Lima

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan."

(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak 'ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba'in Ibnu 'Utsaimin, hal. 200)

----

Pagi ini sang fajar tampak kelabu, karena kabut tipis dengan setia menyelimuti. Membawa aura berbeda dengan biasanya. Angin semilir membelai setiap dedaunan hingga bergesekan dan menghasilkan lantunan lagu syahdu pengiring pagi yang kelabu.

Mahya sudah memasang wajah suramnya, sesuaram sinar sang mentari yang tak mampu menembus kabut. Mahya sudah berangkat lebih pagi dari biasanya berharap dia bisa bimbingannya face to face. Tetapi, sekali lagi dia harus menyiram dan memupuk rasa sabarnya karena sang dosen masuk ke dalam kelas.

"Kamu mau bimbingan?" tanya seorang lelaki yang baru keluar dari ruang dosen.

"Iya," jawab Mahya pelan. Dia masih duduk di kursi teras ruang dosen.

"Siapa dosen pembimbing skripsinya?" tanya Lelaki itu dengan santai. Padahal Mahya sudah mengeluarkan aura tak senangnya.

"Pak Arkan."

"Pak Arkan ada kelas pagi." Mahya hanya mengangguk tanpa menjawab, sungguh saat ini dia ingin meledak dan jika lelaki di depannya itu masih juga bertanya mungkin Mahya tak akan mampu menahannya.

"Ya sudah, aku duluan." Mahya tidak menjawab dia hanya mengangguk tanpa mengangkat wajahnya.

Mahya ingat, ayahnya pernah bilang bahwa sabar adalah pilar kebahagiaan. Karena dengan bersabar kita akan terjaga dari sifat buruk dan konsisten dalam beribadah.

Bayangkan saja, jika kita bersabar bisa jadi kita akan menghasilkan lebih baik dari apa yang kita hasilkan dari kita yang tidak sabar. Mahya juga pernah membaca bahwa sabar adalah kunci kemenangan.

Mahya menghela napas, sepertinya dosen pembimbing itu memang mengajak Mahya untuk berperang. Mahya mengeluarkan ponselnya dan mencari tahu di mana dosen itu mengajar. Tetapi sayang dia tidak mendapat informasi apapun kecuali bahwa hari ini pak Arkan ada jam mengajar.

Mahya memiliki ide untuk mengetahui keberadaan dosen itu, dia tersenyum lalu merapikan pakaiannya. Dia akan berpura-pura mencari keberadaan dosen itu di dalam dan pasti dengan tanpa diminta dosen lain akan menunjukkan ruangannya.

Mahya kembali tersenyum dengan bahagia karena apa yang menjadi prediksinya benar-benar terjadi. Dia segera berlari menuju kelas Arkan. Dia akan mencari perhatian seperti biasanya. Ah, dia akan menggunakan cara terekstrem jikalau memang diperlukan, Mahya tidak peduli yang jelas dia harus segera menyelesaikan skripsinya.

---

Mahya duduk di depan laptop, dia membuka setiap lembar kertas yang terdapat beberapa coretan. Mahya heran itu tulisan pembenarannya apa? Mahya tidak tahu, karena tulisannya sungguh indah melebihi indahnya tulisan dokter.

Mahya menghela napas kala melihat di bab dua ada banyak sekali coretan. Dia hingga membuka berulang-ulang untuk memastikannya, bukankah bab dua sudah selesai dan dilanjutkan bab tiga. Tetapi, mengapa banyak coretan?

"Assalamualaikum," salam Zahra dengan cukup kencang membuat Mahya terkejut, hampir saja laptop di pangkuannya jatuh.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh," sahut Mahya sambil menggelengkan kepalanya. Mahya benar-benar tidak mengerti dengan tingkah absurd temannya ini.

"Kenapa?" tanya Zahra sambil duduk.

"Lihat saja sendiri," kata Mahya sambil menaruh bendel kertas di pangkuan Zahra.

"Dla, aku belum mau skripsi."

"Cek saja," jawab Mahya dengan malas lalu dia merapikan barang-barangnya.

"Kok banyak amat ya yang dicoret-coret, wah ini gak bener." Mahya mengangguk tanda setuju, entahlah untuk hal ini dia setuju dan satu pendapat dengan Zahra.

"Tapi Ya, ini juga kesalahan kamu."

What??? Mahya menoleh dengan cepat ke arah Zahra, dia tidak salah dengar bukan bahwa temannya yang aneh itu mengatakan bahwa semua ini salahnya.

"Bagaimana bisa?" tanya Mahya.

"Kenapa kamu ngebet banget ingin cepat lulus hingga typo sebanyak ini." Mahya segera merebut kertas yang dipegang oleh Zahra, seolah dia lupa bagaimana bersikap sopan dan santun.

"Allah, kok bisa seperti ini." Mahya menatap satu lembar kertas yang tertulis huruf rancu tak dapat dibaca. Dia lalu berpikir mungkin tanpa sebagian saat ketiduran waktu itu menekan keyboard.

"Ya Allah, kok bisa kayak gini." Mahya menutup wajahnya dengan kumpulan kertas. Dia benar-benar tidak melihat dengan teliti hal ini.

"Makanya jangan terlalu memaksakan diri," nasihat Zahra dengan sok bijak. Mahya menghela napas lalu dia memasukkan semua barangnya ke dalam tas.

"Bagaimana rencana kamu?" tanya Zahra.

"Gagal kayaknya." Mahya menjawab dengan lesu. Dia sudah hampir sepekan ini selalu masuk ke dalam kelas Pak Arkan tetapi tak sedikitpun dosennya itu merasa terintimidasi, jangankan terintimidasi bahkan dia dianggap tak ada.

"Terus kamu ada rencana?" tanya Zahra dengan wajah prihatin. Dia melihat guratan lelah di wajah sahabatnya.

"Belum tahu." Mahya mengatakan itu dengan mengangkat dua bahunya. Dia mencoba menerima mungkin memang sudah takdirnya dia harus bimbingan seperti ini tidak pernah berdiskusi bersama atau sekedar bertatap muka.

"Kenapa kamu tidak mencari waktu di luar jam kuliah?" Mahya menoleh ke arah Zahra yang tersenyum sumringah karena mendapatkan ide yang menurutnya sangat menakjubkan dan tak pernah dipikirkan oleh Mahya.

"Memang bisa?" tanya Mahya tak yakin.

"Boleh kok. Dulu Mbak Yuni sering ke kantor Pak Harto waktu bimbingan." Mahya tampak menerawang, dia ingat salah satu seniornya yang dulu dekat dengannya.

Dulu memang Mbak Yuni sering ke kantor Pak Harto, tetapi kan itu diizinkan oleh Pak Harto. Lalu, apa kabar dirinya? Dirinya belum tentu diizinkan menemui Pak Arkan bukan?

"Tapi, apa iya Pak Arkan mau?" tanya Mahya.

"Ya dicoba saja dulu, namanya juga usaha." Mahya mengangguk tanda setuju.

"Baiklah, nanti Aku coba buat menghubungi dosennya."

"Sip," kata Zahra. Lalu Mahya menengadahkan wajahnya ke atas, dia menatap langit yang saat ini membentang biru bersih tanpa setitik warna lain. Dia bertasbih di dalam hati, dia memuji kebesaran Allah yang tiada tara.

"Semoga saja dosen pembimbing skripsiku nanti tak seperti Pak Arkan. Aamiin."

"Aamiin, cukup aku saja yang merasakan ini. Kamu jangan," kata Mahya.

"Kenapa?" tanya Zahra dengan nada meniru sebuah percakapan di film.

"Karena aku sudah cukup merasakan kesusahan ini, jadi kalau bisa orang lain jangan merasakannya."

"Ih, kok gitu jawabannya." Mahya menoleh heran.

"Kenapa?"

"Ya harusnya kamu jawab kayak yang di film itu."

"Film apa?" tanya Mahya tak mengerti. Zahra dengan cepat menepuk keningnya dramatis. Dia memang suka berlebihan menurut Mahya, karena harusnya Zahra tinggal menjawab saja tidak perlu menepuk keningnya.

"Sudah lupa, ayo makan." Mahya menurut saja ajakan Zahra karena dia juga merasakan lapar. Ah, mungkin dengan makan dia bisa mengalihkan rasa kesalnya.

---

Malam yang sunyi, ditemani dengan suara serangga yang mengelilingi bak lagu malam penuh kerinduan. Langit tampak sempurna dengan sang bintang bertebaran bak permata yang mahal harganya.

Mahya menutup tirai jendelanya lalu dia duduk di tepi tempat tidur. Ia tampak berpikir keras, terbukti dengan lipatan di dahinya.

Mahya teringat kejadian tadi sore saat dia baru pulang dari minimarket tangan berjarak tiga sampai lima rukun di sebelah kanan ruko milik Tantenya.

"Teh Mahya, dipanggil Cece di dalam." Melani gadis Sunda berusia enam belas tahun itu menghentikan langkah Mahya.

"Ada apa ya, Mel?" tanya Mahya mengikuti langkah Melani.

"Katanya ada yang cocok dengan proposal yang Teh Mahya buat." Mahya berhenti lalu dia mendongak menatap Melani dengan wajah ingin diberi kejelasannya.

"Teteh diam aja, nanti Cece yang akan menjelaskan semuanya." Melani menarik tangan Mahya, Mahya mengikuti tanpa memprotes sama sekali.

"Assalamualaikum," salam Mahya dan Melani bersamaan.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh, Cece udah menunggu kamu sejak kemarin." Mahya disambut oleh perempuan seusia sang Ibu tetapi wajahnya seperti seusia sang Tante.

"Memangnya kenapa, Ce?" tanya Mahya sedangkan Melani sudah melenggang pergi.

"Ini, ada biodata lengkap lelaki yang sepertinya cocok denganmu." Mahya menerima map berwarna biru.

"Orang mana , Ce?"

"Orang kota sini juga kok, jadi gak begitu jauh." Mahya mengangguk.

"Kemarin ibunya yang kemari mengantar proposal ini. Kebetulan sekali pas saya lagi baca proposal kamu dan ibunya tertarik sama kamu." Mahya menoleh lalu mengangguk.

"Tapi Ce, kalau yang tertarik ibunya belum tentu anaknya bukan?"

"Namanya jodoh gak ada yang tahu Ya. Yang terpenting kita berikhtiar dan berdoa."

"Cece kenal keluarga mereka?" Mahya bertanya, meski dengan cara ta'aruf dengan proposal dia tak ingin mendapatkan kucing dalam karung. Dia harus mendapatkan seseorang yang jelas bukan yang manipulatif.

"Kenal, kebetulan ibunya itu teman Cece. Kami bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu dalam sebuah taklim. Kami cukup dekat, oleh sebab itu Cece pikir dia cocok dengan kamu." Mahya mengangguk.

"Ya sudah, Mahya bawa ya Ce. Nanti Mahya bicarakan dengan orang tua."

Mengingat hal itu dia segera menoleh ke arah meja belajar, Mahya masih belum membuka proposal yang ada di dalam map biru itu. Dia merasa berdebar tidak pasti, ada sedikit rasa yang melingkupi pikirannya.

Mahya memang sudah membuat proposal tentang dirinya, dan Cece Ais sebagai pelantara. Seminggu setelah proposal skripsi yang diACC Mahya menyerahkannya dan setelah berjalan sekitar beberapa bulan ini, ini adalah kali pertama ada yang cocok dengan kriteria Mahya.

"Apa aku kasih ke Om Galih aja ya dulu. Biar dicek dan mengetahui seluk-beluk kehidupan cowok itu." Mahya tersenyum kala mendapatkan ide itu.

Ya, dia bukan cewek polos yang saat diberi akan langsung menerima dengan senang hati. Dia adalah sosok yang teliti, jadi dia harus mendapatkan secara mendetail semua tentang cowok itu. Bukan dia yang mencari tahu tetapi orang yang dia percaya. Dan dalam hal ini hanya Om Galih yang memiliki visi dan misi yang sama.

Mahya berjalan keluar kamar, dia akan menuju kamar mandi membersihkan diri dan mengambil wudhu. Kemudian dia akan tidur, besok dia harus membujuk sang Om untuk membantunya.

---

Terpopuler

Comments

we

we

mengalir nyimak again ....

2020-11-02

1

Titik Widiawati

Titik Widiawati

satu kata buat mahya aneh...
aq punya kenalan hijaber alim gk gitu2 amat kali... masih mau ngobrol.sma lawan jenis tp saling jaga pandangan selama msh dlm.koridor agama

2020-07-06

1

Dlfar

Dlfar

kenpa g diliht lgi?

2020-06-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!