Bagian 5

Sepanjang jalan menyusuri koridor yang sudah beranjak siang masih belum menunjukkan lalu lalang penghuni kampus. Koridor yang masih lengang dengan suara-suara langkah kaki, memudahkan Devan bebas mengeluarkan ekspresinya saat ini. Ia tengah bergulat dengan pikirannya. Berbagai cara telah direncanakannya dengan matang, tetapi objeknya tidak menanggapi atau bahkan berusaha untuk tidak terlihat olehnya. Jika awalnya seperti ini bagaimana dia akan mengalami kemajuan yang diinginkannya. 

"Apa aku terlalu cepat memutuskan yah?", Devan bicara pada diri sendiri

"Atau aku terlihat mendesaknya dan tidak memikirkan perasaannya?"

"Atau dari awal memang dia tidak mau menjadi lebih dari seorang adik untukku?"

"Apa iya aku batalkan saja?"

"Tetapi aku sudah terlanjur bertemu orangtuanya, apa kata mereka nanti kalau aku yang masih ragu dengan keputusanku sendiri?" 

Devan masih terus berdialog dengan dirinya sendiri. Tepat saat itu, dari kejauhan, ada seseorang yang terus memerhatikan tingkah Devan yang aneh, seolah tengah berdebat dengan seseorang, tetapi tidak ada yang menemaninya. Hanya Devan seorang diri disana. Penasaran dengan hal itu, ia kemudian menghampiri Devan.

"Devann", teriak orang itu yang jaraknya memang agak jauh dari Devan

Orang merasa dipanggil itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

"Iya", ucap Devan saat orang itu telah sampai dihadapan Devan

"Kamu kenapa, dari jauh kamu kayak berdebat sama orang, tapi disini kamu sendiri, kalau telponan tidak mungkin tida ada bukti yang meyakinkan"

"Oh tidak apa-apa, kenapa Ray?"

"Tidak mungkin tidak ada apa-apa, barusan lo aku lihat kamu bertingkah aneh seperti itu"

"Tidak apa-apa, aman, masih normal"

"Tidak usah malu kali, cerita aja"

"Dibilangin tidak apa-apa, yah tidak apa-apa, kalaupun kamu lihat orang yang bertingkah aneh seperti aku tadi, palingan mikirin kuliah, kitakan mahasiswa tingkat akhir"

"Yeehh, mana ada, kapan kamu mikirin akademikmu, aku tahu kamu Devan"

"Kita ini sudah dipenghujung Ray, otomatis aku mau tidak mau harus mikirin itu, gimana aku kedepannya nanti"

"Yah, kan itu bukan kamu, biar dalam keadaan terdesak juga kekeuh sama pendirian"

"Kali ini beda, jadi tidak usah ajak debat pagi-pagi yah", sambil berjalan menuju sekret organisasi mereka.

"Sudah siang kali"

"Hmm, yaudah kalau tidak mau cerita", lanjut Ray

Mereka akhirnya sampai di sekret organisasi. Hari ini kuliah mereka sudah selesai. Kebiasaan, setiap sudah tidak ada kuliah lagi, mereka akan berkumpul di sekret, bersenda gurau, makan bersama, baca buku, tidur, atau membuka diskusi dadakan membahas topik terkini ataupun topik yang sedang mereka ingin bahas walau tidak hangat-hangat diperbincangkan. Devan dan Ray yang baru masuk menyapa teman-teman mereka yang sudah ada disana. Ray langsung bergabung dengan mereka, sedangkan Devan hanya menyimpan tasnya di kursi kosong didekatnya dan beranjak kembali keluar. Tadi pagi ia belum sempat sarapan, dikarenakan ia terlambat bangun dan harus mengurus keperluan sekolah keponakannya. Biasanya ia selalu menanyakan kepada temannya perihal makan, mereka sudah makan atau tidak, kalau tidak ia akan mengajaknya pergi makan. Tetapi, hari ini moodnya tidak dalam kondisi yang menyenangkan sehingga ia hanya berlalu keluar tanpa berpamitan dengan teman-temannya. Hal itu pastinya membuat teman-temannya bertanya-tanya.

"Kenapa tuh si Devan?" tanya teman yang sedang asyik memainkan hp-nya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya

"Lagi banyak pikiran dia", jawab Ray yang menyimpulkan saja pembicaraannya dengan Devan sepanjang jalan ke koridor tadi

"Lahh, kok tumben, aneh tuh anak", ucap yang lain yang sibuk berkutat dengan laptop dihadapannya

"Dia memangnya mau kemana, gak biasanya dia bilang", tanya teman yang baru saja keluar dari perpustakaan mini di dalam sekret itu

"Palingan makan dia", jawab Ray yang mulai membaringkan badannya

******

Di dalam sebuah kelas yang diselimuti keheningan. Mahasiswa-mahasiswa di dalam kelas kelas itu ternyata mendapatkan kuis mendadak. Dosen hanya memberi waktu 20 menit dengan jumlah soal kuis tiga nomor. Walaupun hanya tiga nomor, dari nomor satu sampai tiga benar-benar memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Soal nomor satu masih bisa dikatakan soal yang mudah jawab, nomor dua mulai mengalami kesulitan, hingga pada nomor tiga yang memang soal tersulit. 

Keheningan yang melanda kelas itu tidak benar-benar hilang suara. Di beberapa bagian, terdengar bisik-bisik, tak jarang mereka mengeraskan suaranya untuk meminjam tipe-X atau polpen yang jelas-jelas hanya alasan mereka saja. Dosen yang tengah duduk mengawasi di depan, sesekali menegur kelakuan mahasiswa yang suka meminjam saat kuis atau ujian berlangsung. Namun, ada satu orang yang tidak fokus mengerjakan kuisnya. Ia hanya mengerjakan dua nomor, itupun nomor kedua masih setengah selesai. Ia tengah bergulat dengan pikirannya. Masalahnya lebih penting dari tulisan-tulisan diatas kertas yang berada di hadapannya saat ini. Walaupun nantinya akan berpengaruhi pada nilai akhir untuk mata kuliahnya ini. Ia masih terus memikirkan masalahnya sampai waktu mengerjakan kuis telah selesai. Ia tidak sempat mengerjakan soal terakhir. Ia sama sekali tidak memikirkannya. Saat mendengar dosen menyuruh segera mengumpulkan jawaban kuis, ia langsung mengumpulkan tanpa sedikitpun memeriksa kembali jawaban dari kuisnya itu. 

Setelah kuis, dosen melanjutkan materi dan sesekali mengajak mahasiswa untuk aktif dalam perkuliahan, entah memberi pertanyaan pada mahasiswa atau memancing mahasiswa untuk bertanya. Orang yang sejak tadi bergulat dengan pikirannya mencoba untuk fokus dengan materi yang dijelaskan dosennya. Ia berusaha untuk menepis dahulu masalah yang memberatkan pikirannya itu. 

Satu jam berlalu

Kelas telah usai, mahasiswa satu per satu mulai meninggalkan kelas, ada yang cepat-cepat ke kantin yang telah menahan lapar di kelas, ada yang beriringan ke toilet mengambil wudhu melaksanakn kewajibannya sebagai muslim, dan ada yang langsung pulang kembali ke kost atau rumahnya untuk istirahat.

Suasana di musholah setelah sholat.

"Kay"

"Iya"

"Tadi kak Devan, nyuruh kamu ke sekret setelah kuliah"

"Kenapa" tanya Kaysa

"Tidak tahu, tadi kakak cuma bilang begitu"

"Oh", Kaysa tidak mau memikirkannya, tetapi Alina, temannya ini kembali mengungkitnya

"Memangnya kamu ada urusan apa sama Kak Devan?", tanya teman Kaysa yang lain

"Tidak tahu juga"

"Oh, iya, tadi kok kamu buru-buru amat ke kelas mata kuliah terakhir?", tanya Alina yang hampir ia lupa tanyakan kepada temannya itu

"Tidak ada, biasanya kan aku juga kadang begitu" jawab Kaysa tanpa terkejut dengan pertanyaan Alina karena ia memang terkadang cepat sekali masuk kelas, kadang terlambat, kadang jika terlalu terlena dengan hobinya hingga melupakan tidur, ia akan terlambat bangun dan jika sudah tidak memungkinkan untuk pergi ke kampus, ia akan membolos.

"Iya juga sih, tapi kamu di chat apaan sama kakak?", Alina kembali bertanya, memang ia terkenal kepo dengan urusan teman-temannya apalagi berkaitan dengan senior-senior kampus.

"Aku juga belum tahu, belum lihat baca chatnya", ucap Kaysa yang mulai malas menjawab pertanyaan Alina yang mulai terlihat mengintrogasinya.

"Eeehh, tadi kamu lihat hp-mu di kelas"

"Aku cuma buka sekilas chatnya kakak, terus aku langsung tutup"

"Kamu belum sempat baca?, jadi kamu hanya read chatnya kakak?, pasti dia sekarang lagi tunggu balasan chat kamu", cerocos Alina yang membuatku jengkel jika bertemu dengan situasi seperti ini.

"Iya, nantilah aku baca plus balas chatnya kalau bisa"

"Kok 'kalau bisa'?"

"Kan chat belum tentu bisa dibalas, cuma mentok disitu"

"Harus tetap dibalas lah Kay, biar kakak itu tahu kamu baca chatnya buka hanya sekedar buka chatnya tanpa baca"

"Iya-iya", aku makin jengkel dengan sikap Alina, kalau bukan aku yang mengalah debat ini tidak akan berakhir sampai waktu sholat Ashar datang.

"Aku pergi dulu yah", lanjut Kaysa yang mulai beranjak pergi dari musholah

"Jangan lupa ke sekret, kakak tunggu itu, nanti kakak mikirnya aku tidak sampaikan ke kamu lagi"

Kaysa tidak lagi menanggapi perkataan Alina, toh ia sudah terlanjur malas menghadapinya dan aku juga perlahan menjauh dari musholah. Tetapi, Kaysa memikirkan perkataan Alina, kalau ia tidak menemui kak Devan, nantinya Kak Devan malah mikirnya Alina tidak menyampaikan ke dia. Ia tidak suka membebani orang. Namun, di lain sisi ia tidak mau ketemu Kak Devan. Kaysa terus berjalan. Hingga tak sadar langkahnya semakin dekat dengan sekret. 

(Sepertinya memang aku harus bertemu dengannya), batin Kaysa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!