As Long As I Met You
[Aku tidak akan melupakan hari saat pertama kali kakekku menceritakan tentangmu. —Hope Miller]
Akhirnya Hope tiba juga di desa Bibury yang terletak di wilayah Gloucestershire, Inggris Selatan. Perjalanannya dari London memakan waktu kurang lebih dua jam. Mengemudi sendirian selama dua jam membuatnya cukup lelah. Namun pemandangan desa Bibury yang berwarna hijau cukup membayar lelahnya. Jika di London dia terbiasa melihat bangunan-bangunan besar dan gedung-gedung pencakar langit yang dipadati dengan keramaian, maka di sini dia dapat melihat rumah-rumah yang dibangun dari susunan batu bata yang berjajar rapi. Bentuk rumah-rumah di sini memiliki bentuk yang hampir sama. Beberapa bangunan bahkan dirambati oleh tanaman hijau. Desa ini merupakan wujud nyata dari penggambaran negeri dongeng di buku cerita yang biasa Hope baca ketika masih kecil.
Terdapat banyak bangunan cottage di sini. Tidak mengherankan karena desa ini masih merupakan salah satu desa wisata yang dikelola pemerintahan Inggris. Hope kemari untuk tinggal dengan kakeknya. Setelah dipecat dari perusaaan tempat ia berkerja, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Mendengar keputusan Hope, kedua orang tuanya menyarankan agar Hope pergi berlibur dan tinggal di rumah kakeknya yang terletak di desa Bibury ini. Terakhir kali Hope ke desa ini adalah ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu ia masih sangat muda, sehingga sangat sedikit ingatan yang tersisa di kepalanya.
Sebelum pergi ke sini, kedua orang tuanya sudah memberikan alamat kakeknya kepadanya beserta ciri-ciri rumah kakeknya. Jadi, Hope tidak begitu merasa kesulitan untuk menemukan sebuah rumah dengan taman bunga yang cukup luas di halamannya. Hope turun dari mobilnya dan menyampirkan ransel di pundaknya. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan mengirup udara segar yang jarang ia temukan di padatnya kota London.
“Ini benar-benar menyegarkan,” kata Hope sambil merentangkan tangannya dan menikmati semilir angin musim gugur yang berembus menerpa tubuhnya dan menerbangkan helaian-helaian rambut pendeknya yang berwarna keemasan. Ia tersenyum cerah secerah matahari siang ini.
Hope berhenti di depan pintu rumah kakeknya yang bernomor 223. Ia menatap sekelilingnya. Rumah kakeknya tampak sepi.
“Apa kakek tidak berada di rumah?” batin Hope.
Hope menekan bel yang terletak di samping pintu. Tidak ada jawaban hingga Hope menekan bel untuk ke tiga kalinya. Hope baru saja hendak menelepon kakeknya, untuk memastikan keberadaaan kakeknya serta mengecek apakah ia tidak salah rumah. Namun, suara pintu terbuka membuat jemari Hope berhenti di atas layar ponselnya.
Hope memutar tubuhnya. Nampak seorang pria tua dengan rambut yang hampir di penuhi uban keseluruannya. Mungkin wajahnya nampak tua, tapi, kondisi tubuhnya terlihat sangat fit. Nama pria tua itu adalah Samuel Miller. Ia merupakan kakek Hope dari pihak sang ayah.
Samuel tersenyum lebar menatap kehadiran cucunya yang sudah ia nanti sejak tadi. Celemek berwarna merah muda yang sangat tidak cocok untuknya masih membalut tubuh tuanya. “Hope!” panggilnya dengan sedikit berteriak saking antusiasnya.
“Kakek!” pekik Hope sembari memeluk erat tubuh tua kakeknya. “Kenapa lama sekali membukakan pintu? Kupikir aku salah rumah!” gerutu Hope tanpa melepaskan pelukan dari kakeknya.
Samuel terkekeh mendengar gerutuan dari cucunya tersebut. “Maafkan, Kakek. Kakek tadi sedang membuat pie untukmu…." Samuel menepuk dahinya setelah teringat akan pie-nya. "Ya, Tuhan! Pieku!” ia melepaskan pelukan cucunya dan segera berlari ke arah dapur.
Sedangkan Hope, hanya terperangah karena ditinggalkan begitu saja oleh kakeknya. Ia pun pergi menyusul kakeknya memasuki rumah.
“Kek?” panggil Hope.
“Kemarilah, Girl. Kakek ada di dapur,” seru kakeknya.
Hope mengikuti arah sumber suara hingga ia sampai di dapur sederhana milik kakeknya. “Bagaimana dengan pie Kakek?” tanya Hope sambil mendekat ke arah kakeknya yang baru saja mengeluarkan pie dari dalam oven dan meletakkannya di atas meja pantry.
“Untung saja, aku berhasil menyelamatkannya,” kata Samuel sambil tersenyum lebar.
Hope mengerutkan dahinya ke arah dua loyang pie di atas meja. “Kenapa Kakek membuat banyak sekali pie? Kita hanya berdua saja di sini. Kurasa dua loyang pie terlalu banyak untuk kita berdua,” komentar Hope.
“Ah, ini untuk Anak Baik yang tinggal di seberang rumah kita,” jelas Samuel.
“Anak Baik?”
“Ya, anak yang malang. Namanya Blue Hawkins. Seingat Kakek ia seusia denganmu, 24 tahun.”
“Blue? Nama yang unik,” gumam Hope sambil berjalan mengambil peralatan makan untuk menyantap pie buatan kakeknya.
“Menurutku namanya keren. Kakeknya sendiri yang memberinya nama tersebut. Karena saat anak laki-laki itu lahir, langit biru terlihat sangat cerah. Seolah-olah menyambut kelahirannya. Kakeknya merupakan temanku bermain catur. Bulan lalu, ia meninggal dunia. Mungkin karena setres. Beberapa hari setelah kakeknya meninggal, ia masuk rumah sakit dan setelah itu dia menjadi anak yang sangat pemurung. Padahal dulu ia adalah anak yang sangat hangat. Ia merawat kakeknya dengan sangat baik walaupun ia sering berpergian karena pekerjaannya sebagai fotografer. Sesekali ia menemaniku dan kakeknya untuk bermain catur hingga larut malam.” Samuel menghembuskan napasnya pelan. Matanya nampak menerawang saat menceritakan masa lalunya. “Mungkin saja ia masih merasa terpukul dengan kepergian kakeknya. Aku juga sangat jarang melihatnya keluar dari rumahnya sekarang.”
Hope menarik seloyang pie mendekat ke arahnya. Ia lalu memotongnya mengguakan pisau dan meletakkannya di atas piring. “Bagaimana dengan kedua orang tuanya?” tanya Hope sambil memasukkan sesuap pie menggunakan garpu di tangannya.
“Orang tuanya bercerai. Ibunya memiliki keluarga baru dan suaminya tak ingin Blue tinggal bersama mereka.”
“Ayahnya?” tanya Hope yang masih antusias mendengarkan cerita kakeknya.
Samuel membuang napasnya kasar. Raut wajahnya nampak kesal. “Ayahnya brengsek. Ia pikir segalanya bisa diurus dengan uang. Walaupun ia selalu mengalirkan dana setiap bulannya untuk Blue, sesungguhnya ia tidak peduli dengan anaknya sendiri, yang ia pedulikan hanyalah pacarnya saja yang selalu berganti-ganti seperti ia mengganti baju. Jadi, meskipun Blue masih memiliki orang tua lengkap, ia seperti tinggal sebatang kara setelah kakeknya meninggal. Itulah mengapa kakeknya yang merupakan sahabat baikku, menitipkan Blue ke padaku ketika ia sudah tiada.”
“Jadi, mengapa Kakek tidak mengundangnya ke sini saja? Jika ia sering menemani kalian bermain catur, itu artinya kalian sudah cukup akrab, bukan? Aku tidak sabar berkenalan dengan tetangga baruku,” ujar Hope ceria.
Samuel menghembuskan napasnya berat. Ia lalu menggelengkan kepalanya. “Masalahnya adalah sekarang ia tak lagi ramah seperti dulu. Aku selalu mendekatinya, tapi ia seolah-olah menutup diri kepadaku. Itulah yang membuatku semakin sedih. Padahal dulu sebelum kakeknya meninggal, kami sangat akrab,” gumam Samuel sambil menundukan kepalanya lesu.
“Jadi, bagaimana dengan pienya? Kau bilang akan memberikannya kepada Blue,” komentar Hope sambil menunjuk dengan garpunya seloyang pie di atas meja yang masih utuh belum tersentuh sama sekali.
“Mau kah kau membantu Kakek?” tanya Samuel dengan tatapan penuh harap ke arah cucunya.
Hope menganggukkan kepalanya pasti. “Hm… tentu saja, Kek. Apa yang bisa kubantu?”
“Maukah kau mengantarkan pie ini kepada Blue? Kau cukup meletakkannya di depan pintu dan menekan bel rumahnya dan memberikan secarik pesan singkat di atas kertas agar ia mengetahui siapa yang membawakannya pie ini,” tutur Samuel.
“Aku bahkan bisa memberikannya secara langsung kepadanya,” ujar Hope bersemangat.
Samuel melambaikan tangan di depan wajahnya. “Tidak perlu. Ia juga sepertinya tidak suka terhadap orang asing. Kau tak perlu menganggunya. Lakukan saja seperti yang biasa kulakukan.”
Hope mengerutkan bibirnya. “Aku tidak akan menganggunya. Aku hanya ingin menyapa tetangga baruku. Kakek pikir aku seekor lalat apa, yang kehadirannya menganggu orang lain?”
Mendengar gerutuan Hope membuat Samuel tertawa renyah. “Bukan begitu, Hope. Kakek tak pernah mengatakanmu mirip seekor lalat. Hanya saja… sudahlah lakukan saja apa yang ingin kau lakukan.”
“Biaiklah! Aku akan mengantarkannya sekarang.” Hope beranjak dari duduknya dengan bersemangat dan menyambar seloyang pie di hadapannya. Ia segera menderapkan langkahnya menjauhi dapur.
Namun, belum berapa lama ia pergi, langkah kaki Hope kembali terdengar mendekati dapur. “Kek, aku lupa bertanya, yang mana rumah Blue?” tanya Hope yang sudah kembali berdiri di tengah-tengah dapur.
Samuel terkekeh melihat tingkah cucu perempuannya ini. “Rumah yang berada tepat di seberang rumah kita. Memiliki pagar kayu berwarna hijau.”
“Baiklah. Dah, Kek.” Hope segera berlari keluar dari dapur dan pergi menuju rumah tetangga barunya dengan antusias.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
any body home???
aQ mampir blue...
2022-02-09
1
R.R
luar biasa sekali tulisan ini
2021-08-06
4