"Ravi?" sapa seorang wanita paruh baya yang menghampirinya.
Mata Ravi membulat sempurna. Dia sangat mengenal perempuan yang selalu ramah padanya semenjak dulu, ketika dirinya masih mengenyam bangku SMA di kota neneknya. Hampir setiap hari dia bertemu dengannya, karena setiap hari dia mengantar jemput Natasha.
"Ibu?"
"Kamu apa kabar?" Perempuan itu memegang lengan Ravi.
Nampak gurat bahagia yang terlukis di wajah wanita yang berusia 40 tahunan. Rasa hormat Ravi masih ada padanya, berbeda halnya pada sang anak, Natasha.
"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Kapan sampai di sini?"
"Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Kebetulan kemarin ibu sampai. Mau lihat keadaan Natasha, karena Natasha sudah lama tidak pulang,"
Ravi tersenyum canggung. Tidak menyangka jika ibunya Natasha datang ke kotanya. Baru kali ini dia melihatnya, karena biasanya Natasha yang pulang menemui orang tuanya dan dia pun terkadang mengantarnya.
"Sudah lama juga ibu tidak melihatmu. Terima kasih, Nak Ravi,"
Sekarang Ravi menaikkan sebelah alisnya. "Terima kasih untuk apa, Bu?"
"Ayo masuk dulu! Masa kita ngobrol sambil berdiri di depan pintu," kekeh ibunya Natasha.
Terpaksa Ravi mengikuti keinginan ibunya Natasha. Ada perasaan tak enak saat bertemu dengan ibunya Natasha. pikirannya bisa berubah, pikirnya. Sehingga ada kecanggungan dalam hatinya.
Ruangan 3x4 meter mengingatkan dirinya kembali pada masa lalu. Ruangan dengan sebuah kasur dan satu kamar mandi kecil di ujung ruangan. Sebuah lemari dan meja kecil nampak berdiri di sudut ruangan dekat jendela.
"Mau minum apa?" tanya bu Erna, ibunya Natasha.
"Tidak usah, Bu. Saya cuma sebentar di sini,"
"Ayah ibumu, bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah mereka sehat,"
Mata Ravi melirik sekilas pada Natasha yang terus memandang dirinya dengan senyuman yang sulit diartikan olehnya.
"Ibu mau berterima kasih padamu, Nak. Karena selama ini kami selalu merepotkanmu,"
"Merepotkan bagaimana?" Ravi mengernyitkan keningnya.
"Kamu memang pemuda yang baik. Pantas Natasha sangat mencintaimu." Erna menoleh ke arah anaknya sebentar yang tersipu malu mendengar ucapannya.
Berbeda dengan Ravi yang masih diam mencerna perkataan bu Erna. Dia ikut melirik pada Natasha. Dalam pikirannya, Natasha belum memberitahukan perihal kandasnya hubungan mereka pada bu Erna.
"Selama ini kamu sudah membantu biaya kuliah anak ibu, kemarin kamu juga sudah membantu biaya pengobatan suami ibu. Jadi, sekarang ibu haturkan banyak terima kasih padamu. Jujur ibu tak bisa membalas semua kebaikanmu. Semoga Tuhan yang akan membalas itu semua," papar bu Erna.
"Tapi saya tidak merasa membantu biaya pengobatan bapak, Bu. Itu jerih payah Natasha sendiri,"
"Benarkah? Tapi, Natasha selalu bilang uang itu darimu." Bu Erna menatap Natasha penuh tanya.
"Aku ... aku tak ingin ibu khawatir jika aku bekerja selepas kuliah. Makanya, aku bilang semua itu dari Ravi," bohong Natasha.
"Sudahlah, Bu. Terpenting saat ini bapak bisa berobat dan Natasha masih bisa kuliah,"
"Bapak sudah meninggal sebulan yang lalu, Nak Ravi,"
"Me-meninggal?"
Terkejut. Itulah reaksi yang ditunjukkan Ravi saat itu juga. Matanya menatap Natasha seolah meminta kebenaran. Anggukan lemah Natasha cukup membuatnya semakin terkejut. Ada rasa bersalah dalam dirinya, karena tidak mengetahuinya.
"Sha! Kamu tidak memberi tahu Ravi? Pantas dia tidak hadir di hari meninggalnya bapak,"
"Maaf, Bu!"
Bu Erna kembali menatap Ravi dengan lekat. Pemuda yang sangat pantas untuk anaknya. Dengan perasaan tak enak dia harus mengatakan ini pada Ravi. Sekali lagi dia harus meminta bantuan pada pemuda baik hati seperti Ravi.
"Ravi! Ibu ingin meminta satu hal darimu,"
"A-apa itu, Bu?" Ravi semakin berfirasat buruk melihat mimik wajah bu Erna.
"Ibu titip Natasha padamu, karena ibu yakin kamu lelaki yang bertanggung jawab. Ayahnya sudah tidak ada, jadi ibu meminta bantuan padamu," pinta bu Erna lirih.
Pikiran Ravi buntu. Mau menolak tak enak pada ibunya Natasha, mau menerima pun dia masih mengingat Mentari. Dirinya benar-benar di antara dua pilihan yang sulit. Apalagi melihat binar mata bu Erna yang menaruh harapan besar untuknya.
Di sisi lain, Natasha bersorak karena permintaan ibunya. Menurutnya, Ravi tidak mungkin menolak keinginan sang ibu. Tidak rugi dia meminta ibunya berbicara pada Ravi, meski ada bumbu kebohongan yang dia taburkan.
"Ravi siap membantu Natasha, tapi hanya sebatas teman, tidak lebih,"
Giliran bu Erna yang terkejut. Teman? pikirnya. Padahal dia berpikir bahwa Natasha masih berpacaran dengan pemuda di hadapannya. Dia menoleh ke arah Natasha seperti Ravi, untuk meminta penjelasan.
Selama ini Natasha tidak pernah berbicara tentang putusnya hubungan dengan Ravi. Bahkan ketika dirinya datang ke kosan Natasha, dirinya diminta untuk berbicara dengan Ravi. Namun, yang dilihat hanya gerakan bahu Natasha yang berarti tidak tahu.
Merasa tidak mendapat jawaban, bu Erna kembali menatap Ravi. Lebih baik dia tanyakan langsung pada yang bersangkutan.
"Apakah kalian sudah putus?"
"Iya, Bu. Malah seminggu lagi saya akan menikah dengan wanita yang saya cintai," ujar Ravi menekan kata di akhir kalimatnya.
"Sudah berapa lama kalian putus?"
"Sejak dua bulan lalu, mungkin lebih,"
"Apa alasan yang membuat kalian harus mengakhiri hubungan kalian? Padahal kalian tiga tahun lebih menjalin hubungan. Apakah ada salah paham di antara kalian berdua?" Erna menyayangkan putusnya hubungan mereka.
Natasha menggelengkan kepalanya dan memasang wajah memelas. Telunjuknya berdiri di bibirnya, lalu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Memberi tanda bahwa dia memohon agar Ravi tak membeberkan aib dirinya pada ibunya.
"Masalah alasan ... ibu bisa tanyakan langsung pada Natasha. Saya takut salah bicara dan menimbulkan ketidaknyamanan di hati ibu,"
Ravi peka dengan isyarat dari Natasha, walau hatinya merasa ingin menjelaskan sesuatu. Hinggap sebuah pikiran negatif pada dirinya tentang Natasha yang mungkin saja nanti memojokkan dirinya atau Mentari sebagai alasan. Tapi, dia cepat menepisnya.
Terpenting baginya saat ini, dia tidak berbohong pada ibunya Natasha dan pertemuan ini bukan menjadikan dirinya dan keluarga Natasha bermusuhan. Hilanglah satu beban di pundaknya.
"Sha! Bisa kamu jelaskan semua ini? Padahal kemarin--"
"Nanti aku jelaskan, Bu!" potong Natasha yang tak ingin kenyataan terungkap di depan Ravi.
"Tapi ibu hanya mengenalmu di sini. Natasha juga sendirian di kota ini. Walau cuma sebatas teman, ibu tidak apa. Titip Natasha! Ibu mohon!"
Ravi termakan omongannya sendiri. Sebatas teman, bisa saja dia jaga Natasha dalam batas itu. Namun, apakah Mentari berbaik hati mengizinkannya menjaga Natasha? Bimbang juga ujungnya.
"Saya bisa membantu sebisanya, Bu. Hal itu karena sekarang saya juga punya kewajivan menjaga kekasih saya yang sebentar lagi menjadi istri saya,"
"Iya, ibu mengerti," sahut bu Erna dengan raut kecewa.
"Hari sudah sore. Kalau begitu saya mau permisi. Kalau berkenan, ibu bisa datang ke pernikahan saya bersama Natasha juga." Ravi mengeluarkan sebuah undangan dari ranselnya.
Kotak berukuran 14x20×5 cm berwarna silver bercorak emas dengan huruf M dan R timbul di atas sebuah gambar matahari. Memang Mentari dan Ravi merupakan nama yang berarti matahari.
Natasha merasa sesak di dada menerima sodoran kotak undangan yang tertulis nama dirinya di kotak kecil di ujung benda tersebut. Kalau saja dia bisa merahasiakan semuanya, dipastikan namanya tertera sebagai mempelai perempuan, bukan Mentari.
Rasa cemburu dan dengki pada Mentari semakin besar dalam dirinya. Wanita tomboy dan biasa mampu mengalahkan dirinya, wanita cantik dan pesona yang tak diragukan. Hingga beberapa rencana sudah dia siapkan untuk menggagalkan pernikahan. Tapi, itu semua ditepisnya. Melihat kesungguhan Ravi seakan memberi tanda tak ada celah untuknya memisahkan mereka.
"Ibu hanya bisa merestui pernikahanmu. Pasti wanita itu sangat beruntung mendapatkan lelaki sebaik dirimu," puji bu Erna.
"Justru saya yang beruntung mendapatkannya. Dia wanita yang tangguh dan paling penting dia tulus mencintai saya serta setia," papar Ravi menekankan kata setia sambil mendelik menyindir Natasha.
Hati Natasha teremas mendengarnya. Tentang kesetiaan hubungan, dia memang kalah dari Mentari. Pernah mengkhianati Ravi, tapi cintanya masih setia untuk Ravi. Bukankah itu berarti dia juga dibilang setia, pikirnya. Dasar Natasha masih tak ingin kalah dari Mentari.
"Semoga pernikahanmu selalu diberkahi oleh Tuhan dan langgeng sampai kakek nenek. Maafkan anak ibu yang tidak bisa menjadi pasangan yang baik hingga kalian harus putus," ucap bu Erna yang menampakkan gurat kekecewaannya.
"Aamiin. Terima kasih, Bu. Doa dari ibu sangat berarti untukku dan calon istriku. Saya dan Natasha memang tidak berjodoh. Semoga Natasha bisa mendapat lelaki yang lebih baik dari saya." Ravi memaksakan senyumnya demi rasa hormat pada bu Erna.
"Hanya kamu lelaki terbaik untukku, Ravi," desis Natasha pelan.
Ravi mencium takzim tangan bu Erna. Meminta maaf secara tidak langsung, karena mengecewakan wanita yang dia hormati. Tak ada penyesalan lagi akan putusnya hubungan dengan Natasha. Kini dia mantap menuju masa depan bersama Mentari.
Beban sudah berkurang. Pertemuan dengan Natasha kali ini menutup lembaran kisahnya dengan Natasha. Diliriknya bangunan yang memiliki kenangan baginya. Dirinya sudah usai dengan Natasha, dia yakinkan itu. Terlepas dari kebenaran penjelasan Natasha tentang semuanya
***
Terima kasih untuk apresiasinya. ❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
fery
ravi tegas tp kita lihat apakah dia tergoda lagi sm si nanas
2021-08-15
0
Uthie
bagus lah 👍😌
2021-08-02
1
Ig:@authorlunoxs
hampir mau kecewa sama Ravi, tapi gk jadi, alhamdulilah bernapas lega, 😁
2021-06-04
1