05

"Fath, tolong bawa pelakunya sekarang!" tekan Ghina sembari menoleh ke arah Fatih. Laki-laki itu mendengus.

"Mana dia ngaku," ucap Fatih.

"Ya tapi 'kan setidaknya kamu tahu," desak Ghina lagi.

"Bu, berikan kesempatan pada kami untuk membawa pelakunya," ucap Ghina memelas. Ia menatap mata Ibu Masyitah dengan sendu.

"Silakan, tapi Ibu nggak pengen kalian bawa dia tanpa bukti. Dan surat ini, tetap harus di serahkan kepada orang tua."

Dan akhirnya Ghina mengalah, ia menerima surat itu dan hanya menatap Fatih dengan geram.

"Fatih!" panggil Ghina begitu mereka keluar dari ruang BK. Fatih yang keluar lebih dulu menoleh.

"Apa?" alis Fatih terangkat. Wajahnya seperti menikmati semilir angin yang berhembus dan itu membuat Ghina kesal. Fatih, teramat tenang menghadapi masalah besar ini.

"Ini yang kamu maksud kemarin? sebenarnya kenapa? kok bisa ada berita itu, siapa yang memfoto kita waktu itu?" tanya Ghina beruntun, ia tiba-tiba menjadi kesal kepada Fatih.

"Aku juga nggak tahu mereka bakal berbuat gini. Kemarin, pas kejadian itu, mereka sengaja foto kita. Dan yah ..." Fatih menggedikkan bahu.

"Bawa pelakunya sekarang juga ke BK!" pinta Ghina memaksa dengan wajah memelas. "Aku nggak pengen waliku harus datang ke sekolah dan tahu permasalahan ini Fath."

"Nggak bisa," kekeh Fatih dan berbalik, meneruskan langkah. Ghina mencegah lagi.

"Kenapa sih kamu nggak bilang aja siapa pelakunya, maka urusan beres. Surat ini nggak mungkin aku terima," geram Ghina.

Renata hanya menepuk pundak Ghina pelan.

Fatih berbalik dengan wajahnya yang kesal.

"Kamu kira aku pengen juga. Aku bisa aja bawa dia sekarang juga, tapi masalahnya kalau nggak ada bukti kalau dia yang ngelakukan?" Fatih menyeringai, "pikir Na. Kita bisa dituduh mencemarkan nama baik."

"Tapi 'kan kita bisa paksa dia ngaku," ucap Ghina.

"Nggak bisa Na, kamu nggak kenal mereka," pungkas Fatih.

Bibir Ghina terkatup, ia bingung harus melakukan apa. Rasanya ia tidak ingin pulang ke rumah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana respon Ibu dan Kakaknya nanti jika tahu permasalahan ini.

"Ren, aku nggak tahu harus gimana lagi," lirih Ghina dengan mata berkaca.

"Udah 'kan?" Fatih bersuara, menyadarkan Ghina. "Selama kita sudah jujur, itu sudah baik. Jangan menyalahkan keadaan," ucap Fatih dan berlalu dari sana.

Ghina melihat kepergian Fatih dengan nanar, matanya tiba-tiba menangkap siluet seseorang yang masuk ke ruang guru. Itu Ilham. Ghina tahu dari gaya rambutnya.

"Gimana nanti respon dia Ren? pasti sudah ngecap aku cewek nggak bener." Ghina sesegukkan. Renata kembali menggenggam tangan Ghina berusaha menguatkan.

"Ilham maksud kamu?" Renata menatap mata Ghina lembut. "Kalau dia cinta sama kamu, dia nggak akan percaya sebelum berita itu benar-benar terbukti."

Ghina menyeka air matanya. "Aku pengen ke toilet," katanya.

Saat mereka berdua kembali masuk ke kelas, beberapa teman sekelas mereka berbisik-bisik. Ada juga yang berusaha memberi senyum, tapi tatapan matanya miris.

Fatih duduk di kursinya dengan menyesap Lollipop. Sedangkan Riki, di sampingnya terus nyerocos, "jadi, gimana cara nyeret mereka ke BK?" tanyanya.

"Harus cari bukti, kalau dia pelakunya," ujar Fatih.

"Lacak nomor penyebar bc?" tanya Riki.

"Ya."

"Aku kasihan sama Ghina, cewek baik-baik jadi tercemar namanya." Riki menatap Fatih dengan serius. Posisi duduknya ia hadapkan ke arah Fatih.

"Kamu nyalahin aku Rik?" Fatih menoleh ke arah Riki yang seketika pura-pura batuk.

"Ya, kalau aku analisis dari ceritamu kemarin, salah kamu juga. Ngehalangin bola kasti biar nggak kena Ghina tapi caranya salah," ucap Riki santai dan kini menopang dagu.

"Itu refleks Ki," ucap Fatih.

"Ya refleks sih refleks." Riki berdecak, "Ya setidaknya dorong aja kek Ghinanya ke samping atau kemana."

"Ck, mereka aja yang sengaja manfaatin momen itu buat jatuhin aku Rik. Kayak nggak tahu mereka aja." Fatih mendengus pelan. Ia memukul kaca jendela dengan kepalan tangan, untunglah tidak pecah. Riki hanya menggeleng.

"Tapi, kamu nggak secara langsung libatin Ghina dalam masalahmu. Argh, aku sendiri jadi frustasi." Riki mengacak rambut, ia justru yang rasanya begitu iba melihat Ghina yang di bully, gadis itu terlalu baik mendapatkan bulian yang menghinakan itu. Dan dia tiba-tiba kesal dengan Fatih.

"Dia di bully si Fitri the geng pagi tadi di depan kelas. Mukanya udah mau nangis si Ghina. Astaga, aku nggak pernah liat wajah dia kayak gitu sebelumnya." Riki menceritakan kejadian tadi pagi. Karena ia turut menyimak dan memperhatikan. "Kamu udah minta maaf?" tanyanya.

Fatih hanya diam. Kepalanya ia longokkan ke jendela. Melihat pemandangan di luar kelas.

"Jangan bilang, kamu belum minta maaf Fath? astaga, se-lamturnya aku, masih bisa merasa bersalah Fath."

Mendengar Riki yang terus berceloteh membuat Fatih kesal dan melemparkan batang Lollipopnya ke wajah Riki. Laki-laki itu hanya meringis.

"Diam!" ancam Fatih yang membuat Riki memperbaiki posisi kursinya menghadap ke depan.

Mata pelajaran telah usai, namun Ghina dan Renata tak kunjung beranjak dari kursi mereka.

"Aku jadi takut pulang Ren." Ghina berucap lirih sembari merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya.

"Kamu mau nginep di rumah aku?" tanya Renata. Ia menghela nafas berat juga. "Aku sih pengennya nyaranin kamu buat nggak ngasihkan surat itu ke ortu, tapi keterlaluan ya?" tanya Renata. Ia menggaruk kerudungnya.

"Gimana ya Ren? aku nggak siap ketemu mereka," aku Ghina. Ia memijat keningnya pelan. Masalah ini, membuat pening kepalanya.

"Ya udah ikut ke rumahku dulu aja. Tenangin diri kamu ya?" saran Renata. Ghina akhirnya mengangguk.

Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit. Mereka berdua sampai di halaman rumah Renata.

"Ghina?" Ibunya Renata menyambut anaknya dan juga Ghina di depan pintu.

"Iya Bu, katanya mau main. Belum pulang sama sekali dari sekolah," balas Renata.

"Iya, nginep juga nggak papa kok. Ibu malah seneng," ucap -Ros- Ibunya Ghina.

Ghina hanya menanggapi dengan senyuman.

Renata menyuruh Ghina menenangkan diri dengan berbaring di kasurnya. Ghina menurut saja. Ia memejamkan mata.

Mata Ghina harus terbuka paksa saat dering telpon berkali-kali terdengar. Dia sudah bisa menduga, jika bukan panggilan dari Ibu berarti dari Kakaknya.

“Angkat gih, nanti ibu kamu cemas karena kamu belum pulang Na.” Renata berjalan ke arah nakas sembari membawa nampan yang diatasnya berisi teh dingin, terlihat dari gelasnya yang berembun.

“Minum dulu. Segarkan tenggorokanmu sebelum bicara yang sebenarnya pada ibumu," ujar Renata.

“Aku nggak siap. Ibu pasti kecewa sama aku. Beliau sudah percaya bahwa aku akan menjadi anak yang bisa menjaga diri, tapi sekarang—“ Perkataan Ghina terpotong oleh Renata.

“Hush, jangan suuzon dulu. Mungkin ibumu hanya ingin mengetahui keberadaan kamu. Cepet angkat atau aku yang angkat?”

“Baiklah, jangan, aku aja.” Mata Ghina menatap layar, ternyata bukan panggilan dari Ibu tapi dari Kakak laki-lakinya. Imran. Ghina mengangkat dengan ragu. Semua spekulasi negatif berkeliaran, semoga kabar fitnah tersebut belumlah sampai pada keluarganya, agar nanti saja dirinya yang menjelaskan pada mereka.

“Sejak kapan kamu diajarin untuk sengaja nggak angkat telpon dari orang tua huh? Dimana kamu sekarang? Pulang atau nggak aku jemput paksa.” Terdengar suara dengan nada marah di seberang.

“Aku di rumah Rena Kak. Maaf nggak memberi tahu ibu. Beliau pasti khawatir," jelaw Ghina bergetar.

“Aku nggak tahu kerjaan penting apa yang kamu lakukan dengan Rena. Tapi aku minta kamu pulang. S-e-k-a-r-a-n-g. Sebelum ibu bertambah khawatir.”

“Iya."

“Jadi gimana?” tanya Renata yang duduk di tepi ranjang.

“Aku juga bingung. Belum siap cerita yang sebenarnya. Tapi kenapa aku merasa galau sendiri, apa Fatih nggak galau karena masalah ini?” Ghina menggigit bibir bawah gusar.

“Mungkin Fatih sudah menjelaskan pada keluarganya. Dia ‘kan kalau di rumah ya menjelma jadi anak baik mungkin, jadi keluarganya tak akan percaya jika dia berbuat diluar batas," jelas Renata. Ia turut meminum teh es yang ia buatkan untuk Ghina. Tenggorokannya juga mendadak kering.

“Iya kamu benar. Ya udah aku pulang ya Ren, doakan aku. Jantungku berdebar entah kenapa. Aku takut."

“Mau aku antar?” tawar Renata dan beranjak mengambil kerudungnya yang tersampir di kursi belajarnya.

“Nggak, aku naik angkot aja," tolak Ghina. Ia memperbaiki kerudungnya yang meleot.

“Yakin?” tanya Renata dengan kening berkerut.

“Sepuluh menit perjalanan itu tidak jauh Ren," ucap Ghina dan beranjak dari ranjang. Lalu memasang kembali tas ranselnya di punggung.

“Baiklah. Hati-hati ya. Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Jangan sambil melamun," ucap Renata akhirnya dan mengantar Ghina sampai ke halaman rumah.

Ghina tetap tidak bisa tenang. Dadanya berdegup kencang seiring angkot yang terus berjalan mendekati rumahnya. Bahkan, dirinya sampai tidak fokus mendengarkan Ibu-ibu disampingnya yang sedari tadi berceloteh. Mengajak ngobrol. Ia hanya menjawab Ya atau gelengan kepala. Yang bisa ia tangkap adalah si Ibu menanyakan apakah ia sekolah di SMK Angkasa dan selanjutnya menanyakan tentang kenalkan Ghina kepada anaknya yang bernama Marwan.

"Nggak Bu, kurang tahu saya. Ibu bilang, dia jurusan TKR 'kan? saya nggak banyak kenalan di sana." Ghina meringis, semoga Ibu itu tidak melanjutkan pembicaraannya.

"Oh, jadi dia cuma sok narsis. Katanya terkenal. Mulut besar aja tuh si Marwan," kesal Ibu berwajah tembem dengan tubuh tambun itu.

"TKJ katanya paling banyak rakyatnya ya?" tanya Ibu.

"Iya Bu."

"Si Marwan itu punya rambut ikal, senyumnya ganjil, kalau ada kamu ketemu orang kaya gitu, pasti itu Marwan," jelas Ibu-ibu itu lagi.

"Iya Bu."

"Kamu setiap hari naik angkot?" tanya Ibu itu lagi.

"Iya Bu."

"Nah pinter itu, murah. Daripada si Marwan, ogah naik angkot, panas katanya. Mau naik motor terus. Jadi harus rebutan sama adeknya yang nggak terima."

Ghina meringis lagi, pikirannya benar-benar kacau. Ia sedang mencari-cari kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada kelurganya.

Angkot berhenti tepat di tepi jalan raya. Ghina yang merasa rumahnya tidak jauh dari sana, langsung turun setelah berpamitan sama Ibu-ibu tadi.

"Saya duluan ya Bu," pamit Ghina pada si Ibu-ibu yang tadi. Ia tiba-tiba merasa bersalah karena kurang merespon baik pembicaraan beberapa menit lalu.

"Iya."

“Assalamualaikum.” Ghina masuk ke dalam rumah minimalis yang bernuansa klasik milik warisan dari Kakek untuk ibunya.

Mata Ghina beralih menatap bunga Anggrek berpot itu diletakkan di atas rak yang membatasi antara ruang tamu dan kamar mandi luar. Ibunya memang menyukai bunga Anggrek, berbeda dengan dirinya yang lebih menyukai bunga Lily. Tak heran di samping kanan dan kiri rumah, dipenuhi oleh bunga kesukaannya itu. Ia menanamnya sendiri. Walau sempat di ganggu oleh Kakaknya.

Ghina berjalan ke ruang tamu. Ia melihat Imran -Kakaknya- sedang berbicara dengan seorang Dokter. Terlihat dari pakaiannya.

Ghina menunggu Kakaknya dan dokter selesai berbicara. Ia tersenyum kecil pada Dokter berusia setengah baya yang juga balik tersenyum.

“Selama Ibu bisa menjaga kesehatannya dengan anjuran yang saya sarankan tadi, insyaa Allah beliau nggak akan drop lagi.”

"Ibu..." lirih Ghina.

"Kalau begitu, saya pamit," ujar dokter itu.

Ghina menatap Imran memelas, namun laki-laki itu justru seperti mengabaikannya dan mengantar dokter hingga ke teras. Dan tak lama masuk lagi ke dalam rumah dengan tatapan dingin kepada Ghina yang masih tertunduk di sofa.

"Kakak udah tahu semuanya," ucap Imran dengan dingin, wajahnya datar sekali.

Ghina mendongak dengan gumpalan rasa bersalah di dadanya. Bahkan matanya terasa sangat panas begitu bertatapan dengan netra kelam Kakaknya yang paling tampan sedunia, menurut -tetangga sebelah rumah-.

"Kak..."

Kalau kalian suka ceritanya jan lupa tambah ke favorit ya, vote, like dan coment.

Salam hangat...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!