Namanya Bimantara

"Bimantara Arya Nugraha."

Begitu iya menatap lekat name tag di kemeja sekolah anak laki-laki itu. Namanya bagus, batin Mayang.

"Kenapa?" Bima menatap dingin dan berbicara ketus padanya.

"Nggak papa," jawab Mayang dengan gugup.

"Namanya bagus," kata-kata itu terlontar begitu saja. Mayang ragu akan kata-katanya, dan melirik reaksi Bima.

Tak disangka Bima menatapnya. Tetap dingin, lalu tersenyum sinis. Manis juga senyumnya, pikir Mayang.

"Aku nggak suka. Papaku yang ngasih nama."

"Kenapa?"

"Papaku pilot. Makannya namaku Bimantara. Bimantara itu artinya penguasa udara."

"Tapi kenapa nggak suka?"

"Soalnya aku benci Papaku. Aku nggak punya Papa. Anggap aja dia nggak ada. Dia ninggalin Mama, bikin Mama sakit. Nggak ngurusin aku sejak kecil. Buat apa punya Papa."

Bima berkata dengan cuek, tapi Mayang tahu, ada dendam dalam kata-katanya. Bima benci Papanya.

"Kalau bisa aku mau ganti nama hahaha," tawa Bima memecah lamunan Mayang tentang obrolan itu. Dia bisa juga tertawa, Mayang tersenyum dalam hatinya.

"Emang mau ganti nama siapa?" Mayang menopangkan dagunya menghadap Bima.

"John Lennon?" Bima tertawa pelan.

"Kamu suka The Beatles?" Sontak Mayang begitu mendengar nama vokalis legendaris itu disebut oleh Bima.

"Ya. Kamu juga?" Mata Bima berbinar, terlihat antusias. Jarang sekali dia menemui teman yang satu selera musik dengannya. Tatapan matanya mulai ramah dan penuh perhatian pada lawan bicaranya.

"Papaku paling suka. Beatles itu favoritnya. Dia punya banyak koleksi official merchandisenya, kaos band, poster, piringan hitam juga. Aku hafal banyak lagunya, karena Papa selalu dengerin itu di mobil, di rumah, di mana aja yang bisa muterin musik. Itu sejak aku kecil. Bayangin aja. Ya lama-lama aku jadi suka juga."

Bima menatapnya dengan sebongkah senyum. Hendak dimulainya percakapan lagi namun terhenti karena Guru memasuki ruangan.

Senin yang membosankan bagi Bima. Setelah perkenalan singkat tentang Mayang di kelas, pelajaran dimulai. Bima menguap sepanjang pelajaran berlangsung. Menatap tanpa minat ke arah papan tulis.

Begitu jam istirahat berbunyi, Mayang mengajak Bima ke kantin. Bima satu-satunya yang ia kenal di kelas itu. Bima asyik dengan ponselnya.

Mayang menoleh ke belakang. Sekumpulan anak perempuan berkerumun di meja belakang, terkikik sambil sesekali meliriknya. Mayang tahu, di sekolah lamanya, iapun tak punya banyak teman. Temannya cuma Tisya, kutu buku yang sering menjadi bahan bully karena badannya yang gemuk.

Mayang cantik, mungil. Umurnya 14. Wajahnya kekanakan tetapi paras cantiknya tak kalah seperti remaja sebaya di sekolahnya. Ibunya warga negara Jepang. Ayahnya Jawa asli. Mereka bertemu saat Papanya sedang menyelesaikan studi di Nagoya University. Papanya cerdas, berprestasi, sehingga sebelum kelulusannya dia sudah diincar berbagai perusahaan untuk bekerja. Papanya mengawali karirnya setelah menikahi Keiko, Mamanya Mayang. Namun usia pernikahannya tak lama. Keiko meninggal ketika melahirkan Mayang ke dunia.

"Banyak yang nggak suka kamu karena kamu cantik. Dan pintar," begitu kata Tisya suatu hari.

"Tapi yang cewek-cewek aja yang nggak suka sama aku, Sya. Yang cowok-cowok biasa aja kok," kata Mayang polos.

"Biasa gimana? Tuh," Tisya berkata sembari menunjuk dengan dagunya. Sekumpulan anak laki-laki meliriknya lalu pura-pura melihat ke arah lain saat Mayang melihat mereka.

"Yang cewek-cewek tambah nggak suka, karena cowok-cowok incaran mereka pada suka sama kamu," Tisya kembali menimpali.

Mayang jadi rindu Tisya, sahabatnya. Temannya ke kantin, perpustakaan, dan kemanapun selalu ada Tisya, Mayang tak pernah kesepian di sekolah. Tapi sekarang dia lapar, tadi pagi sarapannya terburu-buru karena Papanya harus segera ke kantor. Dan Bima satu-satunya yang ia kenal.

"Kamu laper? Makanan di kantin nggak enak. Kamu suka soto nggak?"

"Soto?" Mayang mengernyit heran.

"Iya, tapi di luar sekolah."

"Emang boleh ya kita keluar gerbang pas istirahat?"

"Boleh lah." Bima berkata enteng. Lalu beranjak dari kursi.

"Mau nggak?" Dia tidak menunggu jawaban Mayang, tapi langsung berjalan cepat menuruni tangga dan berjalan menuju gerbang. Mayang mengikutinya dengan langkah terburu-buru.

Bima berbadan tinggi tegap, langkahnya lebar-lebar.

"Bima, tunggu Bim."

"Pak saya mau makan ya. Enggak bolos kok. Beneran. Ini temen saya ikut."

Mayang hanya menatap bingung sambil menyimak percakapan antara Satpam berwajah seram itu dengan Bima. Tapi wajah seram Satpam itu berubah ramah ketika berbicara dengan Bima.

"Oke," dibukanya gerbang sekolah itu lalu mereka berdua berjalan menyusuri pagar sekolah. Di samping kanan-kiri jalan itu ditumbuhi pohon flamboyan yang sedang rontok daunnya.

"Emang jauh ya, Bim?"

"Enggak sih, itu di depan tendanya kelihatan. Biasanya aku naik motor sih. Tapi kan kamu tahu sekarang aku berangkat sekolah diantar Mamaku. Kayak anak TK," Bima tertawa pelan di akhir kalimatnya. Mentertawakan dirinya sendiri.

Mayang membalas dengan senyum. Tak disangka Bima melihat senyumnya saat menoleh ke belakang.

"Kenapa senyum? Ayo cepat," katanya sambil menarik tangan Mayang agar berjalan sejajar dengannya.

Warung tenda yang sotonya enak. Mayang menyeka keringat di dahinya setelah selesai makan. Tempatnya tak begitu ramai, hanya beberapa yang silih berganti membeli tapi dibungkus, tidak dimakan di tempat.

"Enak kan? Ramenya bentar lagi kalau jam makan siang kantor di seberang itu," ucap Bima sembari menunjuk sebuah Gedung Kedinasan wilayah itu.

"Udah yuk, aku yang bayarin," Bima tanpa menunggu rekasi Mayang bergegas membayar dan mengobrol akrab dengan Pak Slamet, nama penjual soto itu. Di spanduk warung tendanya tertulis besar-besar 'Soto Pak Slamet.'

Bima sepertinya tidak sedingin itu. Dia hanya dingin saat Mayang bertemu dengannya dan Mamanya tempo hari. Dia tampak ramah saat mengobrol dengan satpam sekolah dan Bapak penjual soto ini.

Mereka berjalan pelan beriringan menyusuri pagar sekolah kembali. Daun-daun kecil berguguran tertiup angin sepoi-sepoi.

"Makasih ya, Bim. Tadi udah dibayarin."

"Siapa bilang itu dibayarin. Nanti kamu gantian bayarin kalau makan di situ lagi."

"Hah?" Mayang nampak bingung. Bima tertawa pelan.

"Aku cuma bercanda," sambungya.

"Oh...," Mayang tampak seperti orang bodoh di hadapan Bima. Ia tak tau harus memulai obrolan apalagi. Ia kikuk. Pandangannya tentang Bima ternyata salah. Bima tidak sedingin itu.

"Tadi Bima bilang biasanya naik motor. Emang boleh ya bawa motor ke sekolah?"

"Boleh kok. Banyak yang bawa motor."

"Siapa? Anak-anak banyak yang bawa motor?"

"Bukan. Pak Kepala Sekolah yang bawa motor hahahahaha."

Mayang nampak semakin bingung.

"Ya banyak kok murid yang bawa motor ke sekolah."

"Ooh..., tapi Bima kan belum punya SIM."

"Punya. Siapa bilang nggak punya."

"Hah, emang iya?"

Bima menghentikan langkahnya lalu menatap Mayang agak menunduk. Bima memang tinggi, Mayang mungil sekali badannya.

"Kemarin pas ngobrol sama Mama kamu bilang kamu 14 tahun?"

"Iya..."

"Bima udah 19 tahun. Udah mau 20 malah."

Mayang tak berkedip. Lalu hanya terdengar bunyi Ooh panjang yang keluar dari mulutnya.

"Bima bohong ya?"

Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil KTPnya. Menunjukkannya pada Mayang.

"Bima harusnya udah kuliah. Ya karena DO beberapa kali, ganti sekolah, pindah lagi, ngulang lagi dari kelas 10."

"Kenapa?"

"Nggak suka sekolah. Bikin onar terus biar Mama dipanggil ke sekolah, biar dikeluarin. Biar Mama nyerah terus nerima aja kalau aku nggak mau sekolah. Tapi Mama nggak gampang nyerah sih. Hahaha."

Bima mengulurkan kartu itu ke tangan Mayang. Seukuran ATM, dia pernah lihat punya Papanya.

"Bimantara Arya. Lahir di Medan, tanggal..." Mayang membaca dalam hati lalu terhenti. Pandangannya tertuju pada tanggal dan bulan kelahiran Bima yang sama dengan tanggal kelahiran mendiang Ibnya. Tanggal yang setiap tahun ia rayakan bersama papanya dengan membeli mawar putih dan menaburkannya di bawah pohon. Mendiang Mamanya dikuburkan di pemakaman keluarga jauh di negeri seberang sana. Kata Papa, Mamanya suka sekali mawar putih. Dan Mamanya suka sekali dengan pohon. "Di setiap pohon di dunia ada Mamamu," begitu kata Papanya.

Tiba-tiba Mayang ingin menangis. Semenjak lahir dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang Mamanya. Hanya mengenalnya lewat foto-foto lama, diary lama Mamanya dan video singkat pernikahan Mama dan Papanya. Tapi dia seperti mengenal Mamanya lewat Papa. Papa menceritakan semua hal tentang mamanya seolah-olah mereka selalu bersama.

"Mayang? Mayang?" Bima berseru membuyarkan lamunan Mayang. Mengambil KTPnya lagi dari tangan Mayang dan memasukkannya ke dompet.

"Mayang nangis? Mayang????" Air mata Mayang terlanjur menggenang. Bima kebingungan.

"Mayang kenapa?" Digoyang-goyangkannya bahu Mayang dengan panik.

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

#Dendam mu

2023-05-16

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Kasihan sama mama kamu Bim,Dendam ku sama papa kamu,terus kenapa mama kamu yg jadi mangsa nya,harusnya kamu banggain tuh mama kamu,Tunjukkan ke papa kamu,kalo kamu bisa sukaes tanpa beliau..

2023-05-16

0

Eti Alifa

Eti Alifa

ceritanya bgs ko yg like sdkit ya...

2021-10-17

1

lihat semua
Episodes
1 Pertemuan Pertama
2 Namanya Bimantara
3 Surat Dari Kamayang
4 Buku Harian Mama
5 Luka Lama
6 Tentang Jakarta
7 Teman Baru
8 Rumah Bima
9 Bima Juga Punya Luka
10 Panggilan Mas
11 Luka Lama Mayang
12 Surat Curian
13 Maaf Untuk Papa
14 Kado Untuk Bima
15 Pacar Bima
16 Tentang Om Wira
17 Merekam Video
18 Surat dari Bagas
19 Merayu Tante Asti
20 Instagram Mayang
21 Bunga Untuk Mayang
22 Yang Untuk Sayang
23 Ingatan Masa Lalu
24 Kenangan Buruk Bima
25 Tempat Berkemah
26 Senja dan Nyanyian
27 Lilin Untuk Mayang
28 Pukulan Bagas
29 Satu Tenda Bersama
30 Lagu Favorit
31 Pertanyaan Pancingan
32 Deep Talk
33 Melukis Mimpi
34 Berbohong
35 Sebuah Kecurigaan
36 Tentang Surat
37 Sebuah Pengakuan
38 Kali Pertama
39 Jadian
40 Sebuah Renungan
41 Sembunyi-Sembunyi
42 Menduga-Duga
43 Rencana Mas Depan
44 Kencan Para Gadis
45 Cerita Tante Asti
46 Perjalanan Luar Kota
47 Obrolan Lelaki Dewasa
48 Kegelisahan Hati
49 Kecelakaan Besar
50 Kritis
51 Pernikahan
52 Pemakaman
53 Kehilangan
54 Memutar Memori
55 Demi Mayang
56 Pesan Mama
57 Bertemu Susi
58 Kunjungan Susi
59 Menemui Dokter
60 Notifikasi
61 Telepon Tisya
62 Rencana Pindah
63 Kelulusan dan Kencan
64 Nostalgia Sekolah
65 Berjalan ke Danau
66 Perjalanan ke Jakarta
67 Sampai Jakarta
68 Rumah Baru
69 Canggung
70 Tante Dian
71 Juno si Tetangga Baru
72 Ospek ( Lenon dan Marrie)
73 Musuh Baru
74 Berdua di Rumah
75 Conan Dan Juno
76 Cemburu
77 Bertemu Tisya
78 Ragusa
79 Detektif Tisya
80 Baikan
81 Kedatangan Om Wira
82 Ajakan Juno
83 Konser Musik
84 Radhito
85 Hujan dan Kebasahan
86 Juno dan Tisya
87 Kunjungan Tisya
88 Membagi Rahasia
89 Rayuan Juno
90 Kembali ke Kaki Gunung
91 Mati Lampu
92 Bibi Jauh
93 Keira Sato
94 Ziarah dan Mantan
95 Anniversary
96 Jakarta dan Hati yang Kalut
97 Email dari Tokyo
98 Pria Masa Lalu
99 Oba Chan
100 Tanda Tangan Kontrak
101 Bujukan Rangga
102 Rencana Berpisah
103 Hubungan Diam-Diam
104 Kecurigaan Bima
105 Long Distance Relationship
106 Cemburu Jarak Jauh
107 Cinta Segitiga
108 Salah Paham Lagi
109 Memata-matai Mama
110 Meluruskan Salah Paham
111 Ego dan Hati
112 Si Sakit
113 Rumah Sakit Lagi
114 Berbohong
115 Peristiwa Tengah Malam
116 Pukulan Untuk Juno
117 Rencana Juno
118 Ulang Tahun
119 Kejutan untuk Mayang
120 New Idol
121 Bertemu Mertua
122 Kejutan yang Mengejutkan
123 Amarah
124 Perpisahan
125 Akhir Cerita
Episodes

Updated 125 Episodes

1
Pertemuan Pertama
2
Namanya Bimantara
3
Surat Dari Kamayang
4
Buku Harian Mama
5
Luka Lama
6
Tentang Jakarta
7
Teman Baru
8
Rumah Bima
9
Bima Juga Punya Luka
10
Panggilan Mas
11
Luka Lama Mayang
12
Surat Curian
13
Maaf Untuk Papa
14
Kado Untuk Bima
15
Pacar Bima
16
Tentang Om Wira
17
Merekam Video
18
Surat dari Bagas
19
Merayu Tante Asti
20
Instagram Mayang
21
Bunga Untuk Mayang
22
Yang Untuk Sayang
23
Ingatan Masa Lalu
24
Kenangan Buruk Bima
25
Tempat Berkemah
26
Senja dan Nyanyian
27
Lilin Untuk Mayang
28
Pukulan Bagas
29
Satu Tenda Bersama
30
Lagu Favorit
31
Pertanyaan Pancingan
32
Deep Talk
33
Melukis Mimpi
34
Berbohong
35
Sebuah Kecurigaan
36
Tentang Surat
37
Sebuah Pengakuan
38
Kali Pertama
39
Jadian
40
Sebuah Renungan
41
Sembunyi-Sembunyi
42
Menduga-Duga
43
Rencana Mas Depan
44
Kencan Para Gadis
45
Cerita Tante Asti
46
Perjalanan Luar Kota
47
Obrolan Lelaki Dewasa
48
Kegelisahan Hati
49
Kecelakaan Besar
50
Kritis
51
Pernikahan
52
Pemakaman
53
Kehilangan
54
Memutar Memori
55
Demi Mayang
56
Pesan Mama
57
Bertemu Susi
58
Kunjungan Susi
59
Menemui Dokter
60
Notifikasi
61
Telepon Tisya
62
Rencana Pindah
63
Kelulusan dan Kencan
64
Nostalgia Sekolah
65
Berjalan ke Danau
66
Perjalanan ke Jakarta
67
Sampai Jakarta
68
Rumah Baru
69
Canggung
70
Tante Dian
71
Juno si Tetangga Baru
72
Ospek ( Lenon dan Marrie)
73
Musuh Baru
74
Berdua di Rumah
75
Conan Dan Juno
76
Cemburu
77
Bertemu Tisya
78
Ragusa
79
Detektif Tisya
80
Baikan
81
Kedatangan Om Wira
82
Ajakan Juno
83
Konser Musik
84
Radhito
85
Hujan dan Kebasahan
86
Juno dan Tisya
87
Kunjungan Tisya
88
Membagi Rahasia
89
Rayuan Juno
90
Kembali ke Kaki Gunung
91
Mati Lampu
92
Bibi Jauh
93
Keira Sato
94
Ziarah dan Mantan
95
Anniversary
96
Jakarta dan Hati yang Kalut
97
Email dari Tokyo
98
Pria Masa Lalu
99
Oba Chan
100
Tanda Tangan Kontrak
101
Bujukan Rangga
102
Rencana Berpisah
103
Hubungan Diam-Diam
104
Kecurigaan Bima
105
Long Distance Relationship
106
Cemburu Jarak Jauh
107
Cinta Segitiga
108
Salah Paham Lagi
109
Memata-matai Mama
110
Meluruskan Salah Paham
111
Ego dan Hati
112
Si Sakit
113
Rumah Sakit Lagi
114
Berbohong
115
Peristiwa Tengah Malam
116
Pukulan Untuk Juno
117
Rencana Juno
118
Ulang Tahun
119
Kejutan untuk Mayang
120
New Idol
121
Bertemu Mertua
122
Kejutan yang Mengejutkan
123
Amarah
124
Perpisahan
125
Akhir Cerita

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!