02

"Hai, Na!"

Fatih memberikan seringaiannya yang menyebalkan, membuat Ghina lantas membuang muka.

“Wah, kamu ganti gaya rambut Fath?” tanya Sella yang diam-diam memperhatikan penampilan Fatih yang berbeda hari ini. Rambutnya yang biasa menutup kening, kini dibiarkannya ke atas. Memperlihatkan jidat kuning langsatnya. Ghina dan Renata ikut memperhatikan sekilas.

“Iya dong. Gimana? Makin ganteng ‘kan?” Fatih berkata dengan percaya diri.

“Di sini bukan tempat untuk pamer ketampanan. Tapi untuk ngerjain tugas.” Interupsi dari Ghina membuat Fatih menoleh ke arahnya.

“Cewek se-alim Ghina aja ngakuin ketampananku," godanya

“Iya kamu emang tampan banget sih Fath. Dengan gaya rambut baru kamu itu, bisa-bisa adek kelas klepek-klepek,” ucapan Fatih ditanggapi Sella dengan tatapan berbinar.

“Haha, kamu juga sekarang lagi klepek-klepek ‘kan sama aku? Tapi maaf Sel, kita hanya teman sekelas nggak lebih.” Fatih mengibaskan tangannya di depan. Ghina yang sejak tadi sudah menahan amarahnya menggebrak meja. Semua murid yang tadinya ribut dan berbicara masing-masing terdiam. Miss Ingrid yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sembari tersenyum-senyum sendiri juga turut terdiam. Lalu menatap ke salah satu kelompok yang letaknya paling ujung.

“What’s wrong guys?” tanyanya. Miss Ingrid memang selalu memanggil muridnya dengan ‘guys’. Katanya agar lebih santai dan dekat dengan murid-muridnya.

“Not Miss, that’s okay. Just, we just litle discuss and felt greget,” balas Ghina dengan senyuman meringis.

“Oh, you’re so fighting guys. Stay calm.”

“Yes Miss.”

“Fatih, sekali lagi kamu ngomong nggak penting. Aku bikin kamu kebagian dialog satu kali doang!” Ghina mengancam, sedangkan Fatih hanya menggedikkan bahu tidak peduli.

“Udah Na.” Renata berusaha menghentikan kemarahan Ghina. Bahunya naik turun dan Rena hanya menepuk-nepuknya pelan. Sedangkan Sella hanya menatap Ghina kurang suka.

“Udahlah, kalau mau cepet. Ya segera di kerjakan, jangan cuma ngomel,” ketus Sella yang dihadiahi tatapan datar dari Ghina.

Setelah selesai mendiskusikan tentang dialog yang akan mereka peragakan di depan kelas, akhirnya sampailah pada saat-saat mendebarkan. Satu-satu masing-masing kelompok dipanggil secara acak oleh Miss Ingrid. Beberapa kelompok sudah berjingkrak pelan dengan dada membusung, memperlihatkan pada kelompok lain bahwa mereka telah hafal script yang sudah mereka rancang.

Sedangkan kelompok Ghina, masih berputar dalam pembuatan script karena beberapa kali Ghina melakukan revisi, menurutnya dialognya masih banyak yang keliru dan kurang tepat.

“Astaga, cepetan Na. Kamu tuh nggak usah terlalu perfeksional, bikin capek aja.” Sella menghela nafas kasar karena merasa dirinya ingin segera menyudahi diskusi berkepanjangan itu.

“Agree! Mending langsung praktik aja.” Fatih ikut berkomentar.

“Bentar, masih di cek,” kata Ghina, matanya tidak beralih dari selembar kertas yang sudah berisi coretan script.

“Kayanya udah deh Na.” Renata juga ikut menyela. Ingin segera menyelesaikan.

“Ini udah bener pake ed karena past tense. Ini juga udah bener pakai tobe am karena present. Udah, dari tadi aku baca. Udah pas semua.” Fatih kembali berucap dengan tangannya yang menunjuk-nunjuk kertas di tangan Ghina, kepalanya sedikit miring karena ia duduk tepat di sebelah Ghina walau sedikit mengambil jarak.

“Iya tahu. Ayo segera prakek.”

“Team six!” pekik Miss Ingrid membuat Ghina, Renata, Sella dan juga Fatih seketika berdiri. Mereka berjalan ke depan dan berdiri menghadap murid-murid lain. Dengan dialog berbahasa Inggris yang sudah mereka buat akhirnya tidak sia-sia. Mereka mengucapkannya dengan lancar tanpa terbata.

“Applause for team six!” seru Miss Ingrid membuat suasana kelas riuh dengan tepukan tangan.

“Hidup Fatih!” suara Riki –teman dekat Fatih- nyeletuk.

“Riki, next time please correct your speak," sela Miss Ingrid.

Riki yang tadi mengangkat kepalan tangan girang sembari menatap Fatih hanya merengut. Di antara sekian banyak temannya, memang hanya dirinya yang kurang fasih dan tentunya terbata dalam pengucapan dialog berbahasa Inggris.

“Yes Miss,” lirihnya dan kembali terduduk.

Memasuki jam istirahat, seperti sudah menjadi kebiasaan. Ghina dan Renata pergi ke toilet untuk menuntaskan hajat buang air kecil.

"Fatih itu paling bagus deh speak-nya kalau di kelas." Renata mulai bicara. "Nggak rugi kelompokkan sama dia," pujinya lagi.

Ghina menoleh dengan cebikkan, "Sekarang kamu jadi bagian pengagum dia?" Ghina tersenyum sebelah, "Ck, kalengan juga ternyata."

"Eh, siapa bilang aku nggak kagum. Aku salut sama dia, tapi ya nggak kaya cewek-cewek lain atau adik kelas yang sampe ngejar-ngejar cintanya," ralat Renata tak terima.

"Kalau dia cinta sama kamu? nembak kamu? mau?" berondong Ghina. Renata menggeleng-geleng.

"Ya nggak lah, bukannya kita udah komit nggak pacaran?" Renata kembali mengingtkan Ghina bahwa dirinya sudah benar-benar berubah, tidak seperti dulu asal mengagumi banyak cowok lalu berhayal ingin jadi pacar mereka.

"Nah, bagus dong. Jangan muji dia didepanku."

"Ih kamu iri nih?"

"Nggak lah, ngapain juga."

"Ck, sudahlah damai aja sama Fatih. Dia orangnya enjoy aja menurutku. Selama kita sekelas, aku liat dia baik-baik aja. Ya walau nyebelin sih."

"Aku nggak ngajak musuhan."

"Faktanya gitu."

"Itu kan gara-gara rokok doang. Lagian udah masa lalu."

"Lah yang kamu nggak sengaja nabrak dia setelah dari kantin belakang, terus seragamnya kena minuman kamu. Itu 'kan masalah juga?"

"Dianya aja yang lebay. Masalah kecil di besar-besarkan." Ghina mendengus, "Ya seharusnya aku minta maaf waktu itu. Tapi ya sudahlah."

"Nah 'kan nyesel? akhirnya harus terus berurusan sama dia." Renata menyeringai.

"Sudah terjadi." Ghina menggedikkan bahunya.

Usai berkaca sekitar lima menit, bergantian tentunya. Ghina dan Renata pergi menuju kantin yang letaknya di belakang kelas mereka. Walau di belakang kelas TAB juga ada, lebih dekat dari posisi mereka sekarang. Namun, mereka tidak mau. Khususnya Ghina, karena ia tahu kantin di sana langganan Fatih. Mengapa ia tahu? karena setiap ia ingin makan menu yang tidak ada di kantin Pak Suryo dan memilih ke kantin Pak Mamat -langganan Fatih- Ghina pasti menemukan Fatih dan Riki tentunya di sana.

"Mau makan mie?" tanya Renata yang hendak memesan Mie goreng. Mereka kini sudah duduk di kursi panjang dengan menghadap meja yang panjang pula.

"Aku gorengan aja," tunjuk Ghina pada nampan di depannya. Ada bakwan, tahu isi dan mendoan. Masih mengepul. Memang sengaja langsung di sediakan di meja oleh Pak Suryo, agar siswa-siswi yang datang ke kantinnya lebih mudah untuk mengambil jajanan gorengan. Tentunya, ia juga ingin agar masyarakat sekolah jujur, membayar sesuai dengan jumlah yang dimakannya. Jadi, ia tahu saja beberapa siswa yang diam-diam tidak jujur. Walau jarang.

"Oke. Bu Mie goreng satu, es teh satu," ucap Renata pada istrtinya Pak Suryo. "Minumnya es teh ya Bu, Na kamu mau minum apa?" tanya Renata.

"Es teh juga.

"Es tehnya dua Bu." Ibu kantin mengangguk dengan senyuman.

"Mana Pak Suryo Bu?" tanya Renata. Celingkukan, karena tidak melihat laki-laki tua itu.

"Lagi ngambil pisang, kehabisan."

"Oh." Renata manggut-manggut. "Lah, pegawai laki-laki kemarin kemana?" tanyanya.

"Dia nggak setiap hari kerja di sini. Saat nggak sibuk aja," ucap Ibu Mari. "Kenapa nyariin? Ibu bilangin nanti."

"Hah? jangan-jangan. Saya cuma tanya doang." Renata menggaruk kerudungnya dan cengengesan lalu kembali duduk di samping Ghina.

"Kamu kangen sama karyawan cowok itu?" tanya Ghina sembari mencomot mendoan.

"Ih apaan, nggak ah." Renata berkilah.

"Susah ya kalau orang mudah kagum mah," komentar Ghina.

"Nggak kagum, cuma tanya-tanya aja tadi. Nggak ngeliat, kan rasa ada yang kosong." Renata menyadari ucapannya, ia menggeleng cepat. "Dia 'kan tiga hari sudah kerja di sini, selama itu pula kita ngeliat dia wara-wiri disini, ya aku heran lah tiba-tiba nggak ada."

Ghina tertawa, "alesan," decaknya.

Setelah Mie Goreng dan es teh tersaji. Renata menyantapnya, juga Ghina yang sudah menghabiskan dua mendoan dan satu pisang goreng. Mereka masih mengobrol sampai tiba-tiba datang geng songong -menurut Renata- dan tentunya dia sangat tidak suka.

"Gila, sok perfek banget dia. Dia siapa sih sok-sokan nggak mau kelompokan sama Jenius Fatih." Suara Sella kencang yang duduk bersama Fitri dan Melani.

"Pencitraan doang." Fitri berkomentar. Ghina menghentikan acara makannya. Ia tahu mereka menyindir siapa.

Renata hanya menggeleng, "Kalau aku nggak lagi makan, udah aku ubek-ubek mereka."

"Pesan apa guys?" tanya Sella.

"Aku Mie soto banjar," ucap Fitri sembari mengangkat kakinya.

"Aku makan manisan buah aja. Diet." Melani berjalan ke arah meja yang di sana sudah ada beberapa manisan buah yang dibungkus plastik.

Sella berjalan melewati Ghina dan Renata yang fokus makan. "Astaga, gimana bisa Ilham bisa suka sama dia."

Masih bisa di dengar Ghina. Namun, Ghina tetap tidak menggubris. Malas.

Setelah pesanan Sella dan kawan-kawan tersaji, mereka melanjutkan mengobrol.

"Terus pas bikin script lama banget lagi. Koreksinya berkali-kali. Padahal dialognya ringan banget. Astaga."

"Hah? masa'?" Fitri seperti antusias. Hanya ingin ikut mengejek. "Nggak becus kayanya dia sebenarnya."

"Iya, padahal dialognya cuma harus ada past tense sama present aja. Hadeh parah," ejek Sella dengan matanya yang mengerling ke arah Ghina.

"Gaya-gayaan kali di depan Fatih," ucap Fitri.

Sedangkan perempuan yang bernama Melani tampak malas menimbrung dan hanya fokus dengan buah mangga yang sudah dijadikan manisan itu.

"Caper gitu?"

"Barangkali."

Renata menepuk meja. "Oi Na, telingaku lama kelamaan sakit di sini. Udah selesai kan makannya? Yuk pergi!" ajak Renata, lalu berjalan ke arah Ibu Mari, membayar tagihan makanannya dan juga Ghina.

"Dasar cewek-cewek lamtur," katanya sebelum benar-benar pergi.

"Sebel banget sama mereka," kesal Renata.

"Udahlah, aku males ngeladenin juga," ucap Ghina dan mereka kembali ke kelas.

Hingga mata pelajaran usai, Renata pamit pulang lebih dulu, karena akan menjemput Ibunya di pasar. Sehingga ia tidak bisa menemani Ghina piket.

"Maaf ya Na, Ibuku jualan sampe sore soalnya."

"Iya nggak papa. Minggu ini, aku bantu jualan lagi."

"Tapi Na."

"Nggak ada tapi-tapi."

Renata mengangguk pasrah, Ghina memang keras kepala. Ia menyalami sahabatnya itu dan pergi.

Ghina memang lebih suka mengerjakan piketnya di waktu sore, karena besoknya jika dirinya terlambat, hatinya akan lega karena sudah menunaikan kewajiban.

Tugas piket memang terlihat sepele, tapi menurut gadis itu tidak. Karena hal tersebut merupakan nilai pendidikan yang secara tidak langsung di terapkan sekolah kepada setiap murid. Dengan begitu, siswa maupun siswi dapat belajar bertanggung jawab terhadap tugasnya. Jika dibiasakan sejak sekolah, maka setelah berlanjut ke jenjang selanjutnya dan tugasnya tentu lebih besar, maka akan mudah saja untuk menjalankannya.

Disamping itu, Ghina juga mengindari piket bersama Fatih. Dia satu tim dengan Fatih. Ghina bangkit dari duduknya, semua teman sekelasnya sudah pulang. Saat ia hendak mengambil sapu ke belakang, ia terkejut mendapati seseorang yang masih duduk dengan santai di kursinya.

“Kenapa kamu masih di sini? Jangan bilang kamu masih ingin belajar Fath?” tanya Gbina bertaya padanya yang masih setia memandangi sesuatu di lantai bawah sana.

Seolah tahu kebiasaan Fatih yang getol sekali belajar untuk mata pelajaran yang di sukainya, Matematika. Ya, jika Mister Arif mulai memberikan materi, dia selalu aktif bertanya, bahkan sering membuat guru laki-laki itu pusing sendiri karena pertanyaan Fatih yang bertubi. Walau Matematika berisi rumus, tapi tetap saja, kesulitan dalam mengaplikasikan rumus atau mencari rumus yang tepat pasti ada. Tapi, Fatih seperti jagonya. Selalu maju di garda terdepan.

“Apa peduli kamu? Ah ya, masih belum puas dengan hadiahnya?” telunjuknya mengarah ke bibir Ghina yang mendelik kesal. Berurusan dengan Fatih memang hanya akan menjadi boomerang dalam hidupnya.

“Ya udah deh aku nggak pengen basa-basi. Yang jelas, aku mau piket. Besok kan jadwal tim kita. Kalau aku telat, aku sudah piket duluan. Jadi kamu minggir, silahkan keluar dari kelas. Aku mau menyapu kolong kursimu.”

Ghina mengambil sapu dan mulai menyapu debu-debu dilantai.

“Suka-suka aku dong.”

Ghina mulai kesal meladeninya. Lantas menyapu dengan kasar kolong kursi Fatih. "Dari pada bengong, mending ikut piket," sindir Ghina. Fatih yang menengok ke jendela kembali menolehkan kepalanya ke arah Ghina, alisnya terangkat sebelah.

“Kalau kamu masih suka ikut campur. Aku nggak akan berhenti bertindak seperti tadi pagi lagi. Jangan jadi cewek sok berani. Kalau kamu sakit, aku nggak akan bertanggung jawab.” Dia berkata dengan nada dingin dan menusuk.

“Selama yang aku lihat keburukan. Aku akan tetap buka suara. Nggak peduli dengan ancamanmu. Fath, kamu itu anak Kyai, kenapa kelakuanmu buruk begitu. Apa sih yang kamu inginkan?”

Fatih menatap Ghina tajam. Mulutnya masih setia mengunyah permen karet.

Ghina tidak peduli, ia tetap melanjutkan aktivitasnya. Mereka hanya terdiam sampai Ghina sudah sampai menyapu di teras depan kelas.

Fatih sudah mengenakan ranselnya bersiap untuk pulang.

Ia menoleh ke arah Ghina yang berdiri di depan pintu.

"Keras kepala," cibir Fatih yang membuat Ghina menatapnya kesal.

"Awas!"

Tiba-tiba Fatih mengurung Ghina di depan sebelah daun pintu yang tertutup. Sampai-sampai tubuh Ghina terbentur.

Wajah Fatih bahkan sangat dekat dengan wajah Ghina.

Sebuah suara kembali terdengar berdegum. Fatih justru semakin hampir menempel. Ghina juga terkejut, ia melihat dua bola kasti yang bergelinding-gelinding.

“Aaa, astagfirullah.” Ghina berteriak, lalu mendorong tubuh Fatih dengan sapu. Fatih terkesiap sambil memegang perutnya.

“Aku nggak sengaja,” katanya sembari menjauh beberapa langkah. Lantas menoleh ke samping kanan dan kiri.

Ghina merapikan seragamnya, tidak luput dari memperhatikan tangan Fatih yang memegang pundak.

Fatih melihat ke arah lantai dua, tempat dimana ruangan kelas TKR berada.

“Argh. Sialan. Siapa yang main curang gini. Awas aja kalau ketangkep orangnya.”

NB.

TAB : Teknik Alat Berat

TKJ : Teknik Komputer Jaringan

TKR : Teknik Kendaraan Ringan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!