Lewat jendela kaca yang terkatup, Chilla memandangi Jonas yang tengah menjelaskan sekelumit soal ruwet dengan banyak kata log pada papan tulis di depan kelas. Dia yang selalu berpenampilan rapi terlihat sangat kharismatik. Walau sayup-sayup, suara lembut dan manis Jonas tetaplah terdengar memesona. Nikmat Tuhan mana coba yang engkau dustai?
Chilla mendelik pada dua laki-laki yang duduk di tengah barisan kedua dari pintu. Bisa-bisanya makhluk itu malah mengobrol. Ingin rasanya Chilla masuk ke kelas dan menjambak rambut mereka. Sayangnya kelas guru matematika bukalah sesuatu yang bisa ia recoki, bahkan walau hanya dalam bayangan. Sungguh, guru matematika itu sungguh berbahaya. Separuh masyarakat kelasnya saja bisa tiba-tiba terserang diare akut bila dia menginjakkan kakinya memasuki kelas. Ini serius.
"Basah itu makalah sama ences lo."
Chilla melirik setumpuk makalah di lengannya sebelum mendelik pada manusia songong di sampingnya. Lagipula heran sekali, kenapa sih Arnas jadi hobi sekali ikut campur urusannya.
"Bisa gak sih lo kalo liat gue bawaannya gak usah gatel pengen nyapa?" balas Chilla ketus. "Suka lo sama gue?"
Chilla menoleh mendengar langkah Arnas menjauh. Tumben. Biasanya dia akan memperpanjang kata.
Alangkah geramnya Chilla saat tahu apa yang dilakukan Arnas. Manusia itu sungguh tahu cara membuat Chilla merasa terhina.
"Amit-amit, amit-amit," rapal Arnas seraya mengetukkan buku jarinya pada kening kemudian dinding.
Naik darah, Chilla mendatangi Arnas dan menjambak rambut bagian belakang kepala laki-laki itu dengan satu tangan. Memangnya ia senajis itu sampai harus di-amit-amit-kan? Kakak-kakak kelas saja bergerilya mendekatinya dan mahkluk hina dina ini malah memperoloknya.
"Gak kepala lo aja yang sekalian lo jedukin ke tembok," Chilla berucap dengan gigi terkatup rapat. Satu tangannya yang bebas dari kewajiban pada rambut Arnas masih setia memeluk sekumpulan makalah sejarah. "Biar gue bantuin kalo lo gak bisa."
"Eh, cewek gila lepasin gue," bisik Arnas. Barangkali sama seperti Chilla, ia berpikiran bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk bersuara besar. Jam pelajaran tengah berlangsung. Mereka bisa berakhir di ruang BK bila ketahuan bertengkar dan menyebabkan kericuhan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Chilla tak paham bagaimana prosesnya atau bagaimana cara Arnas melakukannya, tahu-tahu laki-laki itu berputar, lalu ia merasa ada yang mendorong satu tumitnya hingga ia oleng. Refleks Chilla meraih bagian depan kerah baju Arnas, dan...
Brukkk!
Arnas jatuh menimpa Chilla, bersama makalah yang berserakan.
Awalnya Chilla kira kilat cahaya yang dilihatnya adalah efek dramatis dalam kepalanya. Namun, subhahanallah... warga kelas yang mengapit lorong ini ternyata tengah melongok dari jendela-jendela juga pintu-pintu, mengabadikan satu lagi momen memalukan dalam hidup Chilla.
Tuhan! Tolong tenggelamkan ia ke kedalaman neraka jahanam sekarang juga. Ia tidak sanggup lagi hidup, apalagi dengan Jonas menatapnya tak percaya dari ambang pintu sana.
Tamat sudah.
ΔΔΔ
"Ngapain kalian berdua ada di lorong pas jam pelajaran?"
Baik Arnas maupun Chilla berdiri tertunduk dihadapan Pak Supri, guru BK.
"Saya mau nganterin makalah Sejarah, Pak," jawab Chilla. Suaranya bergetar, membuat Arnas mau tak mau menoleh memandangnya. Benar saja, mata gadis barbar itu nampak berkaca-kaca, hampir tumpah. Sungguh, Arnas kesal karena keanarkisan Chilla ia harus berakhir di sini sekarang, tapi ia juga tidak bisa tak merasa iba pada gadis itu. Mata besar gadis itu yang biasa berbinar ceria—apalagi saat menatap Jonas, kini terlihat ketakutan.
"Kamu Arnas?!"
"Saya mau ke toilet, Pak," jawab Arnas. Sudah kembali menunduk hikmat.
"Satu orang mau ke ruang guru, yang satu mau ke toilet, terus berakhir tiduran di lorong?" Pak Supri sangsi.
Arnas yang pertama kali angkat suara untuk menjawab bahkan sebelum Chilla sempat membuka mulut.
"Saya niatnya bercada, Pak. Saya nyandung Chilla terus dia refleks narik saya. Ya... jadi kita jatoh bareng-bareng."
"Benar itu Chilla?" Pak Supri beralih pada Chilla.
Seraya menghitung jumlah lubang sepatunya, Arnas menanti Achilla mengiyakan. Ia bukannya bermaksud sok pahlawan, hanya saja... ia merasa kasihan. Lihatlah bagaimana gadis itu mulai bercucuran air mata. Lagipula Chilla sudah cukup malu. Itu sudah merupakan hukuman yang berat.
"Enggak."
Arnas menggerakkan kepalanya. Memastikan bahwa tak ada yang tersumbat. Dan rasanya normal saja. Jadi betulan Chilla tak menerima kemurahan hatinya? Wah! Ini bocah berjiwa suci atau memang bodoh?!
Arnas memandang tak percaya pada Chilla. Melihat ada air mata yang menggantung di ujung dagu gadis itu.
"Arnas ngejekin saya, Pak. Makanya saya kesel." Chilla mendelik pada Arnas. Suara sudah tidak lagi gemetar seperti tadi. Kelihatannya ia betul-betul merasa terhina menerima kebaikan Arnas. "Jadi saya jambak rambutnya. Terus masa dia nyandung saya sampe jatoh. Refleks kan saya nyari pegangan, ya saya tarik aja kerah bajunya."
Pak Supri yang tadi bersandar pada sandaran kursi, kini menegakkan punggung. Melirik bergantian dua tersangka kekacauan hari ini. Satu tangannya terangkat untuk mengurut batang hidungnya.
"Ini siapa yang benar?"
"Saya!" jawab Chilla semangat.
"Dia." Arnas menunjuk Chilla.
Alis Pak Supri terangkat. Matanya menatap Arnas penuh tanya.
"Tadinya saya mau berbaik hati sama Achilla kerena dia mau nangis—udah nangis malah. Tapi dia malah gak tahu diri," Arnas mencebik.
"Gak sudi saya dikasihanin sama dia!"
"Ya udah sih kalo gak mau gak usah ngegas!"
"DIAM!"
ΔΔΔ
Jonas bersandar pada dinding di samping pintu ruang BK seraya mengetuk-ngetuk lantai menggunakan ujung sepatunya demi membunuh bosan sebab lorong ini tak ramai dikunjungi. Dari posisinya, ia dapat mendengar samar dari dalam, terutama teriakan Pak Supri. Suaranya tak main-main. Wajar sih, Pak Supri memang punya background militer. Meski begitu ia sungguh berharap bahwa suara sekeras itu tak perlu digunakan di depan perempuan. Kan kasihan.
Lebih dari itu, Jonas sangat mengkhawatirkan Arnas. Ia yakin Arnas tak akan ciut oleh Pak Supri, tapi akan panjang masalahnya bila ada laporan ke orang tua. Ayah tak akan senang mendengarnya. Jonas tak ingin ada perselisihan lagi. Ia ingin rumah tetap tenang.
Segera Jonas menoleh mendengar suara pintu dibuka. Munculah Chila dari sana dengan mata yang basah. Gadis itu nampak sedikit terkejut melihatnya.
"Arnas mana?" tanya Jonas ketika Chilla menutup kembali pintu tanpa Arnas mengekor di belakangnya.
"Pak Supri masih mau ngomong sama dia," jawab Chilla pelan.
Apa yang dibicarakan oleh Pak Supri lebih lama dengan Arnas. Ia hanya berharap bukan sesuatu yang buruk. Ya, bukan rahasia lagi bila Arnas memang hobi masuk ke ruangan di sampingnya ini. Semoga saja Pak Supri masih mau berbaik hati.
Jonas memandang Achilla yang tertunduk di hadapannya. Rambut ikal-panjang gadis itu agak berantakan. Lengan seragamnya juga kotor berdebu. Ia tak tahu apa yang terjadi antara Arnas dan Chilla hingga bisa terjebak dalam situasi dan posisi seperti tadi. Ia agak penasaran. Tapi ia kira ini bukanlah waktu yang tepat untuk menginterogasi.
"Kamu gak pa-pa?" tanya Jonas lembut. Dirapikannya rambut Chilla yang berada pada posisi yang kurang tepat.
Chilla mengangguk.
"Pasti serem diteriakin di dalem?"
"Sedikit," cicit Chilla. Suaranya membuat Jonas tersenyum.
Jonas menurunkan tangannya. Ganti merogoh saku celananya. Kemudian mengeluarkan sebuah permen loli stroberi.
"Mau permen gak?" Ia menyuluhkannya pada Chilla. "Makanan manis bisa bikin mood lebih baik."
Pada akhirnya Chilla mengangkat wajahnya. Menatapnya sebelum menerima permen di tangannya.
"Makasih," ucap Chilla. Kini suara terdengar lebih baik.
"Sama-sama," balas Jonas. Menyimpan kedua tangannya ke saku. "Buruan ke kantin gih, makan dulu. Biar semangat lagi."
Chilla tersenyum cerah sebelum pamit untuk pergi. Menurutnya Chilla terlihat sangat menggemaskan. Dengan mata besar dan rambutnya yang ikal panjang.
"Ngapain lo ngeliat Achilla begitu?"
"Astagfirullah!" Jonas terkejut mendapati Arnas sudah berdiri di sebelahnya. Sungguh ia tak mendengar suara pintu ditutup dan dibuka. "Kapan lo keluar?"
"Budek lo gak denger?" cela Arnas. "Lagian ngapain coba ngeliatin Chilla fokus banget."
"Lucu aja," jawab Jonas sederhana.
"Lucu?! Cewek anarkis begitu?"
Jonas mengernyit. Anarkis? Mana ada Chilla pernah bertingkah anarkis.
"Nganco lo," Jonas membantah. "Dia baik gitu lo bilang anarkis."
"Jangan ketipu sama aktingnya. Lo gak pernah lihat kelakuan dia sama gue," balas Arnas sewot. "Barbar."
"Lo yang bikin dia marah kali."
"Terserahlah—tapi ngapain sih lo sebenernya di sini?" Arnas tiba-tiba mengalihkan topik.
"Buat mastiin gak ada perang lagi di rumah. Gue butuh ketenangan buat belajar."
Arnas berdecih. "Bilang aja lo khawatir gue kena damprat lagi sama Ayah."
Jonas tak merespon. Cuma menunggu Arnas melanjutkan.
"Tenang aja, gue sama Pak Supri udah gini, " Arnas mengaitkan dua telunjuknya, "best friend. Dia gak akan nelepon rumah. Lagian ini cuma masalah kecil."
Jonas mengangguk puas. Bagus. Masalah clear. Cuma tinggal satu hal mengganjal.
"Jadi sebenernya lo ngapain sih sama Chilla di koridor?"
"Gulat," kata Arnas singkat. Ia mulai melangkah, diekori Jonas yang makin penasaran. Gulat bukanlah jawaban yang diharapkan Jonas.
"Kalian berdua gak pacaran, kan?"
"Najis gue pacaran sama Chilla."
ΔΔΔ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
ntar cinta Arnas..jgn bilang gitu
2020-12-21
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
hai kakak
cinta pak bos hadir lagi ya..
mampir juga yuk kak
semangat teruss ya💪💪💪
2020-12-13
0
ARSY ALFAZZA
like
2020-11-20
0