Nadin menghabiskan seperempat burger-nya dalam sekali gigitan. Dia baru saja sampai di gedung Athena, setelah menyelesaikan tur keliling jawa selama beberapa hari ke belakang.
Waktu masih menunjukkan pukul satu, tapi dia merasa sangat lelah. Dia pun langsung merebahkan diri di sebuah ruangan yang disediakan untuk tempat beristirahat para artis. Sebuah ruangan yang diisi dengan sofa, karpet, televisi dan berbagai makanan. Tampak seperti sebuah ruang keluarga yang sangat luas.
Nadin masih menikmati makanannya sembari merebahkan diri pada sofa dan menonton televisi. Melihat tayangan fashion show, di mana Juna tampil sebagai salah satu model.
Tiba-tiba, channel televisi berganti dengan sendirinya. Begitulah yang Nadin pikir sebelum menyadari kehadiran Axel di belakangnya. Laki-laki itu melompat ke atas sofa di samping Nadin. Lalu mengambil beberapa kentang dari dalam box yang ada di pangkuan Nadin.
“Hei!” protes Nadin. Padahal dia sedang ingin beristirahat tanpa gangguan.
“Ngapain nontonin acara saingan,” celetuk Axel. Tangan kanannya menyuapkan kentang goreng, sementara tangan satunya masih menggenggam remot tv.
“Kenapa sih, kamu muncul terus setiap aku lagi istirahat?”
“Kamu sendiri ada di sini kalau lagi istirahat doang. Selain itu, pasti ada acara di luar. Jarang-jarang kan, kita ketemu.”
“Kak, Kak Ramos!” Nadin memanggil si ketua Hybrid yang baru saja masuk ke dalam ruangan. “Ini membernya bawa pergi, dong.”
Ramos hanya tertawa kecil sembari berjalan menuju ke arah kulkas. Mengambil sebotol air minum dan meneguknya. Para member yang lain pun baru saja tiba di ruangan tersebut.
“Pantesan dia buru-buru ke sini. Ternyata tahu ada kamu.”
“Sabar ya, Kak. Punya member kayak gini. Pasti repot.”
“Dia sih, mana berani sama Kak Ramos. Yang repot itu kita, pas Kak Ramos lagi gak ada,” sahut Bintang—si main vocal Hybrid berambut biru. Dia satu-satunya member yang berumur sama dengan Axel juga Nadin.
Orang yang dibicarakan tidak berkomentar apa-apa. Masih fokus menatap tv sembari terus mencomoti kentang goreng milik Nadin. Sudah tidak aneh melihat dia selalu menempeli artis-artis cantik di Athena. Tapi, tidak banyak yang sadar kalau perhatiannya kepada Nadin agak berbeda. Mungkin hanya Ramos yang menyadarinya.
Mungkin karena dari sekian banyak perempuan, Nadin menjadi salah satu yang tidak terpikat dengan penampilannya. Justru dia sering dibuat marah-marah karena Axel tidak pernah berhenti membuatnya kesal. Nadin sendiri tidak pernah tahu kenapa lelaki tersebut seperti itu padanya. Hanya berpikir karena merasa seumuran, jadi Axel merasa lebih santai di sampingnya.
“Oiya, turmu sudah selesai ya?” tanya Ramos. Dia duduk pada salah satu kursi dekat kulkas.
“Iya. Tadi pagi terakhir.”
“Lumayan lama ya, kayaknya seminggu lebih gak lihat kamu.”
Nadin mengangguk. “Lumayan. Dari ujung Barat ke ujung Timur. Sampai ngerasa kangen sama sofa Athena.”
“Bukan sama aku?” celetuk Axel.
“Jangan ngarep, lu!” Ve, sang main dancer menoyor kepala Axel dari belakang. Rambut putih bergelombangnya dipotong pendek sebahu. Tubuhnya paling pendek, tapi sebenarnya berumur satu tahun lebih tua daripada Axel. “Jangan suka gangguin cwek yang udah punya pacar. Lagian kalau gak punya pacar juga, Nadin mana mau sama kamu. Iya gak, Din?”
Nadin mengangkat jempolnya tinggi pertanda setuju.
“Masih pacaran ini. Ngarep boleh, kan? Lagian udah lama gak ketemu, paling pacarnya jalan sama cewek lain.”
“Eh, sembarang! Pacar aku setia, gak kayak kamu!” Nadin meninju lengan Axel cukup keras. Tapi justru dia yang sedikit meringis karena otot Axel lebih kuat.
Nadin pun bangkit dari duduknya. “Aku duluan ya semua.”
“Kalau putus bilang-bilang ya,” ucap Axel, yang langsung dibalas dengan lemparan sebuah bantal.
Awalnya, Nadin berpikir untuk pulang ke apartemen untuk menaruh barang-barang. Tapi dia merasa masih terlalu siang untuk pulang. Jadi, sembari berjalan menuju ruangan Tyo, dia memikirkan tujuannya setelah ini.
Hanya ada dua tempat yang terpikirkan, rumah sakit tempat ibunya berada, atau ke tempat Juna. Tapi secara lokasi, jarak menuju gedung DC-Manajemen lebih dekat dibandingkan dengan rumah sakit. Nadin berpikir untuk menemui Juna lebih dulu sebelum ke tempat ibunya. Tapi, sejak tadi pagi chat dia bahkan belum dibalas.
‘Apa Kak Juna lagi sibuk, ya?’
Hampir sepuluh hari mereka berdua tidak bertemu. Tapi masih bertukar kabar lewat telepon atau chat. Namun tiga hari ke belakang, Juna memang sedang sulit dihubungi. Dia pun sedang mendapatkan banyak pekerjaan baru belakangan ini.
“Kak, aku mau ambil barang-barang ya.”
“Mau pulang sekarang?” tanya Tyo yang tampak sibuk di balik mejanya.
“Iya. Mungkin nengok ibu dulu ke rumah sakit.”
“Aku panggilkan dulu sopir buat angkut barang kamu.”
Nadin duduk di atas sofa, masih sambil memandangi layar ponselnya. Berharap mendapatkan chat masuk dari Juna. Padahal dia melihat Juna baru saja online satu jam yang lalu. ‘Mungkin dia belum sempat balas chat,’ pikirnya.
Namun, entah kenapa Nadin merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasa sebelumnya. Ada setitik kekhawatiran dalam hati. Dia masih terus berpikir kalau semua itu bersumber dari rasa rindu, karena dia belum pernah tidak bertemu dengan sang pacar dalam waktu cukup lama.
“Oiya, aku sudah mengosongkan jadwal kamu buat beberapa hari ke depan. Kamu istirahat aja dulu ya.”
Selang beberapa detik, Tyo masih belum mendapatkan tanggapan apa pun dari Nadin. Saat melirik ke arah wanita tersebut, dia mendapatinya tengah termenung menatap ponsel dengan pandangan kosong.
“Nadin?”
“Iya, Kak?”
“Kamu gak denger kata-kata aku
barusan?”
“Denger, kok. Lagi manggilin sopir ke sini, kan?”
Tyo memberikan tatapan penuh tanya. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Nadin masih tampak baik-baik saja. “Kamu lagi gak enak badan?”
“Enggak kok, Kak. Kalau capek sih iya.”
“Ya udah kamu langsung istirahat ya. Beberapa hari ke depan udah aku kosongin jadwal.”
“Oke. Makasih, Kak.”
Nadin kembali termenung menatap ponsel hingga masuk ke dalam mobil, dan selama di perjalanan. Saat mobil berhenti di lampu merah, mendadak dia berpikir untuk mengganti tujuan. “Pak, mampir ke DCM dulu ya,” ucapnya pada sang sopir.
Nadin mengetikkan sederet pesan kepada Juna, mengabari bahwa dia akan mampir ke tempatnya. Tapi chatnya hanya centang satu.
***
“Juna ada di ruangan gak ya?” tanya Nadin kepada resepsionis DCM.
“Kalau gak salah udah pergi daritadi sih, Mba.”
“Ada kerjaan?”
“Hm… saya kurang tahu. Tapi Pak Ardit ada di ruangan, sih.” Pak Ardit adalah manajer Juna. Tentu dia tidak akan
ada di kantornya jika Juna sedang ada pekerjaan di luar.
“Eh, kamu tau gak tadi Mas Juna ke mana?” tanya si resepsionis wanita, kepada seorang rekannya yang sedang fokus pada layar komputer sejak tadi.
“Kayaknya pulang sama pacarnya,” jawab si resepsionis laki-laki. Dia sama sekali belum menyadari bahwa Nadin-lah yang baru saja datang.
Resepsionis wanita langsung memukul punggung rekannya—hingga dia menoleh ke belakang. “Aduh, apa, sih!” protesnya. Lalu dia berdiri dengan agak terkejut saat menyadari keberadaan Nadin. “Eh, siang, Mba Nadin.”
“Tadi Juna pergi sama siapa memangnya?”
“Em, saya kurang tahu, sih. Tapi keliatannya sama perempuan. Saya pikir tadi Mba Nadin.”
“Oh… Makasih ya.”
Akhirnya, Nadin berbalik arah ke pintu masuk, berniat kembali ke parkiran mobil. Dia mengecek chat Juna yang masih tampak belum dibaca.
Kali ini, Nadin mulai merasa cemas, karena tidak biasanya Juna sampai tidak mengabari sama sekali. Kalau memang sedang sibuk, dia pasti memberitahu.
Perasaan cemas pun semakin menjadi-jadi, hingga Nadin berada kembali di dalam mobil. “Sekarang langsung ke rumah sakit, Mba?” tanya si sopir.
“Maaf, Pak. Saya mau mampir ke apartemen Kak Juna dulu ya.”
Mobil pun melesat melewati jalanan ibukota yang cukup lenggang hari ini. Langit yang agak mendung membuat udara tidak terasa terlalu panas. Keadaan yang membuat semua orang pasti merasa nyaman. Meski, tidak begitu bagi Nadin.
Nadin melangkah dengan agak cepat saat turun di depan lobi apartemen. Lalu melesat menuju ke arah lift. Menunggu dengan tidak sabar karena semuanya masih digunakan.
Saat lift sebelah kiri terbuka, Nadin melesat dengan cepat. Tanpa sadar ada orang yang baru saja keluar dari dalam sana. Seorang wanita cantik berbadan tinggi berambut panjang. Mereka bertabrakan cukup keras. Untungnya tidak sampai membuat keduanya terjatuh.
“Aduh, hati-hati, dong!” bentak si wanita berlipstik merah menyala itu dengan ketus. Nadin yang merasa bersalah mengangguk-angguk sembari meminta maaf.
Lift pun naik dan berhenti di lantai dua puluh. Nadin berjalan terburu-buru menuju kamar paling ujung. Lalu menekan belnya.
Setelah tidak mendengar ada respons dari si pemilik, dia kembali melakukan hal yang sama. Saat itu, barulah terdengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Membuat Nadin merasa agak lega.
Wajah Juna pun tampak dari balik pintu. Dia agak terkejut melihat Nadin yang tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya.
“Kamu gak kenapa-napa, Babe?” tanya Nadin langsung. Dia pun agak terkejut karena melihat wajah Juna tampak pucat.
“Kenapa gak bilang dulu kalau mau ke sini?”
“Udah! Kamu sendiri yang gak balas.”
“Oh, ponselku kayaknya mati. Lupa dicharge.”
Nadin pun masuk ke dalam apartemen Juna. Menahan berbagai pertanyaan yang ingin dilontarkan hingga lelaki itu selesai mengunci pintu dan kembali ke ruang tengah.
Tanpa mengatakan apa pun, Nadin memegang dahi Juna yang ternyata terasa panas. Pantas saja wajahnya tampak sangat pucat. Kaos putih yang dikenakannya terbasahi oleh keringat.
“Kamu sakit ya? Sudah makan? Ada obat gak?”
Nadin yang panik mulai berjalan ke sana ke mari, mencari kotak obat di tiap laci yang ada.
Juna hanya diam dan berjalan mendekat dengan langkah gontai. Dia langsung memeluk Nadin dari belakang, dan bersandar pada bahu mungilsang kekasih sembari memejamkan mata. “Nanti juga sembuh,” ucapnya pelan.
“Kamu pasti lupa gak minum vitamin ya, sampai ambrug kayak gini.”
“Mungkin efek udah lama gak ketemu kamu…”
Nadin tertawa kecil. Rasa cemas yang semula dia rasa pun perlahan menghilang. ‘Ternyata memang efek rindu,’ pikirnya.
“Aku juga kangen sama kamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Flying-pan
Nah loh nah loh nah loh 🤪
2021-06-07
0