Bab 2

"Tadi itu siapa?" tanya Nakula pada istrinya saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Oh ... itu temen," jawab Dea santai.

"Temen?"

"Temen kuliah," jawab Dea.

Nakula mengangguk paham. Dia tak berniat menginterogasi lebih lanjut. Sejak memutuskan untuk menikahi Dea, laki-laki itu sudah berjanji pada dirinya sendiri akan percaya seratus persen pada istrinya. Semoga saja dia bisa konsisten dengan janjinya itu.

"Kamu laper, nggak?" tanya Nakula sambil menoleh ke arah Dea.

"Emm ... iya. Tapi aku pingin makan makanan Thailand," jawab Dea.

"Kamu suka makanan Thailand?"

"Aku suka semua makanan," sahut Dea sambil terkekeh.

Nakula melajukan mobilnya ke sebuah restoran Thailand yang pernah beberapa kali di kunjunginya. Setiap dia datang ke restoran Thailand, pasti selalu bersama Sadewa. Kakaknya itu penggila masakan Thailand.

"Besok kamu masih bisa antar jemput aku, kan?" tanya Dea sambil menoleh ke arah suaminya.

"Pasti dong. Aku pasti akan nganter jemput kamu, meskipun kamu nggak minta," jawab Nakula.

Dea tersenyum senang mendengar jawaban suaminya. Perempuan itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam.

Agaknya perempuan itu sangat lelah. Tak butuh waktu lama ia sudah berkelana ke alam mimpi. Nakula menduga, mungkin istrinya itu kecapekan karena terlalu lelah bekerja.

Nakula sengaja membiarkan istrinya tidur. Kalau sudah sampai, barulah ia akan membangunkan istrinya itu.

Setelah berkendara beberapa menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Nakula iseng meniup pipi istrinya, tapi istrinya itu tak bergeming. Masih nyenyak tertidur.

"Sayang, bangun." Nakula menepuk-nepuk lengan Dea dengan lembut.

Perlahan-lahan Dea membuka matanya. Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

"Sudah sampe, ya?" tanya Dea sambil melihat sekeliling.

"Iya. Ayok, turun," ajak Nakula dan di-angguki oleh Dea.

Keduanya lalu masuk ke dalam restoran tersebut. Menjelang menu yang dipesan datang, mereka duduk sambil melihat sekeliling. Bukan maksud untuk jelalatan, tapi mereka sedang mengagumi interior bangunan tersebut.

"Interiornya keren," puji Dea lirih.

"Setuju," sahut Nakula.

Restoran tersebut mengusung tema monokrom. Kebetulan sekali mereka berdua pecinta monokrom, jadi restoran yang sebenarnya biasa saja itu jadi terlihat mewah di mata mereka.

"Hai, Nak, Dea."

Sapaan tak terduga itu membuat Nakula nyaris jantungan. Sadewa, tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan adiknya. Oke ini berlebihan, Nakula tidak nyaris jantungan kok. Ia hanya kaget biasa saja.

"Gue ikut duduk di sini, ya." kata Sadewa sambil menatap adik dan iparnya.

Baik Nakula dan Dea sama-sama mengangguk. Mereka sama sekali tidak keberatan berbagi meja dengan Sadewa, sang kakak yang berprofesi sebagai vokalis band terkenal.

"Kak Dewa dari mana?" tanya Dea basa-basi.

"Dari studio. Laper banget jadi langsung mampir ke sini," jawab Sadewa sambil melambaikan tangan ke arah waiters.

Kakak dari Nakula itu lalu memesan menu. Setelah memesan menu, mereka lanjut mengobrol lagi.

"Nak, lo bener-bener nggak ada cewek?" tanya Sadewa dengan tampang memelas.

"Maksudnya, Kak?" tanya Dea tidak nyaman. Kata 'cewek' menganggu pendengarannya.

Sadar akan kesalahannya, Sadewa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jadi gini, Dea. Gue lagi nyari cara agar mantan gue nyerah."

"Maksudnya?" Dea mengerutkan keningnya dalam.

"Jadi gini. Gue punya mantan. Dia ngajak balikan, tapi gue nggak mau. Udah gue tolak, tapi dia masih kekeuh. Bingung gue. Gue minta cariin cewek sama Nakula, tapi dia nggak punya. Lo punya temen cewek nggak, De?"

"Hais! Lo kan bisa nyari di aplikasi dating. Gua sama Dea juga kenalnya di aplikasi dating," sahut Nakula dengan malas.

Pembicaraan ketiganya terjeda sejenak karena waiters mengantarkan makanan yang mereka pesan.

"Sambung nanti lagi debatnya. Gue beneran laper," kata Sadewa dengan air liur yang sudah mulai mengalir. Dia sudah tak sabar untuk menikamati makanan di depannya.

Pada saat mereka hendak menyantap makanan, ketiganya dikejutkan dengan datangnya segerombolan perempuan.

"Kak Dewa, minta foto, boleh?" tanya salah seorang perempuan berambut sebahu.

Dengan terpaksa Sadewa mengangguk. Dia tidak tega mengecewakan fans-nya. Walaupun sebenarnya ia kesal, tapi ia tetap tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.

Nakula dapat melihat ekspresi kesal kakaknya. Tapi kakaknya itu mati-matian menahan kesal. Dia sudah paham dengan sifat sang kakak. Kakaknya itu pantang diganggu saat makan. Tapi saat yang menganggu adalah fans-nya, kakaknya itu tak punya pilihan.

"Kak Dewa, boleh minta ucapan ulang tahun, nggak? Nama aku Fani. Besok aku ulang tahun," kata seorang perempuan berambut ikal sepunggung.

Sadewa hanya mengangguk kaku. Dia lalu mengucapkan sebuah kalimat selamat ulang tahun dengan manis di depan kamera ponsel yang dipegang gadis bernama Fani.

"Yeay ... makasih ya, Kak." Fani jingkrak-jingkrak saking senangnya.

Tiga gadis tersebut pergi setelah mendapatkan apa yang mereka mau. Menurut Nakula, kira-kira mereka seusia SMA. Belasan tahun.

"Kenapa nggak minta nomer salah satu cewek tadi? Biar lo nggak susah payah nyari cewek buat manas-manasin mantan lo," cibir Nakula.

"Gue bilang debatnya nanti aja. Gue laper berat." Sadewa segera mengisi perutnya dengan makanan lezat tersebut. Dia harus cepat, sebelum fans-nya yang lain menemukannya. "Gue harus buru-buru makan, bisa gawat kalau fans gue yang lain dateng. Bisa keroncongan perut gue."

"Pelan-pelan Kak Dewa. Ntar kesedak, loh."

Belum sempurna bibir Dea tertutup. Sadewa sudah tersedak. Laki-laki itu buru-buru mengambil air putih dan meminumnya dengan pelan.

"Sukurin. Makanya makan hati-hati," kata Nakula.

"Ah, kalian kayak Tom and Jerry. Jadi kangen adikku di kampung. Kami juga biasanya kayak kalian. Huhuhu ... Fadhil." Dea menerawang ke langit-langit restoran.

"Yang ... kamu nggak papa?" Nakula menepuk tangan Dea dengan lembut.

"Aku kangen Fadhil," lirih Dea.

"Besok kalau kita ada libur, kita pulang kampung, ya." hibur Nakula.

Dea mengangguk saja.

Fadhil adalah adik bungsu Dea yang baru berusia lima tahun. Bocah laki-laki itu sangat lucu dan emosian. Dea dan Fadhil sering berantem hanya gara-gara hal sepele.

Nakula tahu, yang membuat Dea sedih bukan hanya perkara kangen. Tapi juga keadaan adiknya di sana.

Dea memiliki dua orang adik. Yang satu masih kuliah di Yogyakarta. Dan yang terkahir Fadhil si bocah lima tahun.

Ayah Dea sudah meninggal. Dan sang ibu harus mengurus Fadhil sendirian. Selain mengurus Fadhil, ibunya juga harus mencari nafkah. Pasti Dea sedih gara-gara itu.

🍄🍄🍄

Hai readers 🖐️

Aku cuma mau ngasih tau. Dea ini ada muncul di novel yang judulnya: SUAMIKU BRONDONG. Boleh mampir ke cerita itu terlebih dahulu, karena cerita itu sudah tamat. Tapi kalau kalian nggak mau baca SUAMIKU BRONDONG juga nggak papa. Bisa banget langsung baca ini aja.

Happy reading 🥰

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!