Mayang Dan Bima
Pertemuan pertama Bima dan Mayang.
Namanya Pak Dibyo, gadis itu membaca nama dari name tag di kemeja batiknya. Dia mempersilahkan untuk menunggu di ruangan yang penuh piala-piala dan berbagai piagam berbingkai yang terpasang rapi di tembok berwarna putih gading.
"Bapak, mohon maaf menunggu sebentar ya. Pak Kepala Sekolah ada rapat mendadak dengan Kepala Dinas. Sebentar kok, Pak."
"Ya, Pak. Terimakasih, mohon maaf saya ingin menumpang ke kamar mandi sebentar," Papa menepuk pundak Mayang sambil berlalu.
"Mayang, Papa ke kamar mandi sebentar ya."
"Mari, Pak saya antar. Sebelah sini."
Papa mengikuti langkah Pak Dibyo menuju lorong yang asing bagi Mayang. Dia pindah sekolah lagi, lagi-lagi karena pekerjaan Papanya.
Diamatinya satu-persatu piala-piala itu. Juga foto tim paskibra yang memegang piala kemenangan, terpajang di tengah-tebgah puluhan piala mengkilat itu. Dia kurang tertarik pada eskul sekolah lamanya. Sepertinya seru, begitu ia berkata dalam benaknya ketika mengamati foto tim volley perempuan yang memegang piala.
Lamunan Mayang terhenti seketika. Di depan ruangan tempatnya menunggu terdengar keributan. Mayang memasang telinganya penasaran. Siapa gerangan? Saat ia menoleh ke belakang terlihat seorang laki-laki berseragam putih abu-abu acak-acakan mengambil ranselnya dengan kesal.
Jadi suara berisik tadi suara ransel yang dibanting ke lantai, pikir Mayang.
"Sekali ini kamu dengarkan Mama, Bim. Mama capek tiap hari ditelpon Guru kamu terus."
"Udah Bima bilang, Ma. Bima nggak mau sekolah." Bima masuk ruangan dengan kesal, lalu menjatuhkan tasnya di meja dengan kasar. Ia menarik kursi di sebelah Mayang dan duduk dengan gusar.
Perempuan yang dipanggil Mama itu masuk ruangan dengan raut wajah kesal juga, namun ekspresi mukanya berubah saat melihat Mayang duduk di ruangan itu juga. Mereka saling tatap. Mayang dengan raut wajah penuh ketidakmengertian. Mengapa mereka bertengkar, pikirnya.
"Hallo, kamu dipanggil juga oleh Kepala Sekolah?" Perempuan itu terlihat heran. Mengamati Mayang dari ujung kepala hingga ujung sepatunya. Pikirnya, anak ini terlihat seperti anak baik-baik, tidak seperti Bima dipanggil ke ruangan ini karena kebandelannya.
"Oh, saya murid pindahan Tante." Mayang menjawab cepat. Membuat raut muka perempuan itu berubah.
"Oh, begitu."
"Iya, Papa saya di kamar mandi sebentar."
Bima melirik singkat. Baginya, obrolan Mamanya dengan anak perempuan ini tidak menarik sama sekali. Di kepalanya hanya ada satu hal. Dia ingin pergi. Dia tidak mau sekolah.
"Saya Mamanya Bima." Dijulurkannya tangan itu dengan ramah. Mayang menyambutnya.
"Ini Bima anak saya. Pindah juga sejak sebulan yang lalu. Tapi dia cuma masuk sekolah 10 hari. Nggak tau kemana perginya. Kayaknya Tante harus ngikutin dia sampai gerbang sekolah biar dia nggak kabur."
Mayang hanya bisa tersenyum tipis. Bingung hendak menimpali obrolan itu. Diamatinya perempuan itu. Mungkin seusia Papanya. Dia cantik, penampilannya terlihat elegan. Bahkan Mayang pikir terlalu muda untuk menjadi Ibu dengan anak seusia Bima.
"Pasti kamu kelas 10. Kamu kayak masih SMP ya, masih kecil banget kelihatannya pakai seragam SMA," ujar perempuan itu sembari menarik kursi di samping Bima dan duduk dengan menyilangkan kakinya ke samping dengan anggun. Matanya menghadap Mayang dengan wajah tertarik.
"Enggak, Tante. Saya kelas 12."
Perempuan itu menatap heran, antara kagum dan penuh tanya dalam benaknya.
"Saya14 tahun, Tante. Ikut kelas akselerasi semenjak Sekolah Dasar. Jadi saya lebih cepat naik kelasnya.
Perempuan itu makin mencondongkan kepalanya ke arah Mayang. Terlihat kagum dan tertarik untuk mengobrol lebih jauh.
"Ya ampun, kamu masih muda, cantik, pintar lagi."
Tak berapa lama kemudian Papa Mayang kembali dari toilet. Terdengar suara langkah pelan menuju ruangan.
"Oh, ini Papa kamu," perempuan itu menoleh ke belakang. Berdiri dari duduknya dan bersiap menjabat tangan Papa Mayang.
Papa Mayang terlihat heran, namun menjabat tangan perempuan itu. "Oh iya, saya Papanya Mayang."
"Oh, namanya Mayang. Cantik sekali putrinya. Saya Mamanya Bima. Ini Bima anak saya, " katanya sembari menunjuk Bima yang duduk dengan cuek.
Bertepatan dengan momen perkenalan singkat itu, Pak Kepala Sekolah datang dan dengan ramah, meminta maaf karena mereka harus menunggu dikarenakan rapat mendadak yang harus ia hadiri, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk ke ruangannya.
Sepanjang percakapan dengan Kepala Sekolah, Mayang beberapa kali melirik ke arah Bima. Mengamati anak lelaki itu. Terlihat dingin, tatapannya tajam, kurang ramah dan sedikit menyeramkan.
Dari percakapan itu pula Mayang tahu. Bima membolos sepanjang minggu. Yang Mamanya tahu, dia pergi ke sekolah, berangkat dari rumah dengan seragamnya, pulang saat jam pulang sekolah. Entah kemana perginya anak itu. Dia tidak bergeming saat ditanya, hanya menatap kosong ke depan. Mamanya berjanji akan meluangkan waktunya setiap pagi untuk mengantar Bima, sampai ia yakin Bima masuk ke sekolah dan tidak membolos.
Mama Bima mengucapkan terimakasih berkali-kali. Dia tahu, kesalahan Bima sudah fatal. Sulit sekali menemukan sekolah baru yang mau menerima Bima, mengingat track record kelakuan Bima selama dia sekolah. Entah sudah berapa ruangan Kepala Sekolah yang Mamanya sambangi sepanjang tahun, entah sudah berapa banyak keluh kesahnya mengahadapi tingkah Bima.
"Terimakasih, Pak atas bantuannya.Terimakasih sudah memberi Bima kesempatan. Saya sudah berusaha sejauh ini dengan bersusah payah sampai dia kelas 12. Saya cuma ingin anak saya lulus sekolah. Saya janji, saya akan bekerja sama dengan baik untuk Bima, demi Bima sekolah dengan benar." Raut wajahnya terlihat serius namun menyimpan kekhawatiran yang besar.
Dari pertemuan itu, disimpulkan bahwa Mayang dan Bima akan ditempatkan di satu kelas. Karena untuk mempermudah administrasi sekolah karena dokumen murid pindahan harus segera disusun menjelang semester terakhir menuju Ujian Kelulusan nanti.
"Bima dan Mayang bisa masuk sekolah mulai Senin nanti ya. Sabtu ini jam pelajaran dipersingkat karena jam 11 nanti akan ada pembersihan di keseluruhan area sekolah oleh Dinas Kesehatan setempat. Jadi anak-anak akan pulang lebih cepat.".
"Dan untuk Bima, saya akan memberitahukan pada wali kelas kalau kamu mendapat perhatian khusus sepanjang semester ini. Kamu diwajibkan duduk sebangku dengan Mayang di barisan depan. Agar Guru menaruh perhatian lebih pada perkembangan kamu. Dan mungkin dengan adanya Mayang akan terbantu. Mayang siswa yang cerdas dan berprestasi. Selamat bergabung dengan sekolah kami ya, Mayang."
Pak Kepala Sekolah menjabat tangan semua dengan ramah dan mempersilahkan kembali. Mama Bima dan Papa Mayang terlihat asyik mengobrol di sepanjang lorong menuju tempat parkir. Mayang dan Bima mengikuti langkah mereka di belakang. Sesekali Mayang melirik Bima. Bima tetap dingin dan menatap tajam ke depan.
Sebelum memasuki mobil masing-masing, terlihat kedua orang tua itu saling bertukar nomer ponsel. Mereka terlihat akrab sekali, cukup akrab untuk orang yang baru pertama kali bertemu.
"Maafin Papa yang, Mayang. Sayang sekali kamu harus ikut Papa. Tapi kamu lihat sendiri kan, sekolah ini lumayan bagus, walaupun bukan sekolah favorit seperti sekolah lamamu. Semoga Mayang betah dan punya banyak teman. Oke?"
Mayang hanya diam, menatap jalanan di depannya yang berkelok-kelok. Sambil sesekali menimpali obrolan papanya dengan jawaban singkat.
Mayang tahu. Ia tergolong sulit mempunyai teman. Kepindahannya membuatnya khawatir. Sekolah ini berbeda, berada di daerah pinggiran yang jauh dari Kota Kabupaten sekalipun. Jauh berbeda dengan sekolahnya di Ibukota sana. Daerah sini benar-benar jauh dari kehidupan kota. Di belakang rumah barunya, pepohonan rindang dengan background gunung menjulang tinggi. Ia bisa melihat sawah dan jalanan berkelok-kelok dari halaman rumahnya. Seperti lukisan, begitu batin Mayang saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu.
Mobil melaju. Sementara Mayang larut dalam pikirannya sendiri. Sebentar lagi ulang tahunnya yang ke 15. Harusnya dia bahagia. Tapi semenjak ia paham, ulang tahun adalah hal paling menyedihkan baginya.
"Nah sudah sampai. Ayo turun," perkataan Papanya membuyarkan lamunan Mayang.
Mayang menghembuskan nafas panjang dan menutup pintu mobil. Udara di sini terlalu sejuk, lebih ke dingin yang menusuk hidungnya. Dia melihat ke arah pohon kapuk di samping rumahnya. Tinggi, menjulang dan rindang sekali.
"Pohon itu rumah Mama. Di setiap pohon di dunia, ada Mama kamu," begitu kata-kata yang ia cerna semenjak kecil. Papanya yang bilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Eti Alifa
kelihatannya bgs😊
2021-10-17
1
💜 Cindy Cantik 💜
nemu novel ini rekom dr ig, mampirrrrr.... trnytaa awal yg menariikk 😍😍😍
2021-10-15
1
Marni Yulis Marni
baru mampir thor di novel author...semangat trus ya thor
2021-09-03
1