"Jevan..., kamu bener pacaran sama Rere?" tanya seorang gadis pada Jevan yang bahkan belum turun dari motornya.
Malas sekali dia harus menjawab pertanyaan tidak jelas begitu, masih pagi loh ini. Dia akhirnya hanya melewati gadis itu tanpa menghiraukannya. Dia hanya menganggap pertanyaan itu sekedar pertanyaan kepo seperti biasanya, tapi setelah dia masuk ke kelas dia mulai merasakan keanehan. Entah kenapa rasanya dia menjadi bahan pembicaraan pagi ini.
Ahh Jevan ingat. Kemarin sore kan dia membuat keributan di mall, jadi wajar kalau sekarang dia jadi bahan pembicaraan. Padahal Jevan benci sekali. Dia paling benci diperhatikan, dia benci menjadi objek gosip yang tidak jelas dari mana asalnya. Tapi dia lebih malas lagi untuk meluruskan apa yang terjadi. Dia juga sebenarnya bingung harus mengakui atau tidak, dia memikirkan perasaan Rere. Cantiknya yang selama ini meminta mereka tidak mengumbar status dan dia menghormati itu.
"Van, kamu bener pacaran sama Rere? Bukannya kamu pacarnya Viona?" tanya salah satu teman kelasnya.
Apa lagi ini? Siapa coba yang pernah bilang kalau dia dan Viona pacaran? Jangankan pacaran, Jevan bahkan sudah sangat-sangat malas mengobrol dengan Viona yang sudah berubah jauh dibandingkan ketika mereka masih bersahabat dulu.
"Jevan. Fakultas Seni Rupa tuh kenapa sih? Pagi-pagi udah ngegosip aja. Kamu tuh jadi headline news nih. Dapet kabar dari mana mereka pada bilang Rere tuh pelakor? Mereka nyebut Rere murahan lagi," kata Monika yang kebetulan bertemu Jevan di dekat perpustakaan pusat.
"Apaan sih nggak jelas banget. Biarin aja kenapa," kata Jevan cuek.
"Enak aja main biarin-biarin. Rere tuh ipar kesayanganku. Dia dikatain murahan gitu mana terima aku. Udah gitu dikatain pelakor lah selingkuh lah. Aku tadi denger di sekretariat kalau kemarin sore Rere berduaan sama cowok di alun-alun sedangkan kamu kan seharian di rumah kemarin. Ini aku tanya aku kepo ada apa, nggak akan bisa tidur aku kalau belum punya jawabannya," kata Monika panjang lebar.
"Rere tuh kemarin pergi sama Haikal, kan kemarin hari Selasa. Udah jadwal mereka buat latihan badminton. Kalau soal pelakor-pelakoran aku nggak urusan. Rere bukan pelakor karena aku sejak awal nggak pacaran sama siapapun. Kan kamu tahu, ngapain kepo sama kabar nggak jelas gitu sih."
"Kamu pikir Rere bakal baik-baik aja? Dia tuh udah dighibahin anak satu fakultas tahu, di hibur kek apa gimana. Kamu tuh sama pacar jangan cuek-cuek amat dong."
"Sabar, dia masih kelas sampai nanti jam 1, ini masih jam 11. Kelas dia hari ini berat jadi aku nggak berani ganggu," kata Jevan.
"Habis ini masih ada kelas lagi kamu?"
"Nggak ada. Tadinya mau langsung pulang tapi berhubung ada kabar nggak jelas kaya gini jadi tambah kerjaan aku."
"Eh semalem dia curhat katanya dia lolos seleksi awal beasiswa ke Paris itu," kata Monika memberi selamat.
"Sudah tahu, kan aku juga yang nganter dia bolak balik ke Rektorat nyari tanda tangan, ribet ngumpulin berkas juga aku yang bantu. Biar deh dia ke luar negeri aku lebih seneng. Disana dia bisa fokus sama mimpi dia, nggak ada yang akan marah-marah sama dia cuma karena masak keasinan, disana nggak ada lagi yang ngusir-ngusir dia," kata Jevan.
"Tapi disana dia sendirian."
"Dia nggak akan sendirian. Ada Junius. Dia udah lebih dulu diterima S1 Arsitektur disana. Beda kota sih, tapi setidaknya masih ada temennya dia," kata Jevan.
Setelah berpisah dari Monika, Jevan kembali ke fakultas dan menunggu Rere di gazebo dekat kelas umum. Setelah cantiknya keluar membawa dua buah paperbag besar, Jevan langsung mematikan handphonenya dan mengambil alih barang bawaan Rere.
"Mau ke dekanat dulu atau CoD dulu ini?" tanya Jevan.
"Langsung CoD aja, urusanku di dekanat udah kelar kok. Tadi aku juga sudah ketemu sama Kajur, aku juga sudah konsultasi ke PA."
"Ok, sekalian makan di luar ya. Mau ayam geprek nggak?"
"Terbaik. Tau aja lagi pengen yang pedes-pedes," kata Rere lalu menyamai langkah Jevan menuju ke tempat parkir.
Ada sekitar 30 menit Jevan menunggu Rere yang sedang fitting. Klien dia dari club Dance ini memang agak ribet dan banyak maunya, tapi karena Rere selalu mengedepankan kepuasan pelanggan jadi dia iya-iya saja. Malam nanti kan mereka akan perform di salah satu event Korean Dance Cover gitu.
Nah Jevan tahu dari beberapa teman Rere kalau Rere ini terkenal yang terbaik kalau soal design korean style dan duplikat kostum dance. Maklum, Rere kan diam-diam menggilai oppa-oppa yang entah nama grupnya apa tapi satu yang Jevan tahu membernya keroyokan. Walau masih semester 6 tapi dia sudah sering kebanjiran order.
Jevan sih senang-senang saja. Setidaknya ada yang membantu mengalihkan perhatian Rere dari semua cacian ayahnya. Uangnya juga lumayan untuk ditabung, jadi Rere sudah tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Jujur untuk yang satu ini Jevan agak iri pada cantiknya. Sejak SMA dulu dia tahu bahwa manajemen keuangan Rere sangat bagus. Dia hemat, tapi tidak pelit.
Pernah Jevan mendengar obrolan Rere dan salah satu temannya soal skincare. Namanya juga cewek, make up jelas jadi salah satu kebutuhan dasar. Rere sering ditanya pakai make up apa, skincarenya apa, karena wajah Rere dia akui memang begitu halus, tidak ada jerawat sama sekali. Padahal Rere ini tipikal anak cewek yang banyak berkeringat.
Rere menjawab kalau dia sering menggunakan bahan-bahan alami yang ada di dapur seperti jeruk nipis, mentimun dan tomat untuk skincare. Keren kan pacar Jevando? Jelas dia bangga dong punya pacar yang bukan hanya cantik, pintar, tapi juga cerdas.
"Mau cabai berapa mbak?" tanya pegawai salah satu rumah makan ayam geprek harga mahasiswa yang menjadi tempat makan favorit Rere kalau dia sedang stress.
"Cabai 8 mbak," jawab Rere membuat Jevan segera mengoreksi.
"Cabai 5 saja mbak, cabai mahal. Kasian mbak nanti rugi banyak," kata Jevan.
"Kok gitu sih Jev," protes Rere.
"Perutmu cantik. Kamu kerja hari ini."
"Jadinya cabai berapa ini?" tanya pegawainya lagi.
"Yasudah cabai 7 mbak," jawab Rere menyerah.
"5."
"7."
"6, deal or not."
"Iya iya bawel. Cabai 6 ya mbak, plus mozza," final Rere.
Kapan sih seorang Reva Aulia menang berdebat dengan Jevando Kusuma? Tidak pernah. Entah kenapa kalau Jevan yang bertitah dia tidak akan bisa menolak. Padahal aslinya Jevan ini bukan orang yang banyak bicara, tapi kalau sudah menyangkut tentang cantiknya dia bisa berubah jadi laki-laki paling cerewet melebihi kak Reno yang kalau ngomong nggak beda sama kereta ekspress yang rusak remnya.
Setelah makan dan menyelesaikan semua urusan Rere, Jevan mengantar cantiknya itu ke tempatnya bekerja. Minggu ini adalah minggu terakhirnya bekerja disana. Kak Reno yang memaksa Rere untuk berhenti, toh Rere sudah cukup sibuk dengan semua pesanan yang diterima takutnya nanti kuliah dia terkalahkan.
"Cantik tunggu, aku mau ngomong," kata Jevan sebelum Rere melangkah masuk.
"Ada apa?"
"Soal rumor itu, kamu nggak papa kan?"
"Cuma omongan orang. Sejak kapan aku pernah dengerin omongan nggak jelas kaya gitu? Lagian yang mereka ngomong nggak bener Jev, aku bukan pelakor kan?"
"Iya. Pinternya cantikku. Nih hadiah buat kamu, aku tahu itu perut udah merintih saking panasnya," kata Jevan sambil memberikan 2 kotak susu rasa strawberry pada Rere.
"Terbaik Jeje, makasih ya. Aku pergi dulu," kata Rere.
"Ku jemput jam 10 malem nanti ya," kata Jevan.
"Sip bos. Bye bye...," pamit Rere sebelum Jevan kembali melajukan motornya.
Rere menatap kedua kotak susu di tangannya. Perhatian-perhatian kecil semacam ini nih yang suka membuat Rere melambung tinggi. Jevan itu diam-diam peka, dia memang tsundere. Dia selalu tahu apa yang sedang dirasakan Rere, dan kalau sudah stress begini dia tahu solusinya adalah makan makanan pedas. Tapi sayang, Rere pencernaannya lemah makanya setelah itu Jevan selalu memberinya sekotak susu strawberry untuk meredakan gemuruh di perut Rere.
"Aku nggak peduli sama perkataan orang selama kamu masih tetap jadi kamu yang biasanya," gumam Rere.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments