"Ini rumah Kakek?” tanyaku tak percaya. Mataku berkeliling mengamati keadaan sekitar. Mobil yang aku tumpangi ini berbelok menuju sebuah rumah bak istana. Bangunan yang besarnya tiga kali lipat dari pada rumah mertuaku. Pagar besi yang tinggi mengelilingi rumahnya. Aku menggelengkan kepala tak percaya. Sesekali menepuk pipi untuk menyadarkan kalau yang aku lihat ini adalah nyata, bukan mimpi.
“Benar, dan kamu salah satu orang yang beruntung bisa tinggal di sini.” ujar kakek Rama dengan nada santai.
“Bagaimana bisa Kakek berpenampilan seperti seorang yang, maaf, pengemis ternyata seorang yang kaya raya?” tanyaku ragu – ragu khawatir beliau tersinggung.
Kakek Rama terkekeh, “Sengaja aku ingin mencari seseorang yang tulus menolongku. Dan itu ternyata kamulah orangnya.” kakek sembari tersenyum mengatakan itu. Aku lega mendengarnya, kakek Rama sepertinya orang baik yang dikirim Tuhan untuk membantuku. Beberapa hari tinggal di sana untuk menumpang makan dan istirahat, setelah cukup aku akan mencari pekerjaan yang layak agar bisa membalas kebaikan beliau.
Mobil berhenti, aku segera turun mengikuti kakek masuk ke dalam rumah bak istana raja itu.
Mataku tak lepas dari ornamen luar rumah yang tampak luar biasa.
“Subhanallah, besar sekali!” ujarku kagum, tak hanya dari luar saja yang terlihat besar, dalamnya juga.
“Pelayan, antarkan Samsul beristirahat di kamarnya!” perintah kakek pada semua pelayannya yang menyambut kedatangan kakek, seorang pelayan wanita yang paling tua itu segera menggiringku menaiki tangga.
“Pelayan, sajikan makanan dengan menu besar malam ini!” perintah kakek pada pelayan yang lain. Semua pelayan terlihat sangat sibuk dengan tugasnya masing -masing.
Aku sungguh takjub dibuatnya, aku mengekor pelayan itu. Dan sepanjang aku berjalan, nampak beberapa pelayan berjajar menyambutku. Aku hitung ada 10 pelayan.
Aku masuk ke dalam kamar baruku. Terlihat besar seukuran rumahku di kampung.
“Kakek meminta saya untuk menyiapkan pakaian Anda,” ujar pelayan wanita yang usianya sekitar 40 tahunan. Pelayan itu menyodorkan setelan kemeja dan celana panjang.
Aku menerimanya dengan tetap tak percaya.
“Silahkan Anda mandi dulu, di sana kamar mandinya!” pelayan itu menunjuk dengan ibu jarinya. Aku mengangguk paham.
Setelah pelayan wanita itu keluar, aku segera menjatuhkan tubuhku di atas kasur yang amat lebar dan tebal. Tubuhku terpental di atas kasur.
“Empuk!” seruku. Aku bangkit dan melompat lompat di atas kasur yang empuk tiada tara itu. Aku terpental hingga jatuh ke lantai. Aku segera bangkit saat seseorang membuka pintu.
“Samsul, setelah mandi aku menunggu kamu makan malam.” Ujar kakek Rama, aku segera mengkondisikan sikapku.
“Baik Kek, aku akan segera mandi,” ujarku yang segera berjalan menuju kamar mandi.
“Mana airnya?” gumamku seraya celingukan mencari air.
Aku keluar hendak bertanya pada kakek, namun kakek Rama sudah tak ada. Aku berbalik menuju kamar mandi. Ku perhatikan benda – benda sekitar yang ada di sana.
“Airnya pasti di dalam sini,” aku menekan tombol dan benar saja airnya langsung menyembur keluar.
“Memalukan sekali, begitu saja tak tahu!” aku merutuki diriku.
Selesai mandi, aku bermaksud menuruni tangga mencari keberadaan kakek. Belum selesai aku melangkah, seorang pelayan datang dengan sikap hormat.
“Mari saya antar Anda menemui kakek di ruang makan!” ujarnya sopan. Aku hanya mengangguk dan mengekor dia.
“Samsul, mari makan!” ajak kakek Rama setelah aku tiba di ruang makan.
Air liurku terasa menetes, namun dengan cekatan aku menghapusnya.
Hidangan di atas meja makan sungguh menggiurkan. Berbagai menu yang sama sekali aku tak tahu berjajar di sana. setumpuk daging, buah dan sayuran hijau. Dengan ragu – ragu aku menarik kursi.
“Anggap saja rumah sendiri, tak usah sungkan!” ujar kakek.
“I-iya Kek,” sahutku lekas dan segera duduk.
Kakek Rama menawarkan berbagai menu makanan. Namun hanya satu yang menarik bagiku untuk aku makan dulu, sate ayam.
Seperti apa yang barusan kakek Rama katakan padaku, tak usah sungkan. Perutku merengek minta diisi. Aku segera mengambil piring dan nasi. Ku lahap dengan cepat makanan pilihanku.
“Pelan – pelan, Samsul,” tegur kakek, aku segera mengkondisikan sikapku.
“Alhamdulillah,” ujarku seraya mengelus perutku yang sudah buncit.
“Enak?” tanya kakek membuatku malu.
“Sungguh enak, baru kali pertama Samsul menikmati makanan seperti ini.” ujarku jujur.
“Besok – besok, aku akan meminta pelayan untuk memasak menu ini lagi.”
“Tidak perlu Kek, Kakek sudah terlalu baik padaku. Memperbolehkan aku tinggal di sini lebih dari cukup.” ujarku menolak padahal aku berharap bisa makan enak lagi.
“Kamu tenang saja, apa pun kebutuhan dan keinginan kamu, katakan saja, pelayan di sini akan memenuhinya.” kakek menepuk bahuku.
“Iya Kek, terima kasih.”
“Jangan begitu, aku lah yang seharusnya berterimakasih padamu. Oh, iya, besok pagi aku akan pergi berkuda. Ikutlah, barangkali kamu suka?” tawarnya mengingatkan aku dengan istriku, Erlin, dia sangat pandai berkuda.
“Baik Kek,” sahutku. Kakek berdiri meninggalkan aku. Aku sendiri terasa lelah dan mengantuk. Aku segera menuju kamar, ingin menikmati empuk nya kasur.
Keesokan paginya, sangking lelahnya aku sampai telat bangun. Bahkan adzan subuh pun aku tak mendengar.
Selesai mandi segera ku bergabung dengan kakek di meja makan.
“Bagaimana kabar kamu, nyenyak tidurnya?” tanya Kakek membuat aku malu.
“Iya Kek, oh iya, Samsul mau bertanya Kek?”
“Katakan saja?” ujarnya dengan senyuman.
“Apa Kakek tinggal sendiri di rumah yang besar ini?” tanyaku terdengar kurang sopan.
“Benar,” sahut kakek seraya meletakkan sendok.
Aku khawatir kakek tersinggung.
“Aku kehilangan putra tunggalku, dia lebih memilih wanita desa itu ketimbang aku ayah kandungnya.” Tutur kakek.
“Maaf Kek, jika Samsul lancang,” ujarku seraya menundukkan kepala menyesali ucapanku barusan.
“Sudahlah, tidak apa – apa, itu hanya cerita lama. Selesai sarapan temui aku di depan!” Kakek segera berdiri dan menuju halaman depan.
Aku mengangguk dan segera menghabiskan sarapanku.
Saat aku melintasi ruang tamu, tampak foto anak TK di pajang pada sebuah pigura. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk melihat, entah mengapa aku jadi penasaran. Setelah aku mendekat dan mengamati foto itu.
“Alamak, ini kan foto aku saat TK!” aku bergegas menemui kakek dan mempertanyakan perihal foto anak kecil itu.
“Kakek Rama, bagaimana bisa Kakek mendapatkan foto ini?” tanyaku penasaran.
Kakek Rama yang bersiap masuk ke mobil memandang ke arahku lalu melihat foto yang aku bawa.
“Itu adalah cucuku,” ujarnya yang membuat aku membelalakkan mata tak percaya.
“Apakah anak Kakek bernama Dani Ramadhan?” tanyaku untuk menyakinkan kalau itu adalah benar.
“Dari mana kamu tahu?” kakek Rama mengernyitkan dahi.
“Itu adalah nama bapakku.” terangku membuat kakek Rama sedikit terhuyung. Aku segera memegang tubuhnya. Beberapa pengawal menuntun kakek untuk beristirahat di teras depan.
“Jadi, kamu adalah cucuku?” kakek Rama memelukku erat. Ku balas pelukannya.
“Di mana dia sekarang, aku ingin memberi pelajaran padanya karena telah memisahkan aku dengan cucuku,”
“Bapak sudah meninggal Kek,”
“Meninggal?” lagi – lagi aku mengejutkannya.
“Bapak sakit, terkena serangan jantung.” terangku membuat kakek menangis.
Selesai aku bercerita mengenai bapak dan emak di desa, kakek langsung menvonis kalau aku pewaris hartanya.
Aku sendiri tak percaya, benar – benar diluar dugaan.
Dengan keadaan aku yang sekarang, aku akan mengubah takdir. Aku bukanlah Samsul yang miskin. Tapi aku Samuel Ramadhan. Pewaris tunggal dari keluarga Ramadhan Kamal. Aku akan membalas sakit hatiku pada orang – orang yang telah menyakiti hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Siska Sefyona
AQ ketawa ja y😅😅😅😅
2023-05-29
0
Zurrahman
ibunya masih gak ada kabar
2022-10-13
0
Budi Rianto
anyingg...samsul jadi samuel keren keren....😅😅😅😅
2022-06-18
0