“Argh. Sialan. Siapa yang main curang gini. Awas aja kalau ketangkep orangnya.”
Fatih menatap tajam ke arah gedung berlantai dua yang terdapat di seberang kelasnya. Hanya terhalat oleh lapangan multiguna -Lapangan basket yang sekaligus dijadikan lapangan Voly dan Futsal- Dari sana ia dapat melihat empat orang laki-laki cengengesan.
Sedangkan Ghina, ia masih terkejut dengan kejadian memalukan tadi. Dan memilih masuk, tidak ingin membahasnya. Apalagi Fatih sudah mengatakan tadi jika tidak sengaja. Memang benar, tadi terlalu tiba-tiba.
Terdengar gesekan sepatu yang berlari cepat, Ghina melongok dari pintu. Fatih sudah berlari ke arah gedung TKR. Sedangkan beberapa orang siswa yang tadi berdiri di sana sudah tidak ada.
Fatih berlari menyusuri lorong dengan nafas ngos-ngosan. Tangannya terkepal, ia ingin melabrak siapapun yang berani-beraninya berbuat hal seperti tadi. Sayang, ia kalah cepat. Empat orang laki-laki itu justru turun bersamaan dari tangga dan melangkah ke lorong yang berlawanan dengan dirinya
"Sial!" umpat Fatih saat justru dirinya yang me-ngerem mendadak dan tidak jadi menaiki tangga.
"Woi!" panggil Fatih, terus mengejar.
"Mampus kamu Fatih!" teriak salah seorang siswa berseragam jurusan TKR yang masih dapat di dengar oleh telinga Fatih. Tangannya memasukkan ponselnya ke saku celana. Wajahnya menyeringai puas.
Mereka masih kejar-kejaran sampai di parkiran yang terletak tepat di belakang gedung Alat Berat. Parkiran di sekolah memang ada dua. Satu di belakang gedung Lab, dua di belakang gedung Alat Berat.
Drum
Suara dua motor berkejaran, mereka tertawa-tawa dan hanya memicing ke arah Fatih yang menatap mereka kesal.
"Haha, urusan kita belum selesai! besok lagi ya bye!" ucap salah seorang siswa yang bernama Lukman.
"Kurang ngajar kalian!" desis Fatih tertahan.
Fatih mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya apa yang tengah Geng Lukman rencanakan untuknya. Lalu, kejadian tadi. Apakah mereka memanfaatkan kejadian tadi untuk mengoloknya?
"Huh." Fatih membuang nafas kasar, ia segera menaiki sepeda motor N-maxnya dan melenggang pergi meninggalkan parkiran sekolah.
Sesampainya di depan gapura sebagai gerbang menuju pesantren Abinya. Fatih memelankan laju kendaraan. Terlihat santri seumuran anak SMP dan SD berlalu lalang. Ada juga yang tengah mengaji di amben kobongnya. Abinya memang pemilik pesantren yang sebenarnya tidak begitu banyak santrinya. Hanya sekitar seratus orang. Memiliki kobong (tempat tidur santri) sejumlah sepuluh kamar. Di tambah Masjid yang letaknya tepat di samping kobong.
Ia memarkir sepeda motornya di bawah pohon Mangga yang rindang, tepat di sebelah kanan rumahnya.
Dengan segera ia masuk ke rumah setelah mengucap salam.
Tidak ada yang menjawab salamnya. Karena Abinya sedang ada acara di pesantren Babussalam di Kintap. Sedangkan Umminya, ia tidak tahu keberadaannya. Mungkin di dapur. Ia langsung ke kamar dan memeriksa ponselnya.
Tangannya menggeser layar. Matanya membesar melihat gambar yang terpampang disana.
"Sudah aku duga." Fatih merebahkan diri di kasur.
"Ini masalah besar. Lukman sialan!" umpatnya.
Tok Tok
"Iya, Fatih ada," ucap Fatih sambil melirik ke arah pintu kamarnya.
"Udah pulang ternyata anak Ummi." Umminya Fatih melongok ke dalam.
"Ada apa Mi?" tanya Fatih sembari melepas seragam sekolahnya.
"Sehabis solat Ashar, Ummi minta kamu ambil gamis Ibu yang dijahit di tempat Ibu Muslimah."
"Harus sore ini ya Mi?" tanya Fatih, merasa enggan sebenarnya. Tapi, ia tak bisa menolak keinginan Umminya.
"Iya, besok mau di pakai untuk pengajian Ibu-ibu."
"Iya, tapi Fatih mau makan dulu ini. Laper."
"Ya udah ayuk ke ruang makan. Bibi Asih tadi sudah masakin balado Ikan nila kesukaan kamu."
"Oke."
Usai makan, Fatih ke Masjid berbaur dengan para santri untuk melaksanakan salat Ashar. Setelahnya, ia bersiap untuk ke rumah Bu Muslimah Narsih, penjahit langganan Ummi.
"Ayo Mi."
"Ummi nggak ikut, kamu nggak liat Ummi lagi ngapain?" Ummi Fatih yang bernama -Zainab- itu tampak tengah asyik menganyam tas dari plastik semacam kopi-kopi kemasan. Duduk di sofa ruang tengah dengan televisi yang menyala.
"Ini uangnya, kamu inget 'kan masih rumahnya?" tanya Umminya Fatih.
"Iya inget."
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, kini sepeda motor Fatih berhenti tepat di halaman sebuah rumah yang sisi-sisinya banyak di tumbuhi bunga Lily berwarna putih.
Di depannya ada pohon Jambu Air yang buahnya sudah merah-merah.
"Assalamualaikum," Fatih mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam." Seorang gadis dengan kerudung navy sedada keluar. Matanya membesar begitu melihat Fatih yang berdiri tegap di hadapannya.
"Ternyata ini rumahmu Na. Baru tahu aku, deket aja ternyata dari pesantren."
"Iya, mau ngapain kamu?" tanya Ghina datar dan tidak mau basa-basi dengan Fatih. Ia tahu letak pesantren milik Abi Fatih, ia juga tahu Kyai Zafran yang beberapa kali mengisi kajian di Masjid dekat rumahnya. Dan ia juga tahu, Fatihlah anaknya. Ayolah, Kyai Zafran itu cukup terkenal. Juga, murid-murid sekolah seringa membucarakan perihal Fatih yang ternyata anak Kyai tapi kelakukan -Naudzubillah- Hanya saja, Fatih yang tidak tahu jika Ghina selama ini sudah kenal lebih dulu dengan Abi dan Umminya. Juga, kalau Ghina ternyata anak dari Bu Muslimah, seorang penjahit yang menjadi langganan Umminya.
"Mau ambil jahitan."
"Oh tunggu disini." Ghina mengisyaratkan dengan tangannya agar Fatih tetap bertahan di teras rumah..
"Kamu nggak mempersilakan aku masuk dulu?" tanya Fatih dengan senyuman
"Idih, ngapain juga."
"Siapa Na?" tanya Ibu Ghina yang keluar dari dalam rumah.
"Ini anaknya pelanggan Ibu."
"Oh Fatih, masuk dulu Nak. Kok Bu Nyai nggak ikut?" tanya Ibu Ghina
"Tadi lagi sibuk bikin tas anyaman Bu."
"Oalah. Rajin ya Bu Nyai."
"Ibu masih inget muka saya ya, padahal baru sekali ketemu," ucap Fatih menggaruk tengkuk.
"Ya ingetlah, wajahmu itu mirip Kya Zafran versi muda."
"Bentar Ibu bikinkan teh dulu. Na, ajak Fatih duduk."
"Eeh, nggak usah repot-repot Bu, saya cuma mau ambil gamis Ummi," tolak Fatih halus, apalagi ketika ia melihat tatapan Ghina yang jelas-jelas tidak suka jika ia berlama-lama.
"Yah, padahal main-main dulu di sini nggak papa. Kalian satu sekolah 'kan?" tanya Ibu Ghina menatap anak perempuannya dan Fatih secara bersamaan.
Belum sempat Ghina menjawab, Fatih mendahului.
"Iya, kami sekelas Bu," balas Fatih.
"Oh, jadi teman sekelas. Akrab dong. Ghina nggak pernah cerita-cerita kalau sekelas sama anak Bu Nyai."
"Ih Ibu, udah lah. Cepet ambilkan gamis Umminya biar dia cepet pulang," Ghina menghentikan obrolan basa-basi itu. Agar Fatih segera pergi dari rumahnya.
"Maaf ya, Ghina memang rada sensi kalau ada laki-laki ke rumah. Selain Kakaknya," tutur Bu Narsih seraya mendekat ke arah mesin jahit yang terdapat di dekat jendela rumahnya.
"Oh, Ghina punya Kakak?" tanya Fatih. Bu Narsih tersenyum.
"Iya, cuma jarang dirumah. Tinggal di Mess."
Fatih manggut-manggut. Ibunya Ghina memberikan gamis Bu Nyai yang dibungkus plastik kepada Fatih.
"Ini Bu." Fatih menyerahkan uang kepada Bu Narsih.
"Terimakasih ya Nak. Sampaikan salam ke Bu Nyai dan Pak Kyai."
"Iya Bu, kalau begitu saya pamit." Fatih menangkupkan tangannya di depan dada. Lalu keluar rumah diantar oleh Ghina.
"Aku pamit Na."
"Hm."
Fatih menaiki sepeda motornya. Ia menatap Ghina membuat gadis itu risih.
"Na, kamu udah tahu tentang..." Fatih menghela nafasnya. "Nggak jadi. Nanti kamu tahu sendiri," katanya seraya menyalakan motor.
"Ih mau ngomong apaan dia." Ghina berdecak kesal.
Ghina kembali ke kamarnya. Ia mengecek ponsel, ada pesan dari Renata.
Renatul : "Sudah sampai rumah 'kan?"
Ghina : "Iya udahlah, khawatir banget."
Renatul : Khawatir dong, kalau kamu kenapa-napa, btw aku liat Ilham tadi di pasar."
Ghina : "Lah apa hubungannya sama aku?"
Renatul : "Barangkali kamu rindu."
Ghina : "Ih dasar Renatul, nyebelin. Sotoy."
Renatul : "Dia beli gorengan tadi.
Renatul : "Sama Sella."
Ghina : "Ya biar aja, mereka 'kan saudara."
Renatul : "Sepupu kali! bisa jadi mereka ngedate!
Ghina : "Su'uzon."
Renatul : "Hehe, dia nanyain kamu tadi Na.
Ghina : "Terus?"
Renatul : "Ih, kamu gak pengen tahu gitu?"
Ghina : "Ya iya terus gimana, ngomong apa?"
Renatul : "Ada deh, hahaha."
Ghina : "Dasar, boong nih."
Renatul : "Hahaha."
Ghina menatap kesal layar ponselnya. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Pikirannya teringat kejadian tadi siang di sekolah. Ia menggelengkan kepala, sungguh kejadian memalukan menurutnya.
Keesokan harinya, seperti biasa. Narsih sudah menyibukkan diri di depan mesin jahit. Nasi goreng sudah tersaji di meja makan.
"Bu, makan yuk?" ajak Ghina yang memeluk Ibunya dari belakang.
"Nggak, Ibu sudah cukup minum susu tadi. Kamu aja."
"Ih, Ibu harus rutin sarapan. Biar nggak mudah pusing."
"Ibu nggak pusing. Sana sarapan, nanti telat."
"Ih Ibu!" Ghina berdecak lalu kembali ke meja makan. Ia pasrah saja saat Ibunya tidak mau dibujuk. Memang keras kepala menurutnya. Sebagai anak ia sulit sekali mengubah keputusan apapun yang Ibunya buat.
"Sepi," lirih Ghina karena setiap hari yang ada dirumah hanya dirinya dan Ibu. Ayah? Ghina tidak ingin membahasnya. Ia muak.
Kakaknya -Imran Sanusi- jarang pulang jika bukan hari offnya.
"Loh udah selesai?" tanya Ibu Narsih pada anaknya. Ia menghentikan gerakan kakinya.
"Udah, aku berangkat dulu Bu."
"Ini uang jajan." Ibu Ghina menyodorkan yang dua puluh ribu.
"Uangku masih ada Bu."
"Ambil, Ibu nggak mau tahu!"
"Iya, makasih Bu."
Ghina menyalami tangan Ibunya dan bergegas keluar. Ia menyetop angkot di tepi jalan raya. Lalu menaikinya. Penumpang hari ini cukup banyak, menjadikan tubuh kecilnya harus terdempet di antara dua Emak-emak gendut. Ia hanya menghela nafas, sambil sesekali tersenyum kepada keduanya. Ya, pulang pergi ke sekolah, dirinya memang memakai angkutan umum. Karena sepeda motor metic bermerek beat milik Imran, dibawa laki-laki itu ke Mess.
Sesamapainya di sekolah, benar saja. Ia melihat jam dinding yang tertera di pos satpam sekolah, menunjukkan hampir pukul delapan kurang lima belas menit.
Pak Samson sudah berdiri di dekat gerbang sembari menyilang tangan di dada.
"Hm telat," katanya kepada Ghina.
"Belum Pak, masih lima belas menit," ralat Ghina dengan senyuman.
"Hampir, ayo masuk. Mau saya tutup."
Ghina segera masuk dengan cepat bersama dua orang siswi yang mengekornya dari belakang. Mereka melangkah mendahului Ghina, menoleh sesaat dengan sinis.
"Ada apa?" tanya Ghina tak mengerti. Ia hanya menggedikkan bahu. Ia berjalan melewati parkiran guru yang letaknya di belakang gedung Lab. Namun, sebelum ia berbelok ke lorong. Seseorang memanggilnya.
"Na! Ghina!" Renata berlari-lari kecil ke arah Ghina, melewati kantin milik Pak Suryo yang memang letaknya di dekat parkiran dan tepat di belakang kelas XII TKJ IV.
"Gawat Na!" Renata ngos-ngosan. Ia sedikit membungkukkan badan di depan Ghina.
"Ayolah sambil jalan, bentar lagi bel," ajak Ghina.
Tangan Renata menahan, ia kini memposisikan diri di depan Ghina.
"Jangan lewat lorong depan bahaya!"
"Kenapa sih Na? bicara yang jelas, jangan buat aku kaya orang bego." Gina mendengus.
"Kamu nggak tahu kabarnya?" tanya Renata dengan matanya yang membesar.
"Kabar apa?" Ghina memutar bola matanya malas. Renata terlalu bertele-tele menurutnya.
"Broadcast yang tersebar ke seantero sekolah. Ramai juga dibahas di grup Rohis."
"Tentang apa?" desak Ghina tak sabaran.
"Eh bentar, kita lewat belakang aja." Renata berjalan memutar arah, melewati jalan belakang yang tadi di laluinya. Mereka tersenyum sekilas saat melihat Pak Suryo dan istrinya yang lagi sibuk menjajakan dagangan mereka.
"Aku tahu kamu itu tenang Na orangnya. Jadi, jangan kaget." Renata menghela nafas. "Broadcast itu isinya foto kamu sama Fatih lagi ciu***! oke, aku butuh penjelasan dari kamu Na, sekarang!"
Hai-hai...
kalau kalian suka ceritanya, vote dong, like + coment juga
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments