[Kau sangat menyebalkan hingga rasanya aku ingin memakan kepalamu mentah-mentah. —Hope Miller]
Hope berjalan ke arah rumah dengan pagar hijau dengan sedikit berlari karena merasa bersemangat. Ia membuka pagar kayu yang tak terkunci tersebut, dan berjalan di sepanjang jalan setapak menuju rumah besar di hadapannya. Rumah tersebut dibalut dengan tanaman berwarna hijau di dindingnya. Rumah yang ia ketahui adalah milik seorang laki-laki bernama Blue tersebut, sangat hening. Perkarangan rumanya nampak tak terawat. Padahal, Hope yakin dulunya taman di perkarangan rumah Blue ini, pasti sangat indah. Hope menaiki tangga batu yang mengarah ke halaman depan rumah Blue. Sesampainya ia di depan pintu rumah bernomor 222, ia segera menekan bel.
Hope menunggu beberapa saat. Namun, sang pemilik rumah tak juga kunjung membukakan pintu untuknya. Hope menekan bel sekali lagi. Masih hening. Pemilik rumah tak juga membukakannya pintu. Hope menekan bel untuk ke sekian kalinya, walaupun tak kunjung di bukakan pintu oleh sang pemilik rumah. Hope tau, mungkin ini terkesan tidak sopan. Tapi, entah mengapa ia yakin bahwa sang pemilik rumah sebenarnya ada di dalam.
Hope mengintip dari balik jendela kaca yang tertutup tirai yang terletak di samping pintu. Samar-samar ia melihat cahaya lampu dari dalam pintu. Hal tersebut membuat Hope semakin yakin bahwa sebenarnya Blue ada di dalam. Ia kembali menekan bel dengan semangat. Walaupun kakinya sudah terasa pegal akibat perjalanan jauh dari London ke sini, semangatnya tak pudar untuk menemui dengan anak baik yang diceritakan oleh kakeknya. Tidak tahu mengapa ia begitu penasaran dengan sosok Blue. Lagi pula, mereka seumuran. Jadi, pasti mereka akan lebih cepat akrab.
Hope terus menekan bel rumah Blue tanpa henti. Hingga akhirnya perjuangannya terbayar. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu, sebelum pintu tersebut terbuka. Nampak seorang cowok berambut gondrong, acak-acakkan, dan tak terurus. Menggunakan hoodie berwarna hitam. Wajahnya nampak malas dan kusut. Ia seperti sudah lama tidak bercukur. Cekungan hitam terlihat jelas di bawah matanya. Ia menatap Hope dengan tatapan tak suka. Sementara Hope melemparkan senyum cerahnya ke arah laki-laki di hadapannya. Hope menyodorkan seloyang pie di tangannya ke arah laki-laki yang sekarang sudah mengamatinya dari atas ke bawah.
“Kenalkan, aku Hope. Hope Miller. Cucu dari Samuel Miller, kakek yang tingga di seberang rumahmu ini.” Hope menunjuk ke arah rumah kakeknya. Sementara Blue masih tak menanggapi Hope dan malah menatapnya dengan tatapan sinis. Ia secara terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya kepada Hope.
Namun, hal itu tidak membuat Hope mundur. “Kudengar namamu Blue, dan kita seumuran. Kurasa kita bisa lebih cepat akrab karena kita seumuran,” ujar Hope yang masih terdengar ceria walaupun ocehannya sejak tadi tidak dihiraukan oleh Blue, dan pie di tangannya tak kunjung di sambut oleh Blue. Sejujurnya tangannya sekarang sudah benar-benar pegal.
“Apa kau sudah selesai bicara?” tanya Blue dengan suaranya yang datar tanpa emosi setelah Hope berhenti bicara.
Hope menaikkan satu alisnya tak mengerti mengapa Blue menanyakan hal tersebut kepadanya. “Sudah,” jawab Hope seadanya.
“Kalau sudah… pergilah. Kau tahu jalan pulang, bukan?” usir Blue. Tanpa menunggu jawaban Hope, Blue segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat tepat di depan wajah Hope. Hope terlalu terkejut untuk bereaksi. Kedua tangannya yang memegang pie, masih menggantung di udara.
Hope mengedipkan matanya beberapa kali. Ia masih tak menyangka dengan respon yang diberikan oleh Blue kepadanya. Hope akhirnya memutuskan untuk meletakkan pie pemberian kakeknya di depan pintu rumah Blue. Ia mengetuk pintu rumah Blue dan sedikit berteriak, “Blue, aku meninggalkan pie pemberian kakekku di depan pintu. Kuharap kau menikmatinya.”
Hope lalu membalikkan badannya dan berniat pulang. Baru saja ia berjalan menuruni tangga, terdengar suara pintu terbuka dari belakangnya. Hal tersebut membuat Hope memutar tubuhnya antusias. Ia kembali menaiki tangga.
“Kau bilang tadi, kau cucu dari Kakek Sam?” tanya Blue dengan wajahnya yang masih menampakkan raut muka datar.
“Ya!” jawab Hope dengan sangat antusias.
“Pantas saja,” gumam Blue sekilas.
Hope tak mendengar apa yang dikatakan oleh Blue. “Apa kau bilang?” tanya Hope sambil berjalan mendekat.
“Bawa pulang makananmu. Dan katakan kepada kakekmu untuk berhenti mengusik dan mengurusi hidupku. Aku tidak butuh makanan dari kalian.” Blue menatap sinis ke arah pie di lantai kemudian ia menendangnya menjauh dari depan pintu, untuk kemudian menutup pintu kembali tanpa menunggu jawaban dari Hope.
“Hah,” Hope masih terperangah dengan sikap Blue.
“Hei! Kau tak sopan sekali! Kakekku membuat pie ini dengan sepenuh hati, tapi kau malah menenandangnya! Kau tidak tau ya bagaimana cara menghargai makanan!” Hope terus mengomel sambil memungut pie yang sudah berhambur di lantai dan nampak tak lagi berharga. Ia tak yakin apakah Blue mendengarkanya atau tidak, yang jelas ia benar-benar tak terima dengan sikap Blue yang sudah benar-benar keterlaluan menurutnya.
Menurut Hope, Blue boleh bersikap tak sopan padanya tapi ia merasa tak terima jika kakeknya diremekan. Apalagi sampai menghina kebaikkan hati kakeknya. Blue mungkin mempunyai banyak masalah di hidupnya, tapi hal tersebut tidak lantasmembuatnya bisa bersikap seenaknya kepada orang lain. Terutama kepada orang yang berusaha bersikap baik padanya.
Hope menderapkan langkahnya untukkembali ke rumahh kakeknya. Ia menghentak-hentakkan kakinya secara dramatis. Wajahnya sudah tertekuk sempurna. Bibirnya mengerucut. Ia membuka-tutup pintu rumah kakeknya dengan sedikit keras hingga berbunyi cukup nyaring.
“Kau kenapa?” tanya Samuel kepada cucunya yang berwajah seperti kertas kusut.
Hope menyodorkan loyang berisi pie yang hancur ke arah kakeknya. “Lihatlah! Dia benar-benar anak yang tidak sopan. Bagaimana bisa kakek memanggilnya Anak Baik,” gerutu Hope sambil mendengus kesal.
Bukannya membela cucunya dan ikut mengomel bersama Hope, Samuel malah terkekeh. “Kakek kenapa malah tertawa! Aku serius, dia benar-benar anak yang tak tau sopan santun. Dia sangat menyebalkan dan aku rasanya ingin memakan kepalanya mentah-mentah.”
“Kakek sudah bilang padamu untuk tidak menganggunya dan letakkan saja makanannya di depan pintu rumahnya. Salahmu sendiri tak mendengarkan Kakek,” komentar Samuel yang malah menyalahkan Hope.
“Kakek masih membelanya? Dia jelas-jelas tidak menghargai orang lain dengan melakukan hal ini,” omel Hope yang masih merasa tak terima karena pie di tangannya harus hancur dengan sia-sia.
Samuel tersenyum menenangkan. “Sudah… sudah. Sekarang lebih baik kau beristirahat. Kau pasti lelah setelah dua jam perjalanan dari London.” Ia menepuk pelan pundak Hope dan mengambil loyang pie di tangan cucunya tersebut. “Lupakan Blue. Jika kau tak menyukainya maka kau tak perlu berinteraksi dengannya.”
“Tidak, Kek!” Hope mengepalkan tinjunya. “Aku tidak terima atas perlakuannya kepadaku dan kepada Kakek. Jadi, mulai saat ini aku bertekat untuk selalu mengusiknya hingga dia memohon ampun kepadaku,” ujar Hope sambil tersenyum menyeringai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
ceritanya ringan dan seru kayaknya
lanjutkan...
2022-02-09
1
Evitha Junaedy
bgus thor ceritamu aku suka
2021-12-09
2