujud aja gue di depan dia."
Jonas menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya, siap belajar. Sudah diputuskan, ia akan belajar sosiologi saja. Mendalami materi tentang interaksi makhluk sosial.
"Minta maaf lagi aja," ujar Jonas, sebelum membuka buku bacaannya. "Kan gak enak satu kelas tapi musuhan."
"Gue juga ogah gini mulu. Masih gue pikirin apa yang bisa gue lakuin buat bikin dia mau maafin gue—walaupun gue sebenernya gak sengaja dulu," Arnas membela diri. "Belakangan ini gue bahkan udah nyoba buat sok asik sama dia, tapi dia malah jadi barbar sama gue. Memang mending kayak sebelumnya. Seenggaknya badan gue gak bakal sakit semua."
"Tapi lo gak enak, kan?"
"Siapa sih yang gak merasa bersalah kalo dilihatin seakan lo abis ngehancurin hidup seseorang? Abis itu kalo ngomong digas mulu?" tanya Arbas retoris. "Lo harus lihat gimana cara dia ngeliat gue."
Jonas menghela napas. Serumit ini hidup makhluk sosial.
"Mungkin strategi sok akrab lo salah," cetus Jonas.
"Salah bagian mana lagi?" tanya Arnas lelah. Nadanya itu loh, membuat Jonas tertawa. Semenderita itu adiknya. Ya memang sih tidak enak merasa bersalah pada orang lain.
"Lo bilang lo jadi sok asik sama dia," Jonas mengangkat wajah, memfokuskan pandang pada objek yang tak ada di depannya. "Gue bisa bayangin 'sok asik' lo yang gak asik sama sekali buat sebagian orang itu."
"Maksud lo?"
"Ar, sadar gak kalo lo sok asik sama orang, lo cenderung suka ngehina?"
Ini serius. Enam belas tahun jadi saudara kembar Arnas, Jonas tahu betul bahwa adiknya memang cenderung suka menjatuhkan seseorang saat sedang bercanda atau mencoba sok asik. Tentu Arnas tak bermaksud betulan menghina, dia hanya bergurau, mencairkan suasana, mencipta tawa.
"Gak semua paham kalo lo becanda, Ar. Apalagi cewek kan lebih sensitif."
ΔΔΔ
Achilla duduk bertopang dagu dengan sebelah tangan di depan cermin rias. Memandangi sebuah permen loli stoberi yang ia tempalkan di permukaan kaca menggunakan stiker bergambar hati. Bibir Chilla tak dapat berhenti tersenyum memandang makanan kecil itu. Benaknya belum juga bisa move on membayangkan bagaimana tadi Jonas menyentuh rambutnya.
Chilla menutup wajah menggunakan dua tangan. Ia menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang kehilangan akal. Persis.
Setelah agak pusing, Chilla berhenti dan kembali memangku wajah, namun kali ini dengan kedua tangan. Terus dipandanginya permen stroberi yang normalnya bukanlah hal indah untuk dipandangi. Hanya karena ini dari Jonas Prawira. Jonas guys, Jo...nas!
"Achilla tiduurrr!"
Tedengar suara teriakan Kak Largha dari bawah. Chilla yang biasanya kesal lalu menggerutu, kali ini hanya menghela napas ringan. Ia memandang ke arah balkon, terus menyeberangi jalan dan tiba pada jendela rumah seberang—kegiatan rutin sebelum tidur. Kemudian ia membungkuk lebih rapat ke arah cermin untuk mengecup permen loli stroberi—kegiatan rutin yang baru.
"Good night, Jojo," bisiknya usai menjauhkan diri. "Mimpiin aku, ya."
ΔΔΔ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Ochi_Ara Alleta
Nemu cerita seru🥰
kenapa baru sekarang nemunya....
2023-07-02
0
Zulfa
Salken kak, JIKA mampir membawa like nih, mari saling dukung kakak 😍
2021-04-12
1
Conny Radiansyah
segitunya Chilla 😄😄😄
2020-12-21
0