04

"Aku tahu kamu itu tenang Na orangnya. Jadi, jangan kaget." Renata menghela nafas. "Broadcast itu isinya foto kamu sama Fatih lagi ciu***! oke, aku butuh penjelasan dari kamu Na, sekarang!"

Ghina menghentikan langkahnya, dadanya berdetak cepat. Matanya membesar, belum memahami total apa yang dibicarakan Renata.

"Astaghfirullah, aku nggak pernah ngelakuin itu Ren! apa-apaan kamu!" Ghina mendesis marah. Renata buru-buru melanjutkan.

"Itu broadcast dari seseorang. Berarti dia udah fitnah kamu sama Fatih berbuat mesum Na. Astaghfirullah, bagaimana bisa. Itu jelas-jelas aku lihat di fotonya, ya foto kamu. Aku baru dapat tadi pagi, pas nelpon kamu. Udah nggak aktif."

"Iya aku matiin ponselnya tadi subuh sambil di cas. Tapi, gimana bisa Ren?" tanya Ghina, mendadak gusar.

"Aku juga nggak tahu. Siapa yang berani ngirim bc gitu. Emangnya kenapa sih? kok kamu sama Fatih bisa kaya gitu? itu bener-bener kamu loh, yakin aku."

Ghina memutar ingatannya pada kejadian kemarin sore. Dia mendesis pelan, "Ren, pasti gara-gara kejadian kemarin."

"Hah, maksudnya?" tanya Renata tidak mengerti.

"Kemarin Fatih dilempar sama dua bola kasti, terus hampir nubruk badanku. Kami nggak berciuman, cuma posisinya aja yang deket," jelas Ghina. Mereka masih berdiskusi di belakang kelas mereka.

"Astaghfirullah Na!" Renata mengacak kerudungnya. Ia heboh sendiri. Bagaimana bisa kejadian memalukan itu terjadi pada seorang -Ghina Izzati-

Teng

Bel masuk berbunyi. "Aduh, aku nggak tahu nanti gimana cibiran temen-temen ke kamu Na." Renata menepuk-nepuk bahu Ghina.

"Pantes, tadi tatapan adek kelas beda sama aku," tebak Ghina yang sempat merasa aneh dengan tatapan beberapa siswa tadi.

"Tuh kan? berarti memang satu sekolah tahu." Renata membenarkan dengan nada yang frustasi.

"Ren, gimana kalau guru-guru tahu?" Ghina mulai khawatir. Ia takut guru-guru tahu dan akhirnya Ibunya dan juga Imran tahu tentang hal ini.

"Apa ini yang di maksud Fatih kemarin?" Ghina membatin.

"Ya udah, ayo masuk kelas," ajak Ghina lirih.

"Yakin, kamu nggak papa?"

"Aku malu, tapi masa' aku balik lagi. Gerbang udah di tutup Ren," pasrah Ghina dan berjalan mendahului Renata.

Renata hanya menepuk jidatnya pelan. "Biasa aja eksresipnya." Ghina mengingatkan Renata, karena bukan dirinya yang takut, tapi justru Renata. Walau dalam hati kecil Ghina, dia juga khawatir dengan cemoohan yang akan ia dapat.

Semua siswa dan siswi masuk ke kelas. Ghina melewati kelas tetangganya, XII TKJ III. Namun, dengan menunduk. Ia mendengar beberapa siswi berbisik-bisik. Tatapan mata beberapa orang tampak sinis.

Saat kaki mereka berdua menginjak teras depan kelas, Sella, Fitri dan Melani tengah berdiri tepat di daun pintu. Menghalangi Ghina dan Renata untuk masuk.

“Solehah juga bisa kok berzina. Ya orang ini nih buktinya.” Fitri berdecak sembari tangannya yang menyilang di depan dada.

"Minggir Fit, kamu ngehalangin jalan," ujar Ghina tanpa menggubris omongan gadis modis itu.

"Ck, dibilangin malah pura-pura tuli." Kini Sella ikut menimpali. Sedangkan Melani hanya memutar bola matanya, tak berniat ikut membully.

"Jadi, berapa kali kamu sudah ngelakuin hal mesum itu?" tanya Fitri menantang.

“Apa maksud kalian?” Ghina mengangkat alis. Pura-pura tak tahu. Toh, jika dirinya melakukan pembelaan pun, Fitri the geng itu akan tetap membulinya.

“Jangan mengelak. Makanya jadi orang jangan sok suci. Pakaian aja berhijab. Tapi hati busuk. Kalau kayak gini, biasanya bibit-bibit pelakor nantinya," ucap Fitri dengan tatapan merendahkan.

“Astaghfirullah Fitri. Kamu nggak bisa asal nuduh sembarangan. Kalian semua tahu ‘kan Ghina adalah cewek baik-baik. Anak rohis lagi. Bahkan nggak pernah kita temukan dia berpacaran. Sangat menjaga jarak dengan cowok. Nggak mungkin dia berbuat keji begitu,” Renata membela Ghina, tangannya mengepal seperti ingin menonjok wajah Fitri.

Fitri menunjukkan sebuah foto yang berada di galeri handphonenya. Cewek yang julid dan suka diam-diam membawa handphone ke sekolah itu tersenyum sinis saat mata Ghina melotot terkejut melihat pemandangan yang membuat siapa saja yang melihat bisa su'uzon. Benar kata Renata, gambar dirinya dan Fatih benar-benar seperti sedang berbuat mesum.

"Minggir Fit, atau aku tendang kaki indahmu itu!" ancam Renata, ia berancang-ancang hendak melakukan kuda-kuda. Seperti sudah sangat ahli dalam menendang. Akhirnya Fitri the geng menyingkir, mempersilakan Ghina dan Renata masuk kelas.

"Sabar Na," ucap Renata sambil menggenggam tangan Ghina. Mereka sekarang duduk di barisan paling depan ujung sebelah kiri.

"Fatih kemana?" tanya Renata celingukan. Ia tak mendapati batang hidung laki-laki itu. Hanya ingin tahu bagaimana reaksi Fatih mendengar berita ini.

"Aku jadi takut Ren," lirih Ghina. Teman-teman sekelasnya saling berbisik. Satu orang siswi mendekat ke kursinya.

"Sabar ya Na, aku nggak percaya berita itu," ucapnya sembari menepuk bahu Ghina.

"Tentu, Ghina nggak mungkin ngelakuin itu. Lagian, foto itu bisa aja di edit. Di lebih-lebihkan. Kurang kerjaan banget si pelaku," tutur Renata meyakinkan.

"Terus, kalian belum tahu pelakunya?" tanya teman sekelas Ghina itu.

"Nggak tahu, yang jelas ini ada hubungannya dengan musuh Fatih kayanya," balas Renata.

"Semoga segera clear ya. Mungkin hari ini ada pemanggilan," ucapnya lalu tersenyum ke arah Ghina dan Renata.

"Tenang aja Na, teman-teman nggak nuduh kamu kok. Mereka juga nggak percaya kamu kayak gitu." Lagi, Renata meremas pelan jemari sahabatnya.

"Iya, tapi masalahnya kalau kabar ini sampai ke guru-guru? orang tua? gimana?" Mata bening milik Ghina berkaca-kaca, walau sedari tadi ia menahannya. Tetap saja, bulir bening itu serasa ingin keluar.

"Kamu nggak usah ikut belajar. Izin aja ke UKS," saran Renata.

"Aku nggak sakit Ren," tolak Ghina. Renata menghela nafas dan menyerahkan tissue.

"Nggak papa, ayo aku anter. Mumpung, murid-murid lain pada di dalam kelas, sepi jadinya."

"Nggak, aku di sini aja."

"Na, jangan keras kepala sekali aja."

"Aku nggak salah Ren, ngapain sembunyi. Walau aku malu saat ini. Jujur."

"Baiklah, itu pilihanmu."

Ghina mendongak, menyeka cairan bening dari wajahnya. Matanya terpaku begitu melihat sosok Fatih yang berdiri di depan pintu.

Ghina membuang muka, tidak ingin mengingat kejadian kemarin yang akhirnya membuat berita aib baginya. Jangan-jangan, Fatih yang melakukannya? tapi tidak mungkin, sebenci-bencinya Fatih padanya, tidak mungkin laki-laki itu tega menyebarkan foto aibnya sendiri.

Selama mata pelajaran berlangsung sebenarnya Ghina tidak tenang. Namun, untunglah tidak ada satu guru pun yang menyinggung perihal berita fitnah mengenai dirinya.

Bel istirahat berbunyi. Suara gemerisik speaker terdengar. Jantung Ghina semakin berdebar-debar.

"Panggilan kepada Fatih Rafasya dan Ghina Izzati, segera menghadap ke ruang BK!"

Renata meremas tangan Ghina, berusaha menjadi penenang bagi sahabatnya itu.

"Aku tahu, cepat atau lambat aku akan di panggil Ren."

"Aku temanin kamu."

"Makasih Ren."

Ghina berdiri dari kursinya. Ia melihat ke arah kursi Fatih. Laki-laki itu sudah berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa menoleh ke arahnya.

Sepanjang perjalanan, Ghina seperti menjadi pusat perhatian, oleh siswa maupun siswi. Beberapa adik kelas yang melewatinya memandang penuh benci. Saat melewati kelas XII TKJ II Ghina melirik sebentar ke arah pintunya. Ia harap tidak menemukan seseorang di sana yang tengah menatapnya. Dan benar, memang tidak ada siapapun di sana. Sebenarnya ia ingin menghindari laki-laki itu atau ingin menemuinya? Ghina menggeleng pelan.

"Astaga, orang ini yang di sukai Kak Fatih?" tanya salah satu siswi.

"Kayanya alim tapi kelakuannya anjim," timpal salah seorang dari mereka.

"Hus, nanti dia denger."

"Biar aja."

"Kak Ghina, Kak Rena!" serentak Ghina dan Renata berbalik, mereka baru sampai koperasi sekolah. Adik kelas yang juga anggota Rohis memanggil mereka.

"Kakak, aku turut sedih denger berita itu. Aku nggak dapet, cuma dapat info dari temenku. Itu pasti bukan Kak Ghina 'kan?" katanya sedih.

"Iya bukan Sya, itu fitnah. Makanya ini, aku nemenin Ghina ke ruang BK, untuk bantu klarifikasi berita bohong itu," ucap Renata.

"Iya. Kak Ghina yang sabar ya. Semoga urusan ini segera selesai." Anggota rohis itu memegang tangan Ghina lembut. Sosok Ghina bagi gadis itu adalah panutan dan tentunya ia tak percaya jika sosok yang ia jadikan teladan berbuat tidak senonoh di sekolah.

Ghina tersenyum, dia menepuk pelan bahu anggota rohis yang bernama Syafiah itu. "Makasih ya Dek, do'akan Kakak."

Syafiah mengangguk sembari tersenyum. Ghina dan Renata melanjutkan perjalanan mereka melewati lorong kantor guru-guru dan berakhir tepat di depan ruangan Bimbingan Konseling yang sangat di -antikan- siswa maupun siswi. Mereka selalu mengecap orang-orang yang menginjakkan kaki ke ruangan angker itu, pasti adalah orang-orang yang bermasalah -negatif tentunya- walau sejatinya fungsi BK tidak hanya untuk itu.

"Bismillah." Ghina memutar kenop pintu. Beberapa siswi yang berlalu lalang ikut menatapnya yang mulai masuk ke ruangan di susul Renata di belakangnya.

"Duduk Ghina," titah Ibu Masyitah selaku guru BK. Bibirnya merah darah, bulu alisnya lentik. Tersenyum dengan elegan. Terduduk di sofa yang berhadapan dengan Fatih.

Ghina mendudukkan pantatnya di sofa yang berbeda dengan Fatih. Laki-laki itu hanya menatap lurus ke arah map absen orang-orang bermasalah yang terdapat di meja.

"Kalian pasti sudah tahu kenapa di panggil ke sini." Ibu Masyitah mengawali. Ghina hanya menunduk dengan Renata yang terus menggenggam tangannya.

"Iya Bu," balas Ghina.

"Coba ceritakan, kenapa kalian bisa melakukan hal seperti itu di sekolah?" Nada bicara Ibu Masyitah masih santai, namun terasa menekan bagi Ghina.

"Saya atau Ghina dulu yang bicara?" tanya Fatih.

"Fatih dulu."

"Yang harus saya luruskan pertama adalah kami tidak ada hubungan semisal pacaran, TTM atau apapun itu. Yang kedua adalah saya harap sekolah masih bisa objektif untuk nggak nuduh kita benar-benar ngelakukan hal itu. Yang ketiga, semua yang ada BC itu adalah hoax. Saya dan Ghina nggak pernah ngelakukan hal semacam itu."

"Ghina bagaimana tanggapanmu?"

"Saya bukan pencuri yang nggak mau ngaku. Karena memang saya bukanlah pencurinya. Jadi, tidak tepat melabeli saya gelar itu. Demikian juga, saya nggak ngelakukan hal semacam yang ada di BC itu. Kemarin siang, sepulang sekolah saya memang berdua sama Fatih di kelas. Saya piket, sedangkan Fatih nongkrong di dalam kelas entah ngelakuin apa. Saat saya menyapu diluar tiba-tiba sebuah bola kasti dari lantai dua gedung TKR terlempar hampir mengenai wajah saya, lalu Fatih yang saat itu hendak keluar langsung menghalangi bola itu dengan punggungnya. Lemparan itu terjadi hingga dua kali, kami memang berada dalam posisi berdekatan, tapi kami nggak melakukan ciuman atau berniat melakukan adegan seperti itu Bu."

Ibu Masyitah menghela nafas. "Jadi, kenapa di gambar kalian kelihatan berciuman?"

"Itu cuma keliatannya aja Bu, bukan fakta sebenarnya," kilah Ghina.

"Terus siapa yang ngelempar bola kasti itu?" tanya Bu Masyitah lagi.

"Ada Bu, mereka orang-orang TKR," jelas Fatih.

"Siapa?"

"Saya akan membawanya ke hadapan Ibu," jelas Fatih.

"Kamu jangan asal nuduh lo Nak." Ibu Masyitah mengingatkan. Fatih menyeringai

"Saya nggak asal nuduh, kalau perlu nanti saya cari buktinya kalau dia pelakunya."

"Tapi, tetap aja urusan ini sungguh fatal. Berita tentang kalian itu sudah tersebar di sekolah, jadi saya akan panggil orang tua kalian," jelas Bu Masyitah dengan tatapan miris ke arah Ghina tentunya.

"Bu, jangan panggil orang tua. Saya mohon." Ghina menatap mata Ibu Masyitah sendu.

"Nggak bisa Ghina. Mereka harus tahu persoalan ini, biar nggak kaget pas tahu dari orang lain. Jadi, harus ada koordinasi dengan pihak sekolah," tutur Ibu Masyitah, tangannya bergerak menyentuh dua amplop yang terdapat di dalam map berwana biru.

"Nggak bisa kah diselesaikan di area sekolah aja Bu? tolong jangan bawa-bawa mereka," mohon Ghina lagi. Sedangkan Fatih, hanya mengusap wajahnya kasar.

"Nggak bisa Ghina," kekeh Ibu Masyitah.

"Ini surat untuk orang tua kalian. Besok, harus datang, siapapun itu yang mewakili." Ibu Masyitah tidak mau tahu. Ghina lemas seketika. Apa yang harus dirinya lakukan? jika Ibunya tahu, ia khawatir penyakit Ibu kambuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!