"Iiiih, Kak," rengek Chilla, "pakek bolos segala. Jauh banget lagi... Jadi aku pulang naik Gojek, nih?"
Chilla melangkah membelah keramaian kantin, tampak kesulitan membawa jus dan beberapa bungkus rotinya dalam satu tangan, sebab tangan yang lain sibuk menempelkan ponsel di depan telinga.
"Chilla!"
Mendengar seruan namanya, Chilla menoleh ke sumber suara. Di sebuah meja di pojok kantin, ia menemukan sekolompok teman sekelasnya. Mereka memberi isyarat mengajaknya bergabung. Untuk menolak ajakan itu Chilla melambaikan tangannya yang menggenggam ponsel sekilas seraya terus berjalan. Ia tidak bisa makan dengan tenang dengan kerunyaman kantin di jam istirahat pertama ini.
Brukk!
Chilla tersentak merasa ia melanggar sesuatu yang mengeluarkan bunyi melengking. Jadi 'sesuatu' itu harus diralat menjadi 'seseorang'. Kecelakaan itu juga membuat jus dan rotinya yang terpegang mengkhawatirkan tadi jatuh berhamburan.
"Mata lo di mana?!" bentak seorang gadis yang Chilla kenal dengan baik. Seorang kakak kelas famous yang overdosis tayangan sinetron. Deandra.
Suara kencang itu mengundang perhatian seisi kantin. Tempat yang tadinya begitu ramai mendadak sepi seketika. Hening.
"Sorry, Kak, sorry," ujar Chilla spontan. Ia mematikan ponselnya dengan segera lalu mencoba membersihkan kemeja Deandra.
"Gak usah pegang-pengang!" jerit Deandra. Ia menepis kasar tangan Chilla. Membuat ponsel dalam genggaman Chilla terpelanting ke lantai.
Chilla melongo. Iphone X-nya yang berharga! Itu hadiah ulang tahun ke-16 dari Papa.
Tangan Chilla terkepal. Darahnya mendidih. Ia menatap Deandra tajam. Ingin sekali mencabuti rambutnya sampai ke akar-akar. Ia tahu ia yang salah tak memperhatikan jalan, tapi apa salah Iphone X-nya?!
"Apa lo—" ujar Deandra terputus oleh sebuah seruan.
"Chila!"
Sebuah tangan hangat menggapai lengan Chilla, membuatnya menoleh. Seketika amarahnya yang bergejolak reda. Ada Jonas di sisinya.
"Kamu di cariin Kak Largha," kata Jonas. Pemberitahuan itu menerbitkan kernyit kecil di keningnya. Kakaknya kan baru saja memberi kabar bahwa ia bolos.
"Chilla?" tanya Deandra syok. "Lo adek Largha?" Ada ketakutan di matanya.
Chilla tak sempat menjawab sebab Jonas lebih dulu berkata, "Udah buruan, Kakak kamu udah nungguin." Dilepaskannya lengan Chilla dan dengan lembut mendorongnya bergerak.
Merasa tersihir, Chilla hanya menuruti perintah Jonas. Ia pun melenggang pergi agak linglung. Ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jonas membungkuk mengambil ponsel malangnya.
Wahhh... ia tak tahu bahwa emosi bisa selabil ini. Belum ada satu menit yang lalu ia ingin menerkam orang, sekarang ia sudah ingin memeluk semua orang.
Wahhh...
ΔΔΔ
"Ini kan yang tadi kamu beli?" Jonas meletakan jus mangga dan beberapa bungkus roti coklat di atas meja.
Chilla yang sebelumnya duduk miring sambil menunduk untuk mengelap sepatu, segera menegakkan punggung mendengar suaranya. Gadis itu memasang ekspresi paling menggemaskan yang pernah Jonas lihat pada remaja seusianya. Matanya yang besar membulat kebingungan. Rambut ikalnya lagi-lagi berantakan, menggoda Jonas untuk merapikannya. Tapi kali ini ia menahan keinginan itu. Kelas cukup ramai, ia tak khawatir Chilla akan salah paham, tapi belum tentu yang menyaksikan akan berpikiran sama. Ia tak mau ada gosip-gosip aneh.
Jonas menyerahkan selempeng benda tipis berkilau. "Handphone kamu gak mau nyala," ia berujar. Menyadarkan Chilla dari kelinglungan.
Chilla meraih ponsel mahalnya. Dua kali ia mencoba menyalakan, tapi tak ada reaksi apapun. Wajahnya yang tadi menggemaskan karena bingung, sekarang jadi muram karena khawatir.
"Coba di servis dulu, siapa tahu masih bisa bagus lagi," Jonas menenangkan.
"Tapi di mana?" tanya Chilla sedih. Siapa coba yang tak akan sedih? Ini iPhone X!
Jonas ingat beberapa bulan yang lalu Arnas juga pergi menservis iPhone-nya karena tak mau menyala. Tapi ia lupa di daerah mana. Dan hasilnya memuaskan.
"Waktu itu Arnas benerin handphonenya juga," ia menjelaskan, "Tapi lupa dia bilang di mana. Coba aja tanya dia."
Saat nama Arnas terucap, ada perubahan sedikit—sedikit sekali—pada ekspresi Chill, nyaris tak kentara. Tapi ketika Jonas menyarankannya bertanya pada Arnas, air muka gadis itu seketika berubah masam. Seakan itu adalah usul paling menjijikan yang pernah didengarnya.
"Gak—"
"Biar aku aja yang nanya, deh," sela Jonas. Ia tersenyum meyakinkan.
"Serius?" tanya Chilla, sangsi. Ekspresinya sudah kembali biasa.
Mengangguk Jonas, mengiyakan.
"Makasih ya, Jo."
"Sama-sama."
Chilla melirik jajanan di atas mejanya. "Eh, ini semua berapa?"
"Udah gak usah."
"Eh, jangan gitu." Chilla merogoh sakunya.
"Gak usah. Serius," ujar Jonas sungguh-sungguh. "Aku gak mau bantuin kamu nanya ke Arnas kalo kamu tetep mau bayar."
"Oke..." Chilla mengurungkan niatnya. Ada senyum samar di bibirnya menanggapi ancaman Jonas itu. "Kalo gitu kamu juga makan."
"Oke," Jonas menyetujui. Ia menarik salah satu kursi mendekat ke meja Chilla. Kemudian masing-masing menjemput satu bungkus roti dan membukanya.
"Kamu gak pa-pa, kan?" tanya Jonas sebelum menggigit rotinya. Sementara Chilla sudah lebih dulu melahap miliknya.
Chilla mengangguk di antara kunyahanya. "Cuma kecipratan jus sedikit," terangnya usai menelan.
"Tangan?" tanya Jonas lagi di sela kunyahan hanya untuk memastikan. Mengingat tadi Deandra tampak dengan keras menepis tangan Chilla.
"Gak pa-pa."
Jonas mangut-mangut. Lega tak ada yang terluka. Ia tidak pernah suka dengan perselisihan. Karena biasanya akan ada yang terluka, entah fisik atau perasaan. Itulah kenapa tadi ia menyuruh Chilla pergi.
"Jo—"
"Jonas!" seruan itu memotong ucapan Chilla. Membuatnya dan Jonas menoleh ke arah pintu, sumber suara.
Jonas mengenali gadis cantik yang berdiri di ambang pintu. Zeeta. Kakak kelas yang tahun kemarin juara dua olimpiade biologi tingkat nasional. Tipe idealnya.
"Kenapa, Kak?" Jonas berdiri membelakangi Chilla. Melepaskan roti di tangannya.
"Ikut gue ke ruang Bu Susi," jawab Kak Zeeta.
Bu Susi adalah guru pembimbing murid yang dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade.
Tanpa membuang waktu Jonas langsung berangkat. Ia hampir saja lupa bahwa sedang bersama Chilla. Ketika sampai di ambang pintu ia berbalik, "Pergi dulu, ya." Dan kembali melanjutkan langkah ketika mendapat senyum tipis dari Chilla.
"Tahu dari mana aku di sini, Kak?" Jonas menjajari Kak Zeeta yang berjalan cukup cepat. Berdua menyusuri lorong sekolah yang ramai.
"Temen-temen lo di kantin bilang lo nganterin makanan buat adek Largha." Kak Zeeta menoleh. "Kalian pacaran?" tanya to the poin.
Ini yang Jonas suka. Berani, tak suka basa-basi.
"Nggak!" jawab Jonas cepat. Terlalu cepat, hingga membuat Kak Zeeta tertawa.
Jonas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia merasa konyol merespon secepat itu. Kan kelihatan sekali ia tak mau disalahpahami.
"Eh," tawa Kak Zeeta sudah reda, "gue minta kontak lo, Jo, biar lain kali gak susah nyari-nyari." Diberikannya ponselnya pada Jonas yang mendadak berhenti berjalan. Tak menyangka.
"Jo?" Kak Zeeta ikut berhenti
"Iya-iya." Jonas mengambil ponsel dengan softcase biru itu. Bersusah payah agar tak gemetar.
Astaga, kenapa ia jadi agak tak terkendali begini?!
ΔΔΔ
Arnas mengernyit melihat seorang Achilla Summer Adrinari berdiri di halte bersama sekumpulan siswa dan siswi lain. Ini pemandangan yang agak luar biasa. Sebab Chilla selalu mengekori Largha, dan sekarang gadis itu sendiri tanpa kakaknya. Ada apa gerangan?
Sebuah bus berhenti. Sebagian besar penghuni halte naik. Menyisakan Arnas serta tiga murid lain—termasuk Chilla yang tampak agak kebingungan.
Chilla pernah naik kendaraan umum, kan?
Arnas perhatikan Chilla celingak-celinguk hingga pandangan keduanya bertemu. Dan ekspresi andalan Chilla secara otomatis muncul begitu saja, lalu gadis itu membuang muka dengan jijik.
Arnas mendesis. Menyebalkan. Untung perempuan, pikir Arnas.
Sela beberapa menit yang singkat, sebuah angkot berhenti. Semua orang yang tersisa di halte naik kecuali Arnas.
Hei!
Arnas segera bergerak, ia meraih tangan Chilla yang mengantri untuk naik. Menarik gadis itu menepi, kemudian memberi isyarat sang sopir untuk berlalu meninggalkan mereka berdua.
Begitu angkot pergi, Chilla menghentakkan tangannya kasar sampai genggam Arnas terlepas.
"Biasa aja kali," ujar Arnas, bergerak menjauh.
"Lo ngapain sih?!" Sebagaimana normalnya, Chilla ngegas seketika.
"Gue nyegah lo biar gak naik angkot yang salah. Lo mau pulang kan?"
Chilla tak menjawab. Ia hanya memandang ke depan, mengatupkan bibirnya rapat. Tapi itu cukup bagi Arnas untuk mengetahui bahwa dugaannya benar. Lagipula mana mungkin sih gadis seperti Chilla berkeliaran sendiri tanpa kakaknya jika tidak penting-penting amat?
"Kalo lo gak tahu rute angkot kenapa gak naik Gojek aja sih? Repot kalo nyasar tahu gak," keluh Arnas.
"Bukan urusan lo!"
"Gue ngomong baik-baik loh. Bisa gak lo gak nyolot?" Arnas masih sabar.
"Gue tiba-tiba PMS setiap ngeliat lo," ujar Chilla pedas. Membuat Arnas kicep. "Hormon gue gak terkendali."
Arnas menyerah. Ia tak berdaya jika sudah membawa-bawa soal PMS. Gadis itu tahu benar cara menyerangnya.
Baik Arnas mau pun Chilla terus berdiam diri sampai angkot dengan nomor rute yang tepat menepi. Arnas berjalan lebih dulu memasuki angkot, Chilla mengikuti di belakangnya.
Jdukk!
Arnas meringis mendengar suara benturan itu. Kedengarannya mengkhawatirkan. Chilla masuk, melewati Arnas yang duduk di sisi pintu, gadis itu pun kemudian duduk di bangku depannya, masih memegangi kening. Mata gadis itu berkaca-kaca serta wajahnya memerah. Dia pasti kesakitan dan malu sekali, apalagi dengan reaksi semua orang yang menahan tawa. Bahkan si sopir ikut berkomentar.
"Ati-ati neng cantik."
Arnas mendengus tertawa. Yang langsung dihadiahi Chilla tatapan tajam. Ia tak ngeri sama sekali, malah makin geli hati. Walau kasihan, ini tetaplah lucu.
"Makanya pakek mata, jangan pakek emosi," gumam Arnas. "Marah-marah mulu sih."
"Rese lo," desis Chilla seraya mendelik.
Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Hanya sesekali Arnas melirik Chilla yang nampak kurang nyaman. Gadis itu kelihatan risih dengan pandangan salah seorang pria dewasa bertampang mengerikan yang terus memperhatikannya. Jangankan Chilla yang ditatapi, Arnas yang menyaksikan saja terganggu. Maksudnya, Chilla memang tampak tak cocok di angkot ini yang penuh sesak, apalagi dengan wajah blasteran gadis itu. Tapi tetap saja, tak bisakah itu mata dikendalikan?
Selain pria itu, Chilla juga nampak kurang nyaman dengan angkot yang kecepatnya kurang stabil. Beberapa kali gadis itu sedikit terdorong ke arah pintu. Mengkhawatirkan sekali.
Lagipula, kenapa coba Chilla si-adek-nya-kakak ini naik angkot? Image Achilla Summer Adrinari dan angkot itu sungguh tidak match.
Tubuh Arnas tersentak ketika mobil angkot yang ditumpanginya berbelok di tikungan tajam. Untung sebagai pengguna angkot kawakan ia sudah sangat cekatan. Satu tangannya langsung meraih pegangan pintu yang berada di belakangnya, sedang tangan satunya lagi memalangi pintu yang terbuka, menahan Chilla yang nyaris nyusruk keluar.
Chilla nampak rikuh menyadiri sebagian sisi tubuhnya bertumpu pada lengan Arnas. Gelagapan ia memperbaiki posisi duduknya.
"Makanya, gak usah sok naik angkot kalo gak pernah," gumam Arnas.
Dengan sinis Chilla menyahuti, "Rambut lo tuh benerin, berantakan. Udah kayak kepala nanas."
Random ya, pikir Arnas.
ΔΔΔ
ada yg pernah kepentok pas naik angkot? aku pernah. rasanya sakit banget. sumpah. nyut-nyutan, dan benjol berminggu-minggu. untung gak gegar otak deh aku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Zakiatu Anastasya
q jga pernah thor,sakit mah g terlalu tp malu y itu lah thor,,,,🤭🤭🤭😅
2022-02-12
0
Conny Radiansyah
lebay Thor..kejedot bikin geger otak..seru..lanjut
2020-12-21
0
mawarlicha🌹🌹🌹
keren
2020-12-20
0