Summer Between Jonas & Arnas
Visualisasi
• Achilla Summer Adrinari (Chilla)
•Jonas Prawira (Jonas)
•Arnas Prawira (Arnas)
•Largha Adrinari (Kak Largha)
∆∆∆
Achilla Summer Adrinari dengan hati-hati menyelipkan sepucuk surat beramplop biru pada sebuah loker di lorong sekolah yang masih sepi. Setiap Senin, ini adalah rutinitasnya sejak awal semester kemarin.
"Jadi lo pengemar gila Jonas?"
Chilla otomatis berbalik mendengar tanya itu. Mendapati Arnas Prawira berdiri bersedekap di depan dada. Wajah songong manusia itu ingin sekali ia aniaya.
"Bukan urusan lo ya!" balas Chilla sewot. Setiap melihat Arnas memang seolah ia PMS dadakan. Bawaannya ingin menghancurkan peradaban. Memang hiperbolis, tapi tetap saja rasanya buruk. Walau begitu, ia selalu bisa menahannya.
"Jonas kembaran gue, ya. Gue ingetin kalo lo lupa. Jadi apapun yang berhubungan sama dia jadi urusan gue."
Itu benar. Jonas dan Arnas Prawira memang kembar, walau tak identik. Chilla lupa apa istilah ilmiahnya. Ada beberapa hal yang memang mirip pada fisik mereka. Terutama mata. Serius, mata mereka berdua agak berbeda dari kebanyakan pure bangsa Indonesia. Warna mata Jonas dan Arnas agak keabuan. Cantik—terutama milik Jonas. Ia agak tak rela memuji Arnas. Sumpah, ia benci sekali pada Arnas sampai ke tulang-tulang, jaringan-jaringan, sel-sel, even ke atom-atom. Pahamkan? Sebenci itu. Ini lebih dari 'benci yang mendarah-daging sampai sumsum tulang'.
Biar kata fisik 'agak' mirip. Sifat dan kelakuan Jonas dan Arnas itu berbeda sekali. Jonas itu—subhanallah, baik sampai bayangannya. Tampan dan pintar pula. Belum lagi sopan juga soleh naudzubilah. Sedang kembarannya itu menyebalkan naudzubilah. Walau menyebalkan bukan berarti Arnas tak berprestasi, hanya saja beda bidang dengan kembarannya. Bila Jonas dalam bidang akademik, Arnas dalam bidang fisik. Arnas adalah atlet kebanggaan sekolah. Meski kebanggaan sekolah, Arnas dengan kelakuan naudzubilah-nya itu tetaplah 'kesayangan' guru BK. Pahamkan yang dimaksud 'kesayangan' guru BK? Maklum, hobinya bolos jam pelajaran, entah karena bermain bola atau minggat keluar sekolah.
"Gak perlu lo ingetin. Mana bisa gue lupa sama saudara kembar yang satu kayak malaikat, yang sebiji lagi kayak set..." Chilla tak menyelesaikan ucapannya. Sebab Arnas mendekat dan menodongnya dengan telunjuk yang berada dalam jarak berbahaya. Bisa kecolok mata Chilla.
"Tolong ya tangan." Chilla menepis tangan Arnas kasar.
"Set... Apa?" tanya Arnas berbahaya. Telunjuknya kembali terangkat, menoyor kening Chilla pelan.
"Setan!" cetus Chilla kesal. Ia tergesa mencoba menggapai telunjuk Arnas untuk mengigitnya, namun kalah cepat dengan laki-laki itu. Arnas mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Maka Chilla mulai membabi buta. Ia mengait tengkuk Arnas sampai manusia hina satu itu terbungkuk-bungkuk sambil berteriak histeris. Lalu menggunakan tangan lainnya Chilla menangkap tangan Arnas. Mulut Chilla mangap-mangap, siap mengeksekusi.
"Eh, eh! Gila!" jerit Arnas. "Barbar banget sih lo!"
"Biarin!"
"Gue bilangin Jonas ya kelakuan lo!" ancam Arnas.
"Bilangin!" tantang Chilla, spontan. "Coba gue mau denger." Tidak mungkin kan Arnas se-kekanakkan itu mau mengadu?
"Joooooo! JONAS!" lengking Arnas, tak main-main.
What?!
Chilla yang panik membekap mulut Arnas. Lengannya yang mengunci tengkuk Arnas ia lepaskan. Ia butuh tangannya untuk membenarkan otak makhluk menyebalkan ini.
Plak!
Plak!
Tak kenal ampun Chilla mengiaya kepala Arnas. Inilah cara terbaik memperbaiki otak bobrok. Pokoknya hilang sudah pengendalian dirinya selama ini.
"Gila ya lo... Ngaduan kayak bocah," omel Chilla. "Oh iya, gue lupa lo emang bocah." ia menggertakkan gigi. Gregetan. "Bo... cah... Ar... nas..."
Arnas tiba-tiba berdiri. Bergerak cepat mencengkram kedua pergelangan tangan Chilla erat. Mata keduanya bertemu. Iris coklat dan hitam kelabu. Bisu.
"Kalian berdua ngapain?"
Baik Chilla maupun Arnas menoleh mendengar suara itu. Menjumpai Jonas yang berdiri tegap, lengkap dengan dasi dan topi rapi siap memimpin upacara rutin hari Senin.
Buru-buru Chilla dan Arnas menjauh. Kemudian masing-masing memperbaiki penampilan usai pergulatan seru.
"Enggak ngapa-ngapain," jawab Arnas santai, kelewat santai malah. Sementara Chilla hanya menggeleng kecil.
ΔΔΔ
Kening Arnas mengernyit ketika segumpal kertas mendarat di mejanya yang terletak paling belakang. Ia yang sedang duduk santai dengan tangan bersedekap di depan dada sambil akting memperhatikan pelajaran fisika di depan, celingak-celinguk memandang sekeliling kelas mencari pelaku pelemparan.
Dan di seberang ruangan ada Chilla yang menatapnya, menantang. Jelas itu artinya dia sang pelaku.
Arnas meraih gumplan kertas itu. Meratakannya agar dapat dibaca. Ia sebetulnya malas, tapi penasaran.
AWAS YA LO BACOT KE JONAS SOAL SURAT ITU. GUE SURUH LARGHA ABISIN LO KALO SAMPE BOCOR.
Merinding. Bukan karena tulisan capslock itu, apalagi soal ancaman remeh itu, namun karena penggunaan nama 'Largha' yang notabenenya kakak Chilla serta orang paling menjijikan yang pernah ia jumpai. Jangankan berurusan dengannya, mendengar namanya saja Arnas sudah mual.
Arnas meremas kertas ancaman kembali. Membuatnya bagai bola kecil. Lalu masih ditemani perhatian Chilla, Arnas tersenyum jail dan melemparkan kertas menyeberangi ruang kelas, terus hingga melewati jendela terbuka di samping-atas Chilla.
Chilla melongo melihat kejadian itu. Wajahnya kelihatan ungu dari sini. Tampaknya ia memupuk kebencian Chilla padanya dengan sukses. Bodoh sekali.
ΔΔΔ
"Masih waras, Jo?"
Jonas tersenyum miring mendengar sindiran adiknya—beda sepuluh menit saja. Sudah biasa. Arnas memang suka nyinyir soal surat yang rutin ia dapatkan pada hari Senin di dalam loker. Entah memang khawatir atau cemburu karena tak mendapatkan hal serupa.
"Yakin lo yang ngirim surat cewek? Bisa aja kan cowok."
"Yakinlah," jawab Jonas. Dengan tenang Jonas melipat surat dan memasukannya kembali kedalam amplop biru--bahkan penggemar rahasianya tahu ia suka warna biru. "Orang setiap suratnya wangi parfum cewek," tambahnya.
"Cowok juga bisa beli parfum cewek kali," bantah Arnas.
"Memang. Tapi gue yakin ini cewek, ya. Tulisannya juga gaya tulisan cewek," Jonas tak mau menyerah meyakinkan Arnas bahwa memang perempuan tulen penggemarnya itu, bukan makhluk sejenis dengannya. Membayangkan jika laki-laki yang mengiriminya surat sewangi ini saja membuatnya merinding. Astaga! Jangan sampai dugaan Arnas itu benar.
Tak terdengar lagi suara Arnas mendebat. Barangkali menyerah meyakinkan Jonas dengan kemungkinan menggelikan semacam itu.
Sementara Jonas menata surat terbarunya di samping surat terakhir dalam kotak yang tersimpan rapi di laci meja belajar.
Kemudian ia beranjak berdiri, melenggang melewati ruang di antara kaki tempat tidur dan kursi belajar, mendekati jendela yang menampilkan panorama langit senja. Ia sempat melirik Arnas yang duduk bersila di atas tepat tidur di sisi yang lain, tengah bermain ponsel. Cukup di ketahui bahwa segala barang yang ada di kamar lantai dua rumah ini berjumlah dua. Tempat tidur dua, meja belajar dua, rak buku dua, lemari baju dua. Serba dua pokoknya. Alasannya sederhana: agar ia dan Arnas tak bertengkar. Dan itu berhasil selama belas enam belas tahun ini. Belum pernah ia dan Arnas bertengkar karena berebut sesuatu. Sama sekali, walau itu untuk hal sepele. Hubungan mereka sebagai saudara kembar benar-benar mulus sejauh ini, sejauh yang dapat diingatnya.
Jonas duduk bersila pada bingkai jendela. Menyandarkan punggung santai walau tak lupa menjaga keseimbangan. Salah-salah ia bisa oleng dan menghantam atap teras sebelum berdebam ke lantai aspal di bawah. Kan sakit. Sudah cukup dengan pengalaman berguling-guling di tangga saat kelas dua SD hingga harus dirawat di rumah sakit karena patah tulang.
"Lo gak mau cari tahu siapa yang ngirimin lo surat, Jo?" suara Arnas kembali terdengar.
"Belum," jawab Jonas santai. Matanya menatap balkon rumah seberang. Memandang gadis cantik yang sedang mengeringkan rambut ikal basahnya dengan sehelai handuk biru. Dia Achilla, tetangga sekaligus teman sekelas Arnas. "Kalo masih diem-diem, berarti dia belum mau gue tahu."
Arnas mendengus. "Dia diem-diem karena berharap lo suka dan nemuin dia duluan, 'Abang'." Ditekankannya salah satu panggilan untuk kakak laki-laki itu.
Jonas tergesa membuang pandang ketika Chilla menoleh padanya, barangkali menyadiri sedang diperhatikan.
"Yang artinya dia gak cukup percaya diri. Mikir dong, Bambwang. Otak lo kan encer kayak susu Frisian Flag."
Jonas mengernyit menatap Arnas. Kenapa adiknya jadi emosi?
"Gue gak emosi, gue greget."
Kernyitan di dahi Jonas kian dalam. Sejak kapan Arnas bisa membaca pikiran?
ΔΔΔ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
newtoon🐇
keren
2021-06-15
0
🌹Dina Yomaliana🌹
Hai kakak👋 aku datang di cerita mu ya🥰😉 semangat terus up ceritanya💖💖💖💖
Salam kenal dari cerita ku😊😊😊😊
~ Adikku Sayang Adikku Malang
~ Sungguh Tak Terkira
2021-01-11
0
mawarlicha🌹🌹🌹
keren
2020-12-20
0