Aku mengetuk pintu ruang kerja kakek. Ruangan itu tak jauh dari kamar kakek.
“Kakek, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Kakek.” ucapku setelah pintu itu terbuka lebar.
“Masuklah!” perintah kakek seraya membalikkan badan kembali ke kursinya.
“Wah, ruangan kerja kakek sangat luas ya!” kagumku pada ruangan yang lebarnya 10 x 10 meter. Di ruangan itu terdapat lemari khusus untuk menyimpan piala. Tampaknya kakek banyak mendapatkan penghargaan dari lomba pacuan kuda. Aku iri dengannya.
“Jika kita bertemu 22 tahun lalu, tentu kamu bisa melihat kakek memenangkan perlombaan.” ujar kakek tanpa melihat ke arahku, sepertinya beliau sedang sibuk dengan kertas di depannya.
“Ini foto bapak,” tunjuk ku pada sebuah foto usang dengan pigura kayu terpajang di depan meja kerja, tentara ucapanku membuat kesunyian.
“Bapak dulu sebelum meninggal, tepatnya saat aku masih duduk di bangku SMP, beliau selalu berkata padaku, suatu saat nanti bapak akan mengajakku ke area pacuan kuda. Entah apa maksudnya bapak berkata demikian. Yang jelas, bapak sangat menyukai kuda. Dulu kami juga pernah memiliki kuda, namun karena aku dan emak pernah tak memiliki uang, kuda itu dijual demi sesuap nasi.” ucapku, kakek hanya diam tak merespon, tanpa aku sadari kakek sudah basah pipinya.
“Kakek, kenapa Kakek menangis? Maafkan aku jika ucapanku membuat sedih hati Kakek!” Aku berhambur menuju kakek dan mengusap pundaknya.
“Tidak, kamu tidak salah. Aku terlalu keras padanya. Jika saja dia tak meninggalkan aku, pasti hidupnya tak kan sengsara itu.”menurut cerita kakek, bapakku Daffa Ramadhan telah menghamili seorang wanita desa. Karena tak mendapatkan restu, akhirnya bapak lebih memilih meninggalkan kakek. Hingga suatu ketika aku sudah besar, kakek mendapatkan kiriman foto seorang anak kecil yang tidak lain adalah foto aku. Dan itu pertama dan terakhir kakek dan bapak berkomunikasi.
“Sam, terima ini!” kakek memberikan selembar kertas.
“Apa ini Kek?” tanyaku tak paham.
“Ini adalah surat wasiat, sebagian hartaku untuk kamu sendiri dan sebagian yang lain untuk ibumu. Sebagai ganti permintaan maafku karena telah menyia – nyiakan hidupnya.” kakek menyodorkan selembar kertas sakral.
“Tapi Kek, un ....”
“Dan ini cek 200 milyar, pergunakan sebaik mungkin.” Ucap kakek memotong kalimatku.
Aku menelan ludahku, baru mendengar uang sejumlah itu, membayangkan saja tidak mungkin. Sebesar apa jika aku tumpuk di kamar, jangan dibayangkan, nikmati saja! 200 milyar itu tak sedikit. Aku sudah menandai di otakku kalau aku ingin beli ini itu. Sangat tamak sekali. Biarlah, sekali seumur hidup.
Karena hari sudah siang, kakek mengajakku pergi ke sebuah restoran terkenal di kota untuk makan siang.
“Kamu pesan apa Sam?” tanya kakek membuyarkan lamunanku tentang uang di cek tadi.
“Apa saja Kek,” sahutku lekas.
Tak begitu lama sepuluh menu telah tersaji di atas meja. Kebetulan sekali aku sangat lapar, aku tak pilih – pilih menu, asal itu mengenyangkan bagiku sudah cukup.
Makanan kini sudah tersaji di atas meja makan. Awalnya pelan menikmati porsi sepiring nasi, namun lama -lama tergiur juga dengan varian menu. "Sayang, jika diabaikan," batinku gusar. Aku menghabiskan semua makanan di atas meja. Buncit benar perutku kini.
Sepulang dari restoran, kami melewati sebuah banner yang cukup besar. Dalam banner itu tertulis sedang ada promosi tentang pengadaan umroh. Aku jadi teringat emak. Emak ingin sekali berangkat haji. Terbesit dalam benakku untuk segera mendaftarkan emak haji.
Pukul 14.00 aku sudah berada di kamarku, entah mengapa aku suka sekali dengan tempat ini. Kata kakek, ini adalah kamar bapak dulu. Pantes, ngerasa ada hawa gimana gitu.
Aku berdiri di depan cermin yang seukuran dengan tubuh ini. Terbesit dalam benakku untuk mengubah penampilanku. Setelah cukup lama aku berdiam diri di kamar, aku segera keluar kamar menuju garasi. Meminta sopir untuk mengantarku ke bank untuk mencairkan uang. Semua uang aku masukkan ke dalam buku rekening dan ATM.
Besoknya, aku meminta sopir untuk mengantarku ke rumah sakit, aku ingin melakukan operasi wajah. Menghilangkan tompel yang menggelikan ini.
“Dokter, aku ingin membuang tompel di wajahku.”
“Biaya untuk operasi ini tidaklah sedikit,” ujar dokter terdengar meremehkan penampilanku. Belum tahu dia kalau aku keturunan horang kaya.
“Aku akan membayar berapa pun jumlahnya, bahkan aku bisa membeli rumah sakit ini jika aku mau,” sahut Samsul mematahkan kesombongan si dokter. Dokter tampak bergetar tubuhnya mendengar ucapan Samuel yang terdengar mengancam itu, doktor pun menyetujui permintaan Samuel.
Sekian menit kemudian, Samuel menuju ruang operasi, dan dokter sudah memasang berbagai alat medis di sana.
“Apakah Tuan sudah siap?” tanya dokter seraya membawa injeksi. Aku hanya mengangguk pelan. Dan terasa mataku sulit sekali untuk membuka. Perlahan kelopak mataku terkatup. Aku pun tidur tak sadarkan diri. Dalam mimpiku, aku bertemu dengan Erlin, istri cantikku. Bayangannya semakin menjauh, aku berusaha mengejarnya namun tak tergapai. Ku teriaki namanya, dia pun tak menoleh. Aku semakin gelisah dan takut kehilangan dia.
Mataku kini terbuka lebar, ku dengar samar -samar suara mereka.
“Berhasil, usaha kita berjalan 100 persen tanpa kendala.”
“Segera sterilkan, pasien akan dipindah tempatkan.”
Aku masih belum bisa bicara dan bergerak, mungkin ini sisa obat bius. Perlahan aku memejamkan mata lagi. Hanya mendengar suara roda ranjang yang berjalan.
Keesokan paginya.
“Selamat pagi Kek,” sapaku pada kakek Rama yang sedang duduk menunggu kepulanganku di teras depan.
“Siapa kamu, dan bagaimana bisa kamu memakai mobilku. Di mana Sam?” tanya kakek tampak panik.
“Kakek Rama!” panggilku mencoba menyadarkan kakek kalau aku ini Samuel yang sedang ia cari.
“Lancang sekali kamu, siapa kamu!” bentak kakek seraya berdiri berkacak pinggang.
“Ini aku Kek, Samsul alias Samuel.”
“Sam, benar itu kamu?” Kakek mengamati wajahku seraya menangkup pipiku.
“Ke mana tompelmu?”
“Sengaja aku menghilangkan itu, aku ingin mengubah sedikit penampilanku.” ujarku.
“Ckckck,” decak beliau, “ lalu kulitmu bak sawo busuk itu kamu kemanakan ?” sindir kakek.
“Sudah ku buang ke laut,” aku juga melakukan perawatan untuk memutihkan kulit.
“Kamu tampan, mirip sekali dengan Daffa,” timpalnya seraya mengajak ku masuk.
Keesokan harinya aku meminta izin pada kakek untuk pergi ke desa mengunjungi emak.
Aku keluarkan tidak sedikit uang untuk membeli mobil Lamborghini. Ku panggil seorang sopir untuk mengemudikan sekaligus mengajari ku.
Sebelum ke desa, aku sempatkan juga mengunjungi beberapa lokasi yang sangat menarik di tanah air.
“Emak ...!” teriakku mengagetkan.
Emak yang sedang menjemur baju pun tersentak.
“Siapa?” tanya emak seraya mendelikkan matanya.
“Aku Mak, Samsul anakmu!” pekikku seraya menghambur menuju emak, ku peluk dan ku cium. Belum sadar juga emak tapi tetap aku perlakukan begitu.
“Samsul Ramadhan?” emak menghentikan aksiku.
“Iya Emak,”
“Mana Erlin kok kamu datang sendiri?” tanya emak seraya memukul lenganku, “Pangling emak, semakin ganteng saja kamu,” sambungnya. Emak melirik Lamborghini milikku.
"Bagus banget Sam, ini mobil bisa jalan ya!" tanya emak seraya mengusap dan mengitarinya.
"Bisa terbang juga, " tukasku asal.
"Wah, hebat kamu Sam, jadi horang kaya sekarang!"
"Iya dong, 'kan Emak yang doa'in Samsul!" ujarku bangga.
"Mana Erlin, kok enggak ada di dalam?" Emak celingukan mengintip di kaca mobil.
“Ceritanya panjang Mak,”
Para tetangga melihat kedatanganku penuh keheranan, namun kami mengabaikan mereka.
"Wah, mobilnya keren ya!"
"Tamu emak, ganteng juga, kenalin dong!"
"Heh, ini Samsul, anakku!" tegur emak yang bikin warga se RT heboh.
Emak menarikku masuk dan mengunci pintu.
"Mobilmu bagaimana Sam, aman diluar?"
"Aman Mak, tenang nggak bakal ilang!"
"Ngapain ditutup pintunya, Mak?"
"Para tetangga pada kepo, ikut campur saja urusan orang, dengan begini mereka nggak bakal tahu obrolan kita."
Emak berjalan menuju dapur menyiapkan sepiring singkong rebus.
“Di makan Sam, mumpung masih hangat, enak!” ku lihat asap yang masih mengepul di atas piring.
“Iya Mak,” ku ambil sepotong untuk mengobati kerinduanku pada makanan favorit ku ini.
Cukup lama aku di sana, menceritakan perjalananku sampai aku bisa begini. Sesekali emak sesenggukan, dengan cepat aku menghapus air matanya.
“Emak ikut aku ke kota ya?” ajakku.
“Tidak bisa Sam, emak lebih kerasan di desa.” tolaknya, meski aku paksa dengan berbagai cara dan alasan emak tetap menolak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
范妮·廉姆
ya ampun iri sama kakek" wkwkkw
2024-05-02
0
Hazna Khai
waduh... bisa gasruk2 tuh lambo dibawa ke kampung...
2022-07-12
0
arifin kbl
,bab pertama bpknya nmanya andi
sekrg kog dafa
2022-06-17
0