Aku menyusuri jalan menuju tempat aku bekerja. Di sana ada seorang pria berkumis sedang memarahi semua pekerja.
“Kamu malah baru datang, jam berapa ini!!” bentak pria berkumis seraya berkacak pinggang padaku.
“Maaf, Pak, tadi saya sedang ada masalah dengan keluarga saya,” ujarku menerangkan.
“Alasan apa lagi ini, tadi ada yang bilang ban sepeda bocor, masih ngantar anak sekolah, aku tidak mau mendengar alasan apa pun dari kalian! Mulai detik ini juga, aku memecat kalian yang datang terlambat!” ujarnya membuat aku membelalakkan mata tak percaya.
Aku berusaha meminta pria berkumis itu untuk tidak memecatku, tapi usahaku tak membuahkan hasil.
Akhirnya aku tak memiliki pekerjaan sekaligus tempat tinggal dalam sekejap saja.
“Ya Allah, salah apa aku, kenapa hidupku jadi begini?” aku sedikit mengeluh pada sang pencipta. Namun aku tidak boleh putus asa, aku harus bangkit dari keterpurukan ini.
Seharian aku berjalan menyusuri kota, berhenti dari rumah ke rumah, namun tak satu pun dari mereka yang mau menerima aku bekerja.
Malam pun tiba, kulit ku merasa merinding terkikis angin malam, perutku tak henti – hentinya berbunyi.
“Aku ingin pulang, emak, Samsul takut ....” rintihan hatiku mulai menyala.
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur. Ternyata aku semalam tertidur di tepi jalan, beralasan emperan toko.
“Aku lapar,” keluh ku seraya mengusap perut yang sejak kemarin keroncongan.
Beberapa detik kemudian, sebagian orang penghuni jalan melewati aku seraya menjatuhkan selembar uang.
Awalnya aku tampak bingung, mengapa orang – orang memberiku uang.
“Aku bukan pengemis!” teriakku seraya menggoyangkan kedua tangan si pemberi uang.
“Dasar gembel tidak mau mengaku!” tukas salah satu orang yang melewatiku.
"Sudah jadi pengemis seumur hidup tetap pengemis!"
Untuk menghindari hal itu, aku segera bangkit lalu berpindah tempat.
Aku sudah tak tahan dengan perutku, dan aku bukan seseorang yang mudah menyerah dan tak ingin menjadi pengemis.
Kini aku berhenti di sebuah warung makan, banyak pengunjung sedang menyantap makanan di sana. Tak jauh dari jangkauan mataku, salah satu dari karyawan berjalan ke bak sampah. Orang itu membuang gulungan kertas.
“Mangkinkah itu makanan?” gumamku dengan mata penuh kebahagiaan.
Setelah pengunjung tampak sepi, aku segera menuju ke bak sampah dengan mengendap - endap, mengambil sesuatu yang sejak tadi aku incar. Aku menurunkan setumpuk keresek hitam dan beberapa kardus. Sekian detik kemudian aku menemukan yang aku cari.
“Aha, ketemu juga!” seruku dan segera mengembalikan beberapa sampah ke bak sampah.
“Ini masih bisa dimakan,” ujarku setelah menjauh dari warung. Dalam sekejap saja aku sudah menghabiskan sisa makanan orang.
“Alhamdulillah,” ujarku penuh khidmat.
Hidupku selama tiga hari menyusuri jalan, dan selama itu pula aku mengais sisa makanan orang di bak sampah. Demi perutku, aku tak jijik dari pada aku harus kelaparan.
Saat siang hari, seperti biasa aku tengah mengobrak - abrik bak sampah, aku melihat seorang pria tua tengah sempoyongan berjalan ke arahku. Dan tubuhnya mendadak tergeletak begitu saja. Awalnya aku tak berniat untuk menghampiri pria tua itu. Namun, jiwa kemanusiaanlah yang memanggil.
“Tolong ..., ada kakek – kakek pingsan!” teriakku dengan histeris, namun tak ada satu orang pun menolongnya. Wajar saja penampilan kakek itu seperti gembel, jadi semua orang yang melihatnya pasti enggan untuk menolong.
“Kakek, bangunlah!” pintaku seraya menggoyangkan tubuhnya yang lemas. Matanya sudah tertutup rapat.
Tanpa berpikir panjang lagi, dengan sisa tenaga yang aku miliki meski perutku belum terisi, aku mengangkat tubuh kakek itu. Sepeser uang pun aku tak punya untuk aku gunakan memanggil taksi, akhirnya aku menggendong kakek itu.
“Akkkhh, berat sekali!” gumamku seraya bergetar daguku.
“Maaf, di manakah letak rumah sakit?” tanyaku saat aku menghentikan sebuah truk.
“Jauh, sangat jauh sekali,” ujar si sopir truk.
“Katakan saja!” teriakku sudah tak kuat lagi.
“Aku bisa mengantar kamu sebatas jalan lurus ini, selebihnya aku tak bisa menolong kamu.” Tawar si sopir, aku segera menaikkan tubuh kakek ke dalam truk setelah si sopir membuka pintu belakang.
Dan benar saja, setelah 30 menit perjalanan sopir truk memberhentikan aku. Aku segera menurunkan tubuh kakek itu dan menuju rumah sakit sesuai arahan si sopir. Aku harus menempuh perjalanan 3 kilometer lagi untuk sampai ke sana.
Peluh ku bercucuran tak aku hiraukan lagi, meski payah aku berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa kakek ini.
.
“Terima kasih sudah menolongku, siapa namamu Anak Muda?” tanya kakek setelah sadar. Suaranya masih terdengar lemah dan lirih.
“Samsul Kek, Samsul Ramadhan,” sahutku seraya mendekatkan kursi yang kududuki ke arahnya.
“Nama kamu mirip denganku.” Kakek menunjukku lalu menunjuk dirinya.
“Nama Kakek siapa?” tanyaku seraya memperhatikan mimik muka nya.
“Ramadhan Kamal, kamu boleh memanggilku kakek Rama,” ujar kakek dengan sedikit tersenyum.
Aku merasa lega sekarang, usahaku tak sia – sia membawa beliau ke rumah sakit ini. Beliau mengalami dehidrasi kata dokter yang baru saja keluar dari ruangan. Kakek Rama bertanya perihal kehidupanku, dan dengan gamblang aku bercerita tentang kisahku.
“Tolong panggilkan suster!” pintanya dan segera aku berdiri menuju pintu keluar.
“Suster mana ya yang harus aku temui?” gumamku bimbang, jujur aku baru kali pertama ke rumah sakit, jadi hal sepele membuatku benar – benar bingung.
Tanpa berpikir panjang lagi setelah beberapa detik, aku menghentikan langkah seorang suster.
“Maaf, pasien di nomor 5 kamar Dahlia ingin menemui Suster,” ujarku sedikit kikuk. Suster cantik itu hanya mengangguk dan membalikkan badan menuju kamar yang aku maksudkan tadi.
“Suster, bolehkah aku meminjam ponsel Anda? Aku ingin menghubungi temanku.” tanya kakek Rama setelah suster itu masuk ke ruangan. Suster mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan pada beliau.
“Jemput aku sekarang di rumah sakit xxx!” ujarnya.
Tak lama kemudian, sekelompok pria berpakaian serba hitam masuk ke dalam ruangan.
“Kakek, maafkan atas kelalaian kami hingga kehilangan jejak Kakek,” ujar salah satu dari mereka.
Kakek Rama hanya mengayunkan tangan.
“Tunggu, sebenarnya siapa kakek Rama ini? Mengapa dia bisa mengetahui cara mengoperasikan hp, padahal dari penampilannya seperti orang yang papa sepertiku? Dan siapa pria – pria ini, mengapa juga mereka begitu hormat pada kakek Rama?” batinku curiga.
“Cepat selesaikan administrasi di rumah sakit ini, dan antar aku pulang bersama Samsul!” titahnya.
Aku melongo mendengar ucapan kakek Rama.
“Tapi, tapi, Kek, aku ...”
“Tinggallah bersamaku!” ujarnya yang membuat aku tersentak.
“Apa Kek!” aku tak percaya dengan semua yang aku alami barusan. Beliau menawarkan aku untuk tinggal bersamanya. Ya tempat tinggal yang sangat aku perlukan saat ini.
Aku tak bisa menolak ajakan beliau karena aku terus didesak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
kaya nya s samsul kga bakalan ngorek ngorek sampah lgi
2022-05-04
3
Ganuwa Gunawan
sesama gembel jng saling mndahului
2022-05-04
0
Ganuwa Gunawan
mirip nyanyian bang haji roma
2022-05-04
0