Bertemu Alvin Ganteng

"Kamu kalau gak becus kerja mending dipecat!"

Inggit menunduk dalam mendengar suara keras seorang wanita berpakaian rapi di hadapannya. Ia tak sengaja menumpahkan kopi hangat di pakaian wanita itu, kopi hangat yang akan ia bawa ke ruangan Revano.

"Ma--maaf, Bu!" lirih Inggit takut.

Semua karyawan yang lewat menghentikan langkah mereka hanya untuk menyaksikan kemalangan Inggit itu. Ya, begitulah manusia. Senang sekali melihat orang terpojok kan seperti itu.

"Jangan belagu kamu!" Wanita itu marah karena ia merasa Inggit memperolok nya karena berbicara tanpa menatap wajah nya.

"Saya benar-benar tidak sengaja, Bu," ucap Inggit pelan.

"Ah, benar-benar mengesalkan!" rutuk wanita itu berlalu dengan menyenggol bahu Inggit kasar.

Semua karyawan yang tadi memperhatikan, mulai berlalu kembali dengan kegiatan mereka. Inggit mengusap sudut matanya yang berair. Ah, rakyat jelata seperti nya memang kerap kali direndahkan, ia bisa apa selain mengalah. Membela pun akan selalu terlihat salah di mata orang berada.

Inggit kembali ke dapur kantor untuk kembali membuat kopi untuk Revano. Ia harus kuat menghadapi kerasnya hidup di kota ini. Meski kerap kali, ia merasa kecil, tapi Inggit harus bisa bertahan karena ia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Ayahnya entah kemana. Sedangakan ibunya sudah meninggal dua bulan yang lalu karena kecanduan obat-obatan.

"Kenapa lama sekali?"

Inggit kembali mendapatkan semprotan amarah. Kali ini dari Revano. Ia hanya diam sambil meletakkan gelas kopi di meja lelaki itu. Inggit masih menunduk dan tidak sama sekali mengangkat wajahnya.

Revano yang kesal karena merasa diabaikan pun menarik lengan wanita itu hingga Inggit terduduk di pangkuannya.

"Pak... saya harus kerja," ucap Inggit serak.

"Siapa yang membuatmu menangis?" Revano mengetatkan rahangnya ketika kepala Inggit terangkat dan ia menemukan mata memerah itu.

"Saya kelilipan bubuk kopi, Pak," jawab Inggit menghindari kontak mata dengan lelaki itu.

Revano mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang Inggit. Ia tak percaya akan alasan wanita itu. Nanti ia akan menanyakannya pada sekretarisnya, siapa yang sudah membuat Inggit menangis.

"Beri saya asupan dulu sebelum meeting dimulai," ucap Revano dengan mengendus aroma segar tubuh Inggit.

"Ta--tapi, Pak... saya harus kerja," ucap Inggit terbata-bata.

Revano tak peduli. Karena sekarang ia sudah menegang hanya dengan membaui aroma tubuh wanita di pangkuan nya itu. Inggit ingin menangis rasanya karena ketidak berdayaannya untuk menolak Revano.

_______

"Rama, jangan sekarang! Aku lagi di rumah Mama mertua," ucap Mauren pada orang di seberang telepon.

'Tapi aku kangen kamu, sayang!'

Mauren menggigiti kukunya kesal. Ia sedang di rumah orang tua Revano saat ini dan lelaki itu--kekasihnya menelepon di saat yang tidak tepat.

"Nanti aku ke apartemenmu. Sekarang aku gak bisa," ucap Mauren berbisik. Ia tidak ingin ada orang yang mendengarkan obrolannya.

'Ok. Aku tunggu kamu secepatnya! I love you, sayang....'

"Too," sahut Mauren sebelum menutup teleponnya.

"Menikmatinya, Ren?"

Mauren membeku di posisinya. Ia membalik tubuh dengan berat, dan mendapati Revano yang berdiri bersedekap di ambang pintu yang menuju ke taman saat ini ia berada. Mauren tak tahu jika Revano mengikutinya. Apa yang akan ia katakan pada lelaki itu?

"A--anu--"

"Tidak masalah! Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau. Aku tidak melarang sama sekali," ucap lelaki itu datar sebelum berlalu masuk.

"Ya, ya... kamu memang tidak pernah peduli, Rev...."

Mauren menatap nanar punggung lelaki itu yang menghilang di balik pintu. Ada perasaan marah dan skit hati yang terpendam di dadanya.

...........

Ini sudah jalan sebulan Inggit tinggal di kediaman Revano. Ia sudah tidak sabar ingin pergi dari rumah lelaki itu, dan melanjutkan kuliahnya sesuai rencana, tapi sebelum itu ia akan membeli rumah kecil untuk nya tinggal.

Malam ini, ia tidak juga mendapati Revano datang ke ruamh ini. Inggit sedikit lega karena ia bisa libur dari melayani hasrat lelaki itu. Namun, di sisi lain ada secuil rindu tak kasat mata yang singgah karena sudah tiga hari ia tidak bertemu Revano, baik di kantor maupun di rumah. Ah, memangnya dia ini siapa hingga berhak untuk merindu dan dibalas temu?

"Aish, kenapa aku jadi galau begini, sih?"

Inggit menggerutu sambil berjalan menuju dapur. Ia lapar sepertinya, maka nya pikirannya jadi kemana mana begini.

"Eh, Non mau makan?"

Inngit mengangguk pada Bi Nuri. Melihat-llihat menu makan malam yang tersedia di atas meja, Inggit duduk di salah satu kursi.

"Temani makan dong, Bi!" pinta Inggit pada Bi Nuri yang menuangkan air minum nya.

"Duh, gak enak atuh, Non. Saya kan cuma pembantu," ucap Bi Nuri.

"Ah, gak apa-apa lah, Bi. Lagian gak ada pak bos ini," ujar Inggit terkekeh sambil menarik lengan Bi Nuri untuk duduk di kursi sampingnya.

Malam itu Inggit makan ditemani Bi Nuri sesakali membuka obrolan ringan dan mereka akan tertawa ketika merasa hal yang lucu.

"Ceroboh!"

Inggit menoleh mendengar suara itu. Ia terpana akan keindahan ciptaan Tuhan di hadapannya. Lelaki tampan dengan pakaian rapi dan mahal menatap wanita itu dengan geli.

Inggit masih dalam posisi berjongkok memunguti map-map yang berceceran. Sedangkan, lelaki itu berdiri dengan tangan tersembunyi di kantong celana nya.

"Siapa namamu?"

"Hah?"

"Kamu gak tuli, kan?" tanya lelaki itu geli.

"Ah, anu... nama saya Inggit, Pak...."

Lelaki itu terkekeh memperlihatkan lesung pipinya.

"Inggit? Perkenalkan saya Alvin," ucap lelaki itu mengulurkan tangan ke hadapan Inggit.

Inggit ragu untuk menyambut uluran tangan lelaki di depannya itu, tapi senyum bersahabat lelaki itu membuatnya berani dan menerima uluran tangan itu.

"Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan 'pak'! Oh, ya senang bisa berkenalan dengan kamu," ucap Alvin sebelum berlalu meninggalkan Inggit yang terpaku.

"Itu tadi manusia apa dewa yunani? Ya, ampun! Ganteng banget!" pekik Inggit menutup mulutnya. Wanita itu masih memperhatikan punggung Alvin hingga hilang di balik pintu lift.

"Sedang apa kamu?"

Oh, oh siapa yang mengganggu kesenangannya ini. Menoleh ke belakang, Inggit mendapati Revano si tuan direktur muka datar menatapnya tajam.

"Kerja atau tebar pesona mencari mangsa?"

Oh, Inggit lupa jika lelaki ini mempunyai mulut tajam tanpa filter. Aish, kacau sekali hari ini ia bertemu muka dengan sang bos.

"Kerja, Pak. Kalau gitu saya pamit!"

Inggit langsung berlalu dengan sedikit berlari sambil mendekap map-map yang akan ia bawa ke ruang arsip.

"Huh... selamat!" ucapnya lega ketika sudah menjauh dari Revano. Tentu saja lega. Karena ia tak mau berdekatan terlalu lama jika tak ingin diterkam oleh lelaki itu.

To Be Continue....

Terpopuler

Comments

Sweet Girl

Sweet Girl

gimana suami bakal syuka sama kamu Mauren...
wong kamu punya selingkuhan.

2023-09-20

0

Nartadi Yana

Nartadi Yana

sayang hanya demi uang rela berzina

2023-01-30

0

Jasmine

Jasmine

sayangnya inggit hanya istri simpanan tdk ada kesahannya secara agama maupun hukum sebatas partner ranjang revano

2022-12-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!