Malam ini papanya Rere pulang lagi-lagi dalam keadaan mabuk, membuat Rere tidak berani keluar dari kamarnya. Bahkan untuk makan malam saja Reno membawakannya ke dalam kamar Rere. Rere sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sayangnya hanya 1, dia ingin sekali ke kamar mandi, tapi dia mendengar televisi masih menyala yang tandanya ayahnya belum tidur. Akhirnya dia terpaksa menahannya hingga hampir tengah malam.
Karena dia tidak lagi mendengar suara apapun, dia berjalan keluar dari kamarnya perlahan menuju ke kamar mandi. Ternyata ayahnya tidak tidur. Ayahnya itu masih menggenggam sebotol minuman di tangan kanannya dalam kondisi yang sudah mabuk berat. Melihat Rere membuat emosi ayahnya meledak begitu saja.
Reno yang sudah hampir terlelap langsung terbangun dan berlari keluar ketika mendengar sesuatu yang pecah. Dia melihat Rere sudah berlumur darah dan menangis di sudut ruangan. Bahkan bukan hanya itu adiknya itu diseret begitu saja keluar dari rumah dalam keadaan yang begitu menyakitkan.
Kalau sudah begini, yang bisa Reno lakukan hanya menelpon Jevan. Lagi dan lagi dia merepotkan Jevan. Walau dia tahu kalau Jevan ini serius dengan adiknya tapi tetap saja ada rasa tidak enak dalam hatinya.
Jevan langsung pergi menuju ke rumah Rere dan menemukan gadis itu dalam kondisi yang sangat-sangat tidak dia harapkan. Jevan langsung meminta Rere masuk kedalam mobilnya dan Jevan dengan sesegera mungkin membawa Rere pada mamanya.
"Kok bisa kaya gini?" tanya mama Tiwi ketika melihat Rere digendong oleh putranya dengan darah yang terus menetes.
"Ma, darahnya nggak berhenti," kata Jevan.
"Tekan yang kuat, mama siapin alatnya dulu," kata mama setelah membantu Jevan menidurkan Rere di salah satu kamar yang kosong.
"Sana kamu kabari dulu kakaknya Rere, habis itu balik sini cerita sama mama."
Mama Tiwi bahkan harus menjahit luka sobekan di tangan kiri Rere. Beruntung lukanya tidak dalam dan tidak menggores nadinya jadi Rere tidak perlu dilarikan ke rumah sakit. Pagi berikutnya, Reno datang memenuhi panggilan kedua orang tua Jevan. Katanya sih ada yang mau dibicarakan dan Reno sudah tahu maksudnya apa. Dia bahkan sudah menyiapkan mental jika kedua orang tua Jevan meminta Rere untuk ikut tinggal bersama mereka. Toh ini bukan kali pertama dia diminta begini.
"Nak Reno, mama kasian lihat adikmu kaya gitu terus," kata mama Tiwi membuka diskusi.
"Om tahu maksud kalian baik, tapi kalau sudah seperti ini namanya berlebihan. Om ini juga seorang ayah, dan seorang ayah nggak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri," sambung papa Jeff.
"Sebenarnya dulu om Johnny pernah cerita sama Reno soal dek Rere. Mama itu harusnya gugurin kandungannya tapi mama tetep nekat. Dari awal papa udah bilang nggak papa di gugurin tapi mama tetap berusaha bertahan. Dek Rere lahir prematur karena mama pendarahan dan akhirnya nggak selamat. Sejak itu papa jadi berubah."
"Kalau mama di posisi mamamu mungkin juga akan ngelakuin hal yang sama, mana ada seorang ibu yang tega buang anaknya sendiri," kata mama Tiwi dengan nada yang teramat halus seperti penuh dengan kesedihan.
"Nak Reno, sementara ini Rere biar sama mama ya. Setidaknya selama penyembuhan. Luka di tangan adikmu agak serius, kamu juga sibuk kerja kan. Kalau dia di rumah mama kan nanti ada mama yang bantu, nggak papa kan?" tanya mama Tiwi pada akhirnya.
"Kalau untuk kali ini, Reno pikir lebih baik gitu. Reno harus ke luar kota selama beberapa minggu. Papa ada di rumah, takut Reno papa nekat lagi."
"Reno, adikmu om bawa ke psikolog boleh ya? Papa nggak mau adikmu ada trauma atau apa. Dia masih muda, jalan hidupnya masih panjang juga."
"Maaf om Reno sama Rere ngerepotin om sama tante," kata Reno sembari membungkuk 90 derajat tanda tulusnya permintaan maaf seorang Reno Sanjaya.
"Jangan begitu, adikmu itu sudah mama anggap anak sendiri. Mau dia pacaran sama Jevan atau nggak mama tetep sayang sama Rere. Kamu juga, jangan panggil tante dong. Mama nggak suka," kata mama Tiwi sembari menegakkan tubuh Reno dan menangkup kedua pipinya.
"Kalian berdua itu anak-anak yang kuat. Mama mungkin bukan orang tua kalian, tapi mama bangga sama kalian," tambahnya membuat air mata yang Reno tahan sekuat tenaga bisa lolos begitu saja.
Bohong kalau Reno bilang dia baik-baik saja. Dia juga merindukan kehidupan keluarga bahagianya yang dulu pernah dia rasakan. Padahal Reno masih ingat sekali dulu mama papanya begitu bahagia mendengar kabar berita kehadiran Rere di perut mama, sayang berita itu tidak bertahan lama setelah mama di diagnosis jantung koroner.
Merasakan halusnya kedua tangan mama Tiwi mengelus pipinya membuat Reno ingat pada mamanya. Dulu mama juga sering mengelus pipinya lalu membelai rambutnya persis seperti yang dilakukan mama Tiwi sekarang.
"Sana temui adikmu. Hapus tangisanmu," kata mama Tiwi sambil menghapus aliran air mata Reno dengan kedua ibu jarinya.
"Ma, sebenernya kenapa sih tiba-tiba papanya Rere bisa senekat itu? Kayanya Papa kenal loh sama papanya Rere. Namanya nggak asing," kata Papa Jeff pada istrinya.
"Rere cerita sih Papa nya marah begitu dengar Rere dapat beasiswa ke luar negeri. Kalau pola pikir papanya sudah seperti itu sih wajar aja dia dimarahin semua yang dilakukan Rere pasti akan salah namanya orang udah nggak suka. Papa juga tuh kalau sama saingan bisnis Papa juga pasti gitu kan," jawab Mama Tiwi.
"Yaiya sih Ma, tapi ini masalahnya sama anak sendiri masa gitu."
"Dari segi psikologi semuanya bisa terjadi. Kalau seseorang terlalu cinta sama pasangannya, ketika kehilangan sakitnya luar biasa nggak terbendung. Sebenarnya yang harus kita bawa ke psikiater bukan Rere tapi Papanya."
"Sudahlah Ma, kita ini cuma orang luar. Papa yakin mereka bisa mengatasinya dengan baik. Papa berangkat kerja dulu ya Ma, mobil Papa bawa kalau Mama mau pergi pakai mobil si kembar aja."
"Mama nggak mau kemana mana, hujan hujan gini enaknya di rumah aja. Paling nanti Mama keluar buat belanja sama Rere."
"Kartu kredit Papa bawa aja."
"Nggak mau. Mama kok yang mau beliin Rere ini itu, kalau pakai kartu Papa ya namanya Papa yang beliin. Pinteran alesannya," kata Mama Tiwi protes tapi tetap saja tangannya meraih simpul dasi suaminya untuk merapihkannya.
"Papa pergi dulu ya," Papa Jeff pamit setelah mencium dahi Mama Tiwi sekilas.
Mama Tiwi ganti menyalami dan mencium tangan Papa Jeff lalu mengantarnya hingga ke depan pintu, "Hati-hati Pa, semoga harimu menyenangkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments