“Ibu! Aku datang!” Nadin melompat kecil ketika memasuki sebuah ruangan serba putih. Memeluk sang ibu yang tengah berbaring di atas ranjang—seakan umurnya masih sepuluh tahun.
Wanita berwajah pucat di atas ranjang tersenyum dengan lembut, sembari menyambut anak semata wayangnya.
“Maaf ya Bu, aku udah lama gak ke sini.”
“Enggak apa-apa. Kamu kan sibuk, gak usah sering-sering ke sini.”
“Tapi ibu pasti bosan kalau gak ada teman.”
“Enggak, kok. Di sini suster-susternya baik. Mereka sering datang buat ngajak ngobrol ibu.”
“Syukur deh kalau gitu.” Nadin tersenyum lega.
“Kamu gak lagi sakit, kan? Kok, kelihatannya kurusan.”
“Ah, enggak, kok. Perasaan ibu aja kayaknya.”
“Justru dia makan lebih banyak daripada aku, Bu,” celetuk Juna yang baru saja tiba di dalam kamar. “Setiap makan saja selalu nambah. Aku jadi heran makanan itu masuk ke mana.”
“Jangan ngarang, deh!” protes orang yang dibicarakan. Membuat sang ibu tertawa melihatnya.
“Maaf repotin kamu terus ya, Nak Juna.”
“Enggak kok, Bu. Kalau bukan aku yang ingatkan, pasti Nadin lupa nengok ke sini. Dia lebih mementingkan kerjaan dibanding ibunya sendiri.”
“Nah, kan. Mulai ngarang lagi!” Nadin kembali protes.
Fisik ibu Nadin memang lemah sedari dulu. Jika terlalu lelah, pasti dia akan jatuh pingsan. Banyak penyakit bawaan yang dia idap sejak kecil. Dan semua itu semakin bertambah parah karena kondisi ekonomi keluarganya yang membuatnya tak memungkinkan untuk berobat.
Ditambah lagi saat ayah Nadin meninggal dunia. Ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga dan mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Nadin yang saat itu masih sekolah, tidak bisa membantu banyak. Sehingga hampir saja dia melepas mimpi untuk berkuliah dan memilih untuk mencari kerja. Beruntungnya, Nadin mendapatkan beasiswa untuk kuliah gratis, dan dia masih bisa bekerja part time demi meringankan beban ibunya.
Selain dorongan dari Juna, kondisi sang ibu menjadi salah satu faktor yang membuatnya terjun ke dunia entertainment. Ibunya jadi sering sakit-sakitan dan harus cuci darah tiap minggu karena penyakit gagal ginjalnya. Dan kini, penyakit lain membuatnya harus mendekam di dalam rumah sakit.
“Eh, lho, kayaknya handphone-ku ketinggalan di mobil, deh!”
“Nanti tinggal diambil sewaktu pulang.”
“Aku harus cek email dulu.”
“Paling mau cek medsos,” ledek Juna.
“Sudah, ah. Pinjam kunci mobilnya!”
Nadin merebut kunci dari tangan Juna, dan melesat dengan cepat. Meninggalkan si lelaki berkuncir yang terduduk
di samping ranjang.
“Ibu itu senang sekali kalau lihat kalian berdua. Andai bisa terus lihat kalian sampai nanti punya anak cucu.” Ada secercah nada kesedihan dari suara wanita tersebut, meski bibirnya tak henti memperlihatkan senyuman yang lembut.
“Ibu akan baik-baik saja, kok. Seharusnya gak lama lagi bisa keluar dari rumah sakit.”
“Semoga ya. Tapi ibu sudah gak mau berharap terlalu banyak. Kadang hidup gak bisa diprediksi.”
“Ibu harus berpikiran positif. Aku dan Nadin pasti akan berjuang juga supaya ibu bisa cepat sehat.”
Wanita tersebut meraih tangan Juna dan menggenggamnya erat. “Ibu bersyukur Nadin bertemu dengan laki-laki sepertimu. Tidak pernah sekali pun ibu melihat dia sedih tiap kali membicarakan soal Nak Juna. Dia pasti selalu merasa bahagia. Dan ibu ingin dia terus seperti itu.”
Juna hanya bisa terdiam. Kata-kata yang didengar membuatnya bingung harus menanggapi seperti apa.
“Ibu punya permintaan. Nak Juna mau bantu ibu?”
“Pasti, Bu.”
“Tolong jaga Nadin ya. Jangan biarkan dia merasa sedih. Cuma ibu keluarga yang dia punya sekarang. Kalau nanti ibu…”
“Tidak, ibu pasti-”
“Kalau!” potong wanita itu, dengan nada bicara yang meninggi. “Kalau nanti ibu sudah gak ada… jangan biarkan dia merasa kesepian. Nadin anak yang kuat, tapi dia sering memaksakan diri. Kamu harus selalu jadi orang pertama yang menanyakan kabarnya…”
Juna sedikit menunduk karena tak sanggup bertatapan dengan wanita yang terlihat menahan tangis di hadapannya. Bahkan mulutnya tertutup rapat, terasa sulit sekali untuk dibuka.
“Janji sama ibu, ya?”
Kata-kata masih tertahan di dalam tenggorokan. Juna sendiri tidak mengerti kenapa dia mendadak membisu seperti sekarang. Akhirnya, dia hanya sanggup mengangguk. Sembari tersenyum dengan sedikit dipaksakan.
***
Pikiran Juna mulai mengawang sejak keluar dari kamar ibu Nadin. Dia bahkan termenung di dalam mobil, sembari bersandar pada joknya. Bagi orang lain, kata-kata tadi terdengar biasa saja, tapi tidak begitu untuk Juna. Saat ini seakan ada beban berat yang tiba-tiba bertumpu di atas pundaknya. Tentu dengan sebuah sebab yang membuatnya merasa seperti itu.
“Babe, kamu kenapa?”
“Oh.” Kehadiran Nadin sedikit mengejutkannya. “Gak apa-apa. Kelamaan nunggu kamu daritadi.”
“Ya, ampun. Perasaan aku cuma pergi berapa menit doang.”
Mobil Juna terparkir di tepi taman dengan air mancur yang sangat besar. Sinar lampu yang membias di tengah gelapnya malam, tampak sangat cantik. Membuat kilatan cahaya pada air yang berlompatan di tengah kolam.
Nadin mampir ke minimarket untuk membeli kopi kaleng dan beberapa cemilan. Dengan mengenakan masker dan tudung jaket yang menutupi kepala.
“Tadi kenapa sih, kok pas aku balik ke kamar, ibu kelihatan sedih.”
“Iya, dia emang sedih.”
“Serius? Kenapa?” Nadin cukup terkejut mendengar jawaban sang pacar.
“Dia gak nyangka kalau anaknya berubah. Jadi alay, make up-nya tebal…”
“Kamu gak bosen apa, ngeledek aku terus!”
Akhirnya Juna menerima sebuah pukulan pada lengannya. “Aw!” Dia meringis. Tenaga Nadin cukup besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
Nadin menyerahkan sekaleng kopi kepada Juna, lalu memandang ke arah air mancur di depan. Tersenyum, sembari membayangkan sesuatu dalam kepala.
“Aku pernah cerita gak sih, kenapa suka tempat ini?”
“Karena sering diajak ibu ke sini, kan?”
“Iya, salah satunya. Tapi yang paling aku suka cerita dibalik tempat ini.”
Juna menatap Nadin yang masih fokus menatap ke arah depan. Cahaya lampu membuat wajah lembut wanita tersebut semakin tampak jelas. Pemandangan yang sangat dia sukai.
“Ibu pasti selalu cerita kisah yang sama setiap bawa aku ke sini.” Nadin mulai bercerita. “Katanya, sebelum kolam air mancur itu ada, di tengah taman itu ada sebuah batu besar yang dikelilingi bunga. Di tempat itu ayah menyatakan cintanya pada ibu. Dan sebagai pengikat cintanya, mereka menuliskan nama pada batu yang ada di sana. Mereka percaya hal itu juga yang membuat hubungan mereka abadi. Sewaktu ayah masih ada, aku gak pernah lihat mereka berdua bertengkar. Kayaknya aku mulai percaya sama apa yang ibu bilang soal batu itu.”
“Hmm…” ucap Juna. Dia turut memandang ke arah yang sama. “Bukannya kamu harusnya sedih karena batu itu sudah gak ada? Kenapa justru suka datang ke sini?”
“Yah… meski batunya gak ada, siapa tau sihirnya masih ada di tempat ini.”
“Terus?”
“Ya… biar hubungan kita langgeng kayak ayah dan ibuku.”
Juna sedikit tertawa. Tentu cerita itu terdengar sangat konyol di telinganya, meski dia tidak bermaksud menertawakannya. “Ayah ibumu langgeng karena mereka sendiri yang membuatnya jadi kayak gitu. Bukan karena ada sihir atau apa pun. Kalau salah satunya tiba-tiba gak bisa mempertahankan hubungan, ya… semua cerita itu gak akan pernah ada.”
“Tapi kita bisa kan, kayak mereka?”
“Gak mustahil.”
“Janji?”
Lagi-lagi, Juna merasa mendapatkan pertanyaan sulit untuk yang kedua kalinya di hari ini. Pilihan jawabannya pun sama, hanya ya atau tidak. Tapi ada sesuatu yang membuat suaranya tertahan di tenggorokan.
Akhirnya, dia memberikan jawaban yang sama persis. Mengangguk, sembari melempar senyuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Ayu Welirang
Kok dia ga yakin gitu? Apa dia udah ada niatan ga beres? duh gimana siii cowok ni~
2021-06-27
1
Flying-pan
Bingung juga ya kalau jadi si Juna 🤪 serba salah 🤪
2021-06-07
0