Bab 3

"Kenapa Ibu dan Fatan nggak diajak tinggal sini aja?" tanya Sadewa. "Rumah kalian banyak kamar kosong, kan?" tanyanya lagi.

"Ibu nggak mau. Udah nyaman tinggal di kampung katanya," jawab Dea.

"Hoam ... kenyang." Nakula mengelus perutnya yang sesak karena sedikit kekenyangan. Hanya sedikit kok, tidak sampai benar-benar kekenyangan.

"Habis ini kalian mau pulang?" tanya Sadewa sambil menatap adik dan iparnya bergantian.

Baik Nakula dan Dea sama-sama mengangguk.

"Gimana kalau kita main-main dulu. Dea belum lama di Jakarta, kan? Pasti masih banyak tempat yang belum dikunjungi." Sadewa meminta persetujuan dari keduanya.

"Mau ke mana emangnya?"

Yang bertanya itu adalah Nakula. Dia merasa ajakan kakaknya ini tidak lazim. Biasanya sang kakak tidak pernah mengajaknya jika ingin main.

"Ke kelab, misalnya." Sadewa menjawab santai.

Nakula melotot tajam. "No! Otak Dea masih bersih. Jangan lo kotori pake kebiasaan buruk lo!" omel Nakula kesal.

"Aku nggak suka kelab, Kak. Berisik. Sakit kepalaku denger musik berdentam-dentum keras banget," sahut Dea penuh ketidak minatan.

"Yah ... padahal tujuan gue ngajak kalian ke sana supaya kalian bisa bantuin gue nyari cewek." Sadewa mendesah kecewa.

"Lagian gue bingung sama lo. Tinggal nolak aja apa susahnya, sih? Pake acara nyari cewek lain untuk dijadiin tumbal segala. Kalau tuh cewek yang lo jadiin tumbal baper dan bener-bener jatuh cinta sama lo gimana? Lo mau tanggung jawab sama perbuatan lo?"

Nakula ceramah panjang kali lebar. Percayalah. Walaupun Nakula anak bungsu. Tapi dia adalah satu-satunya anak yang paling dewasa dari segi pemikiran. Tiga kakaknya sama saja. Sama-sama kekanak-kanakan. Apalagi kalau sudah bicara soal perempuan.

Itulah sebabnya Nakula sudah menikah. Sementara ketiga kakaknya masih betah lajang. Apalagi Bima sang kakak pertamanya, kerjanya tiap bulan ganti pacar.

Sementara Arjuna sang kakak kedua. Terlihat tidak tertarik pada perempuan. Seperti ada tanda-tanda tidak tertarik pada perempuan. Tapi Arjuna selalu berdo'a semoga kakaknya tidak seperti itu.

"Kalau gue jadi lo, nggak suka ya bilang nggak suka. Gampang, kan." Nakula masih betah mengomel.

"Hais! Lo ngeselin banget sih. Udah gue bilang, gue capek nolak dia. Dia ngejar-ngejar gue mulu." Sadewa bicara dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi. Seolah-olah perempuan itu benar-benar cinta mati padanya.

"Emang ada perempuan yang kayak gitu, Kak?" tanya Dea takjub.

"Ada. Mantan gue," jawab Sadewa malas.

Mendengar jawaban kakaknya, Nakula hanya mengedikkan bahunya acuh. Terserah kakaknya sajalah, dia malas ikut campur urusan percintaan orang lain. Dia hanya akan fokus pada percintaannya sendiri.

"Eh ... kenapa Dea nggak kerja di rumah sakit tempat Mama Papa kerja? Kan itu nggak terlalu jauh dari rumah kalian. Kalian bisa minta tolong Papa Mama untuk melobi atasan." Sadewa mengalihkan pembicaraan.

"Nepotisme!" Dea bergidik ngeri sambil geleng-geleng kepala.

"Gue sama Dea nggak demen KKN. Korupsi, kolusi dan Nepotisme. Lagian Mama Papa nggak mungkin mau bantuin, lo kira itu rumah sakit punya mereka," sahut Nakula.

"His! Kalian ini loh. Sok bersih. Jaman sekarang curang-curang dikit ya nggak papa." Sadewa masih dengan pemikirannya dan sedang menghasut adik dan iparnya.

"Itu lo. Gue sama Dea enggak."

"Ya ya ya ... baiklah. Terserahlah." Pada akhirnya Sadewa menyerah karena tidak berhasil menghasut keduanya.

Nakula mengedikkan bahunya acuh. Laki-laki itu sedang menghabiskan sisa minuman yang ada di gelasnya.

"Gue mau cabut duluan. Kali ini gue yang traktir," kata Sadewa seraya memanggil pelayan dan meminta bil.

"Hah? Serius? Tumben lo baik." Nakula menatap kakaknya tak percaya.

"Gue selalu baik tiap hari. Lo aja yang nggak pernah sadar."

Setelah Sadewa membayar makanan, laki-laki itu langsung pamit pulang duluan. Dan sekarang, hanya tinggal sepasang pengantin baru saja di sana.

"Kak Dewa aneh, ya?" Dea tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

"Kamu harus percaya. Kalau diantara empat anak laki-laki di keluargaku, hanya aku yang paling waras."

"Ya, aku percaya itu," sahut Dea masih dengan tawanya.

Tak lama setelah Sadewa pulang, Nakula dan Dea juga pulang. Kebetulan sekali letak restoran Thailand tersebut tidak jauh dari rumah mereka. Sehingga tak sampai dua puluh menit, mereka sudah sampai di rumah.

Rumah itu tidak ada asisten rumah tangga. Waktu dulu Nakula masih lajang, dia hanya akan memanggil petugas kebersihan via daring seminggu sekali.

Untuk urusan menyapu rumah, dia melakukannya sendiri. Untuk pakaian, dia mencucinya sendiri. Toh hanya tinggal di masukkan mesin saja.

Kalau untuk menyetrika, kadang setrika sendiri. Tapi kadang juga memakai jasa laundry. Dan untuk makan, lebih sering ia memasak sendiri. Dan kalau sedang lelah memasak, dia akan membeli makanan di luar.

🍄🍄🍄

Siang ini Nakula sengaja datang ke rumah sakit untuk mengajak Dea makan siang bersama. Ia membawa rantang tupperware berisi menu buatannya sendiri. Martabak dan kari India.

Nakula merasa yakin Dea akan menyukai makanan buatannya ini. Karena Dea pernah mengatakan kalau ia suka makanan dengan rempah-rempah yang kuat. Selain itu, Dea menyukai makanan apa saja.

Nakula sudah mengabari Dea, dan saat ini ia sudah ada di parkiran rumah sakit. Mereka berencana makan siang di dalam mobil saja, setelah itu akan shalat dzuhur di mushola rumah sakit.

Kata Dea, perempuan itu sedang otw menuju parkiran. Oleh karena itu, Nakula memutuskan untuk keluar mobil. Ia ingin menyambut istrinya dengan senyum paling manis.

Tiba-tiba saja pandangan mata Nakula tertuju pada seorang laki-laki yang berjalan mendekati mobil sebelah Nakula parkir. Laki-laki itu adalah laki-laki yang pernah dia lihat tertawa bersama Dea. Bahkan mereka sempat bertukar nomor telepon.

Ya, Nakula masih ingat dengan jelas wajah laki-laki sialan itu. Mana mungkin ia amnesia dadakan? Ingatannya masih sangat kuat.

"Ehem ...." Nakula berdehem.

Laki-laki itu hanya menoleh sebentar dan masuk ke dalam mobilnya, setelah itu pergi bersama mobil putih miliknya.

"Hai, udah sampe dari tadi?" sapaan Dea mengagetkan Nakula, laki-laki itu segera menoleh ke arah sumber suara.

"Eh, kamu udah sampe? Ayo masuk." Nakula membukakan pintu mobilnya di bagian depan penumpang sebelah kiri.

"Ya ampun, aku jadi merasa kayak ratu." Dea terkekeh.

"Kamu memang ratu. Ratu di hati aku," sahut Nakula serius. Ia lalu memutar ke sebelah kanan, setelah itu masuk ke dalam mobil.

Seperti dugaan Nakula, Dea menyukai masakannya. Tak butuh waktu lama, makanan tersebut sudah habis. Mereka menurunkan isi perut sebentar, setelah itu barulah pergi ke mushala.

Tadi Dea menawarkan pada Nakula agar mereka makan di taman rumah sakit saja. Tapi Nakula menolak, ia ingin makan di dalam mobil saja. Menurutnya itu romantis.

🍄🍄🍄

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!