Bel masuk berbunyi. Mayang menyeka air matanya. Bima menggandeng tangannya memasuki gerbang, melewati lapangan basket menuju kelasnya. Dimana tatapan-tatapan aneh dan penuh penasaran menghakimi mereka.
Murid baru yang cantik, menangis dengan Bima murid paling bandel sedang menggandeng tangannya cepat-cepat.
"Mayang kenapa?" Anak laki-laki bertubuh tinggi dan tampan itu menghadang langkah mereka di depan pintu kelas.
"Bukan urusan lu," Bima berkata ketus sembari menerobos tangan anak itu dan berjalan cepat membawa Mayang duduk di kursinya.
"Lu apain?" Nadanya meninggi. Seakan tak terima. Dari name tag seragamnya, Mayang tahu kalau namanya Bagas.
"Gue Bagas, Ketua kelas sekaligus Ketua OSIS periode lalu. Kalau ada apa-apa lu bisa bilang ke gue." Bagas berkata serius ke arah Mayang sambil mendelik kesal pada Bima yang berdiri di antara mereka.
Mayang hanya mengangguk pelan sambil menyeka sisa air matanya. Bodoh sekali, kenapa harus menangis. Hal sentimental tentang Mamanya memang selalu membuatnya mudah menangis. Tanggal lahir yang sama, membuat Bima salah paham. Mayang hendak menjelaskan, tapi Guru datang ke kelas untuk memulai pelajaran.
Sepanjang sisa jam pelajaran, Mayang menyadari kalau Bima sering meliriknya berkali-kali. Tatapannya penuh tanya dan mungkin sedikit rasa bersalah. Apa yang membuat Mayang menangis. Apa salah Bima?
Di sela-sela menuju jam pulang, Mayang dengan cepat menyelesaikan mencatat tugasnya. Lalu berbaik ke buku kosong halaman belakang, dan menulis pesan singkat dengan cepat.
"Bima, aku minta maaf tadi menangis dan membuat khawatir. Maaf cengeng dan kekanakan. Aku cuma teringat mendiang Mamaku. Tanggal lahirnya sama denganmu."
Lalu kertas berisi pesan itu disobeknya, dilipat cepat dan ditinggalkan di depan meja Bima. Saat hendak keluar kelas, Mayang berjalan cepat, mungkin setengah berlari. Bisa ia rasakan banyak pandangan mata tertuju padanya. Hampir semua teman sekelasnya melihatnya menangis tadi. Mereka pasti berpikir kalau aku kekanak-kanakan dan cengeng, batinnya.
Sementara Bima memandangi surat di depan mejanya dengan tertegun. Kertas yang ditinggalkan Mayang begitu saja, ia baca sambil berjalan menuruni tangga. Langkahnya terhenti, kini ia mengerti mengapa gadis itu menangis.
***
Sementara itu Mayang berlari cepat menuju mobil Papanya. Papanya melambaikan tangan dari jauh dengan raut wajah ceria. Sementara itu Mayang menyadari, Papanya tak sendiri. Di sampingnya ada Mamanya Bima.
"Hai, Mayang. Gimana sekolah hari ini? Bima mana?" Mama Bima menyapa ramah.
"Itu di belakang Tante. Tadi Mayang buru-buru." Mayang buru-buru menggandeng Papanya masuk ke mobil. Dia benar-benar malu dan tidak ingin terlibat obrolan dengan Bima dan Mamanya.
Mayang menghembuskan nafas lega, dipasangnya seat belt sambil menyamankan posisi duduknya. Dari kaca depan terlihat Mama Bima melambaikan tangan ke arah mereka, Papa Mayang membalas lambaian perpisahan itu. Dan terlihat Bima berjalan ke arah Mamanya, Mayang menunduk.
"Ayo, Pa. Cepetan."
"Mayang kenapa buru-buru?"
"Laper, Pa," Mayang tertawa diikuti Papanya. Berbohong agar tidak terlihat panik karena tidak mau bertegur dengan Bima.
"Ya ampun. Kasihan anak Papa. Ayo pulang. Tadi Papa udah minta Mbok Jum masak makanan favorit kamu."
Sementara mobil melaju dan meninggalkan area sekolah, Mayang kembali pada lamunanya.
"Mayang tau nggak. Rumah Tante Asti itu deket rumah kita loh?"
"Tante Asti?"
"Iya, Mamanya Bisma itu loh."
"Oh, Bima maksud Papa?"
"Eh iya Bima ya, bukan Bisma."
"Dimana sih Pa. Bukannya rumah kita paling ujung?"
"Iya emang nggak searah jalannya. Tapi kata Pak Baron, dari bukit yang di samping rumah itu ada jalan setapak yang biasa dilewatin petani. Nah, nanti nembus ke rumah Tante Asti. Jadi nggak bisa dilewatin kendaraan. Katanya bagus loh pemandangan dari atas situ."
"Nah, Pak Baron itu siapa, Pa?"
"Satpam sekolah kamu yang tadi. Istrinya kerja bantu-bantu di rumah Tante Asti. Nah, kalau malam sebelum rumah itu biasa ditempatin, Pak Baron yang jaga. Rumah itu bangunan lama ternyata. Villa punya keluarga, jarang ditempati. Nah, kebetulan rumah Pak Baron nggak terlalu jauh dari villa itu."
Kota kecil yang sejuk itu memang di ujung pegunungan. Masyarakatnya mayoritas petani sayuran dan buah. Banyak villa yang yang disewakan karena jarang ditempati pemiliknya di kota. Bangunannya unik, khas pedesaan tapi lebih modern tata ruang dan furnitirnya. Tempat melepas stress di tengah hiruk-pikuknya kehidupan di kota besar.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya Mayang akan benar-benar ikut Papanya. Pekerjaan Papanya benar-benar tidak bisa ditangani dari jauh lagi seperti biasa. Harus langsung ke lapangan. Sebuah pabrik gula dibangun di ujung desa sana. Semua atas kendali dan tanggung jawab Papanya.
Beberapa bulan sebelumnya, Papanya membangun rumah mungil itu untuk mereka tempati. Setelah sebelumnya Mayang menolak untuk tinggal di apartemen ditemani asisten Papanya sampai dia lulus. Bagaimanapun Mayang masih 14 tahun, dan dia tahu Asisten Papanya menaruh hati pada Papanya. Bisa dirasakannya gelagat dari Tante Erika. Dia memang baik, tapi Mayang kurang menyukainya. Dia sadar betul Tante Erika berusaha mengambil hatinya. Untuk itu Mayang menolak tawaran Papanya yang berjanji akan pulang setiap Minggu. Ia lebih memilih pindah sekolah lagi, di tempat yang sebelumnya bahkan ia tak tahu itu dimana.
Akhirnya mobil itu sampai di depan rumah mereka. Rumah mungil yang cantik di tengah-tengah rimbun pepohonan di pinggir hutan.
Mereka berjalan beriringan menuju pintu.
"Oh iya, kata Tante Asti kita diundang ke rumahnya untuk makan malam. Nggak tau tapi kapan ya, Papa lupa nanya. Nanti Papa tanya lagi."
Mayang merasakan sesuatu. Apakah mereka sedekat itu? Papa dan Tante Asti, Mamanya Bima. Seingatnya, semenjak kecil hanya ada Papa, dia dan Mamanya. Yang selalu dihidupkan Papanya lewat cerita-cerita, lagu dan foto-foto kenangan. Bahkan Mayang merasa, selama ini Tante Erika sekalipun tak menarik perhatian Papanya. Ada setitik kecemburuan dalam hatinya.
"Kalau nggak salah nanti pas ulang tahunnya Bima deh."
Deg.
Mayang menghentikan langkahnya.
Ulang tahun Bima? Berarti bersamaan dengan ulang tahun Mamanya.
***
Bima duduk di depan jendela kamarnya. Mengamati semburat matahari yang menuju tenggelam di ujung sana. Pemandangan yang sempurna, bak lukisan. Di balik keengganannya untuk pindah sekolah, sebenarnya ia menyukai tempat ini.
Di tangannya ada selembar kertas, yang dari ujungnya jelas terlihat disobek dengan buru-buru.
Surat dari Mayang.
Ia tersenyum kecil. Anak itu mengganggu pikirannya. Umurnya 14, seusia adiknya. Ah, tidak. Bahkan dia lebih muda lagi. Selisih 5 tahun dengan umurnya.
Umurnya hampir 20. Terlalu tua untuk mengenakan seragam SMA. Kalau bukan atas keinginan Mamanya, mana dia mau.
Bima pernah vakum sekolah selama setahun penuh. Diambilnya cuti karena kecelakaan motor membuat tulangnya patah. Dan recovery setahun sebenarnya cukup lama. Alasan Bima saja sebenarnya untuk menunda sekolahnya. Beberapa kali pindah sekolah karena berkelahi dengan temannya. Akal-akalannya juga agar Mamanya menyerah dan membiarkannya tak melanjutkan sekolah.
"Sekolah itu nggak penting, Ma. Buat apa juga. Bima mau ke Bali. Ikut Om Wira. Di sana Bima bisa belajar apa aja yang Bima mau."
Itu obrolan disertai amarah Mamanya yang sedang menyetir. Entah itu perjalanan dari ruangan Kepala Sekolah yang mana. Saking banyaknya Bima berulah dan membuat masalah, sampai dia sendiri lupa berapa ruangan Kepala Sekolah yang ia dan Mamanya sambangi.
Bima dan dunianya sendiri. Mama dan kemauannya dan pantang menyerahnya.
Bima menghembuskan nafas panjang. Ia pandangi lagi surat itu.
"Anak ini. 14 tahun tapi sudah mau kuliah. Apa sih enaknya sekolah?"
Ia tersenyum-senyum sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Papanya Mayang dan mamanya Bima tuh pekerjaan mereka apa? kok mereka harus pindah ke sini,daerah terpencil,pantesan Bima gak suka,dia itu anak kota,,
2023-05-16
0
Anti Veryanty S
Mampir juga yah thor. Dukung novelku juga thor. 🙏🙏
2021-12-21
0
Quora_youtixs🖋️
mantab
2021-07-24
0