[Aku akan terus menganggumu. Jadi, jangan coba-coba lari dariku. —Hope Miller]
“Ehm… maaf jika aku salah bicara,” ujar Hope memecah keheningan yang membuatnya canggung. “Pokoknya kau harus menghabiskan sup buatan kakekku ini.” Hope berjalan cepat memasuki rumah Blue untuk mencari ruang makan untuk meletakkan sup yang sudah nyaris mendingin ini.
Hope menghentikan langkahnya di depan sebuah kalender yang diberi lingkaran merah cukup besar pada tanggal 27 Desember. “Apa kau menandai tanggal ulang tahunmu? Atau kau berniat bepergian pada tanggal 27 Desember?” tanya Hope sambil menunjuk ke arah kalender yang melekat di dinding rumah Blue.
Blue yang baru saja berhasil menyusul Hope dan berniat menariknya keluar, tiba-tiba arus menghentikan langkahnya. Ia menghembuskan napasnya lelah. Gadis di hadapannya ini benar-benar suka ikut campur. Matanya mengikuti arah pandang Hope. Tanggal yang dilingkari merah. Waktu yang ia pilih untuk mengakhiri hidupnya.
“Ya. Memang benar itu tanggal ulang tahunku dan benar juga aku akan bepergian pada hari itu,” ucap Blue dengan suara datar tanpa emosi.
Hope menolehkan wajahnya ke arah Blue dan menatap Blue dengan mata berbinar. “Wah… kemana kau akan pergi? Aku selalu ingin bepergian keluar dari Inggris,” komentar Hope dengan senyum cerahnya.
“Aku akan pergi ke surga.”
Hope mengerutkan dahinya. “Surga? Kau akan pergi ke Malibu? Orang-orang bilang Malibu merupakan dataran yang nampak terliat seperti surga. Aku juga ingin ke sana suatu saat nanti. Sayangnya aku baru saja dipecat—“
Blue menyunggingkan senyum sinis dan mengejek ke arah Hope. Membuat Hope menghentikan ocehan panjangnya. “Tidak, Miller. Aku akan benar-benar pergi ke surga,” Blue mengarahkan jari telunjuknya keatas, “aku akan mengakhiri hidupku pada hari itu,” ucap Blue dengan santai. Seolah-olah mengakhiri hidup adalah sesuatu yang lazim.
Hope terperangah mendengarkan penjelasan Blue. Matanya menyipit menyelidik tiap jengkal wajah Blue. “Apa dia psikopat?” gumam Hope yang tanpa sadar menyuarakan pikirannya sendiri. bagaimana mungkin ada orang yang dengan santainya membicarakan tentang rencana kematiannya dengan santai?
Pernyataan Hope membuat Blue terkekeh. Entahlah, Blue bahkan lupa kapan terakhir kali ia tertawa. Tapi, gadis konyol di hadapannya ini benar-benar menggelikan. Bagaimana mungkin ia mencurigai Blue sebagai seorang psikopat?
“Kau terlalu banyak mengkonsumsi film,” komentar Blue, “pada akhirnya aku juga akan mati. Aku hanya mempercepat waktunya saja.”
“Aku pun pada akhirnya juga akan mati. Semua orang juga aka mati pada akhirnya. Aku tidak tahu seberat apa hidup yang kau jalani, tapi—"
“Aku pengidap HIV.”
Pernyataan Blue seketika membuat Hope terdiam. Gadis cerewet tersebut tiba-tiba bungkam. Blue meniti wajah Hope yang nampak berpikir. Kepalanya menunduk. Blue menaikkan salah satu sudut bibirnya.
“Lihatlah sebentar lagi dia dan kakeknya pasti akan menjauhiku,” batin Blue. “Kau sudah tahu faktanya. Sekarang, kau pasti takut padaku bukan? Jadi, pergilah dari hadapanku sebelum aku menularkan penyakit ini kepadamu dan kakekmu.” Blue kembali menyunggingkan senyum sinisnya. “Setelah ini kau dan kaekakmu pasti akan berpikir hingga ribuan kali untuk mengantarkan makanan kepadaku.”
Hope meletakkan mangkuk sup di atas nakas. Langkahnya berderap cepat menghampiri Blue. Tanpa disuga ia malah memeluk erat tubuh Blue. Respon yang tidak pernah Blue duga sebelumnya.
Blue berusaha melepaskan pelukkan Hope. “Apa yang kau—“
“Pasti berat,” ujar Hope sambil mengelus pelan punggung Blue. Seketika tangan Blue membeku di udara. Pelukkan Hope rasanya menenangkan. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali seseorang meperlakukannya seperti ini. semua teman yang ia miliki adalah teman-teman palsu dengan hubungan yanng palsu pula. Begitu pun dengan pacarnya dahulu.
Tapi, ia tidak boleh terpengaruh dengan Hope. Bisa saja gadis ini mempunya motif tersembunyi. Bisa saja dia merupakan orang yang sama dengan orang-orang lain. Bisa saja bentuk perhatiannya hanyalah sebuah topeng semata.
Blue melepaskan pelukkan Hope di tubuhnya. “Apa yang kau lakukan? Apa maumu?” tanya Blue langsung.
Hope mengernyit. “Mauku?”
“Ya! Kau dan kakekmu punya alasan, bukan? Alasan yang membuat kalian bersikap baik kepadaku?” desak Blue.
“Apa orang-orang yang bersikap baik selalu butuh alasan?”
Pertanyaan Hope membuat Blue diam seribu bahasa. Hope menghembuskan napasnya pelan. “Ternyata kakekku tidak salah saat memanggilmu Anak Baik.”
“Aku bukan—"
“Kau tidak mau menerima makanan dari kakekku selama ini, karena kau takut jika alat makan yang kau gunakan dapat menularkan virus ke kakekku, bukan? Kau takut kakekku tertular makanya kau menjauhinya. Kau tahu sendiri HIV tidak menular melalu air liur. Menggunakan peralatan makan yang sama dengan pasien HIV bukanlah masalah untuk orang lain.”
Blue kembali menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. “Apa kau sedang mengarang novel?” komentar Blue sinis, “Aku tidak menerima makanan dari kakekmu karena aku membencinya yang selalu mengurusi hidupku. Dia terlalu ikut campur dan aku tak mau berurusan dengan orang-orang seperti kakekmu ataupun dirimu,” ujar Blue sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Hope.
“Ya… ya… ya. Terserah apa katamu,” komentar Hope sambil berjalan menuju nakas dan mengambil semangkuk sup miliknya.
“Lihatlah dia bahkan mengambil makanannya kembali. Sudah kuduga segala bentuk perhatiannya hanyalah topeng semata. Ia pasti sudah takut padaku.” Blue meringis dalam Hati.
“Kau belum makan, bukan?” tanya Hope yang tiba-tiba berbalik dan melangkah mendekat ke arah Blue.
“Bukan urusanmu.”
“Sup ini sudah mendingin. Aku akan kembali lagi untuk membawakan yang baru untukmu,” ujar Hope sambil berjalan mengampiri pintu keluar.
“Pergi saja dan jangan coba-coba kembali. Simpan rasa ibamu. Aku bisa mengurus diriku sendiri,” komentar Blue sambil mengikuti Hope yang berjalan keluar.
Hope menghentikan langkanya tiba-tiba. Membuat Blue hampir saja menabrak tubuh gadis tersebut. Hope memutar tubuhnya dan menatap ke arah Blue dengan serius. Netranya yang berwarna hijau mengambarkan kesungguhan dirinya.
“Jika kau berpikir aku akan berlari kabur setelah mendengar ceritamu. Maka, kau salah besar, Blue. Aku akan terus mengganggumu. Jadi, jangan coba-coba lari dariku,” Hope melayangkan peringatan serius kepada Blue. Ia lalu segera melangkahkan kakinya pergi meninggalkan rumah Blue tanpa menunggu jawaban dari laki-laki tersebut.
“Apa dia menolak sup yang kau bawa?” tanya Samuel kepada cucunya yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan wajah yang nampak pias, “jika kau sebenci itu padanya. Kau tak perlu mengantarkan makanan lagi kepadanya. Biar Kakek saja yang melakukannya. Kau tak perlu terlibat dengannya lagi.”
“Kek,” lirih Hope, “dia mengidap HIV.”
Pernyataan Hope membuat Samuel terjatuh di atas kursinya. Wajahnya seketika berubah menjadi sedih. Matanya yang berkaca-kaca sudah hampir menumpahkan cairan bening. “Anak malang itu,” kata Samuel dengan suara yang sudah bergetar diiringi air yang perlahan membasahi pipinya, “ia harusnya membicarakannya kepadaku. Kenapa juga aku bisa tidak mengetahui bahwa ia sedang menanggung beban yang sangat berat? Aku benar-benar orang yang buruk,” Samuel menyaahkan dirinya sendiri karena tidak mengetahui prihal derita yang diemban oleh Blue.
“Aku harusnya lebih perhatian kepadanya. Apa yang aku lakukan seama ini? Dia pasti sangat kesulitan,” oceh Samuel yang terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.
Melihat kakeknya bersedih, membuat hati Hope rasanya seperti teriris. Hope memeluk kakeknya untuk menenangkannya. “Sudahlah, Kek. Yang lalu biarlah berlalu. Kita hanya bisa melakukan hal yang kita bisa sekarang.”
Hope mengurai pelukannya dari tubuh tua kakeknya. Ia menatap serius ke arah kakeknya. “Mulai sekarang, aku bersumpah akan selalu menempel kepadanya seperti lalat.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
pengennya happy ending sii Thor
2022-02-09
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
kekecewaan yang mendalam membuat dia negatif thinking pada semua orang
2022-02-09
1
Cara Ostrander
bagus thor...
tapi kayanya sad ending nih
2021-12-31
1