Sepi. Baru jam 8 malam. Tempat ini sunyi, dan gelap. Tak seperti di Ibukota. Hiruk-pikuk kendaraan dan lampu-lampu yang semarak menghidupkan malam.
Mayang duduk di kasurnya. Dipannya terbuat dari kayu jati asli. Meja rias di ujung sana, juga meja belajar minimalis dengan rak buku menjulang di atasnya juga terbuat dari kayu jati. Satu-satunya permintaan Mayang pada Papanya, ia ingin meja baca di dekat jendela.
Jendela yang cantik. Ia tertegun saat pertama kali membuka jendela kamarnya. Seperti menengok di buku dongeng. Hamparan sawah yang menjulang dari atas ke bawah, dari bukit ke bukit, dengan gunung yang gagah sebagai latar belakangnya. Ini asli, bukan lukisan.
Bahkan ia masih takjub setiap melihatnya kembali. Mbok Jum bilang pemandangannya berubah setiap musim.
"Nanti kalau hampir musim panen, padinya menguning Mbak. Artinya siap panen. Terus setelah panen biasanya dibakar sekamnya, sebagian yang bagus buat pakan ternak. Abunya bisa jadi pupuk."
"Dibakar, Mbok?" Mayang terlihat antusias memandangi hamparan sawah hijau di depannya.
Mbok Jum menghentikan gerakan kemocengnya. " Iya, Mbak. Kan jauh dari pemukiman warga. Jadi aman."
Mayang bersungut-sungut paham. Mbok Jum memang memanggilnya Mbak. Bagi orang Jawa, selain panggilan kepada yang lebih tua, Mbak bisa juga dipakai untuk memanggil orang yang disegani. Awalnya Mayang heran, di kota, 'Mbak' biasanya sering digunakan untuk memanggil asisten rumah tangga, pengasuh anak dan semacamnya.
"Oh, maaf Non, sayang kurang tahu. Maklum, sedari lahir saya di kampung terus. Nggak punya TV, nggak kenal dunia luar apalagi Jakarta. Maaf ya, Non saya nggak tahu."
Tapi akhirnya Mayang lebih suka dipanggil Mbak. Menurutnya dia merasa keren karena dianggap lebih tua. Dia juga suka saat anak-anak di kampung menyapanya dengan ramah dan berjalan beriringan mengantarnya ke rumah. Anak-anak itu diberi cokelat dan permen. Senangnya hati mereka. Mayang takjub.
"Makasih ya Mbak Mayang."
Satu persatu anak-anak itu mengucapkan terimakasih berkali-kali dan berebut mengantarnya kembali ke rumah. Anak-anak itu bermain di sungai seberang rumahnya. Mayang tersenyum pada mereka dan takjublah ia dengan keramahan dan kepolosan anak-anak itu. Berbeda sekali dengan anak-anak kota. Ia jadi teringat dengan Arlo, anaknya Tante Erika. Mereka pernah bertemu pada suatu perjumpaan makan siang dengan Papanya. Anak itu dingin dan asyik bermain gadgetnya, juga memanggil Mayang tanpa embel-embel Kakak atau semacamnya.
Seharian itu, Mayang tersenyum-senyum sendiri. Merasa dewasa. Dia dipanggil Mbak.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Ah pasti itu Papanya, rumah ini cuma dihuni mereka berdua.
Dibukalah perlahan pintu kamar itu. Papanya terlihat baru saja menerima telepon. Dia juga sudah berganti baju yang lebih rapi. Di belakangnya berdiri Mbok Jum.
"Sayang, Papa barusan ditelepon tim Papa. Papa ke Pabrik sebentar ya buat ngecek lapangan. Katanya ada sedikit masalah. Mayang di rumah sama Mbok Jum ya. Papa secepatnya pulang kalau urusan selesai. Oke, Sayang?" Papanya bergegas setelah mencium kilat dahi dan mengelus rambut anak semata wayangnya itu.
Ia tak takut di rumah sendiri. Dia sudah biasa semenjak dulu. Di luar, juga sudah ada Pak Darman yang rumahnya bersebelahan dengan rumah ini. Dia ditugaskan Papanya untuk ikut menjaga rumah. Rumah ini memang tanpa pagar. Tapi jalan menuju rumah ini dibuat gerbang. Di balik gerbang hanya ada rumah ini dan rumah Pak Darman. Juga pos kecil untuk sekelompok anjing penjaga milik Pak Darman. Rumah di ujung hutan, binatang buas mungkin jauh di dalam hutan. Tapi memiliki anjing penjaga adalah hal yang wajar bagi penduduk desa ini.
Suara mobil Papanya barusan terdengar meninggalkan halaman.
"Mbok Jum mau nonton TV?"
"Boleh, Mbak Mayang." Mbok Jum terdengar senang.
Mereka duduk di ruang tengah. Mbok Jum duduk di bawah.
"Mbok duduk di sofa aja, Mbok."
"Nggak Mbak saya di sini aja," ujarnya terdengar sungkan.
Mbok Jum adalah janda beranak 2. Suamimya meninggal tertimpa longsor 3 tahun lalu. Anak pertamanya laki-laki, putus sekolah karena biaya dan ikut bekerja menjadi buruh angkut batu dari seberang bukit di desa tetangga. Anak keduanya masih kecil. 5 tahun, seusia anak-anak yang ia jumpai di sungai tempo hari.
"Jalu kenapa nggak diajak, Mbok?" Mayang menanyakan anak terakhir Mbok Jum sembari mengeluarkan toples-toples camilan.
"Anu, Mbak. Sama Masnya. Takut ganggu."
"Diajak aja Mbok. Kemarin pas kesini Jalu seneng banget nonton TV. Ini permen cokelat kesukaan dia."
"Saya panggil ke sini boleh, Mbak? Mbok Jum berseru senang.
"Iya, Mbok. Jemput Jalu ke sini. Tapi nanti Mayang di kamar ya Mbok. Banyak PR dari sekolah. Nanti kalau ada apa-apa panggil Mayang."
Mbok Jum mengiyakan, lalu melangkah ke pintu, tapi langkahnya terhenti. Ia berbalik badan sambil berkata ragu dan malu-malu.
"Anu, Mbak. Kalau boleh saya mau nonton sinetron yang itu loh Mbak yang saya cerita kemarin. Ibu-ibu pada ngomongin itu, saya kepengen nonton."
Mayang tersenyum, lucunya Mbok Jum. Mbok Jum memang kurang berada, barang paling berharga di rumahnya hanya kompor gas. Itupun dia bilang dikasih pemerintah desa tahun lalu. Dirawatnya benar-benar dan jarang dipakai. Kayu untuk kebutuhan memasak melimpah, tinggal ambil di hutan. Katanya pakai kayu lebih hemat. Tapi dia senang juga. Tidak perlu bersusah-susah lagi untuk merebus air untuk membuat teh anget di malam hari. Udara di sini memang dingin.
"Ini remotenya Mbok. Tinggal pencet angka-angka ini kalau mau ganti chanel." Diserahkannya benda hitam pipih itu ke tangan Mbok Jum.
"Anu, Mbak. Saya takut mencet-mencet gitu. Takut rusak. Saya juga nggak ngerti. Mbak Mayang aja ya Mbak yang mencetin," ujarnya polos.
Mayang tersenyum kembali mendengarnya. "Ini udah, Mbok. Nanti duduk di sofa aja. Jangan di karpet. Sama Jalu juga ya. Makanannya dimakan juga, jangan sungkan. Nah Mayang ke kamar dulu."
Mbok Jum mengangguk girang lalu bergegas menjemput Jalu, bungsunya. Rumahnya memang tak jauh dari rumah ini. Hanya selisih satu rumah dari gerbang di bawah. Kedatangan keluarga ini sangat membantu ekonomi keluarganya. Papanya Mayang amat bermurah hati. Ia sangat bersyukur dipekerjakan di rumah itu.
***
Dari kamarnya, sayup-sayup terdengar tawa Ibu-anak itu dari ruang TV. Sambil sesekali Mbok Jum terdengar meminta anaknya untuk tenang dan jangan berisik.
Mayang tersenyum. Kebahagiaan kecil bagi sesorang yang ia berikan malam ini. Hanya menonton TV. Sesederhana itu kebahagiaan seseorang.
Jalu dan Mbok Jum. Mayang terkadang iri. Jalu mungkin tidak punya TV, tapi ia punya ibu. Hal yang tidak ia punyai.
Mayang membuka laci mejanya. Diary Mama. Diambilnya buku itu.
Ribuan kali mungkin ia kerap kali membacanya kala rindu. Semenjak ia bisa membaca, semenjak itulah dia tahu yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Eti Alifa
sedih ya liat mayang ga dilimpahi kasih sayang seorang ibu😔
2021-10-18
1
💜 Cindy Cantik 💜
likeeeee bnget thor
2021-10-15
1
mam Cahya
keren banget ceritanya ... semangat Thor 💪
2021-07-28
2