Flashback
“Ra ... apa mimpimu??” sore itu, di bawah pohon rindang yang terdapat tempat duduk dari bambu dia bertanya.
“Mimpiku??” aku menoleh, menatapnya yang juga tengah menatapku.
“Hmhh ...” Dia menganggukan kepalanya, lalu pandangannya lurus pada senja yang sebentar lagi akan segera sirna di ganti oleh pekatnya malam.
“Mimpiku, aku ingin bisa mewujudkan keinginan Bapak, aku ingin memajukan Desa ini, aku ingin perempuan di Desa ini, memiliki ilmu pengetahuan, aku ingin perempuan di Desa ini, tidak selamanya tunduk dengan adat budaya yang mereka ciptakan sendiri, aku ingin ...”
“Mimpi kita sama Ra” dia menyela pembicaraanku yang begitu menggebu.
Aku menunduk, jika bicara tentang mimpi, maka mungkin tidak akan pernah ada habisnya daftar mimpi, cita-cita dan harapan yang aku miliki, jiwaku begitu menggebu, semangatku begitu tinggi untuk bisa mewujudkan impianku.
“Apa mimpimu??” kini aku balik bertanya pada pria di sampingku.
“Mimpiku adalah kamu Rara ...” dia tersenyum menatapku, kilauan senja yang menyorot wajahnya begitu berkilauan, sementara itu suara burung-burung yang hendak kembali ke sarangnya, ikut bersorak, seolah sedang meledek hatiku yang tengah berbunga.
“Ma maksudmu??” aku gugup, segera aku menundukkan kepala, menghindari tatapannya yang bisa membuat jantungku melompat dari tempatnya.
“Kamu adalah mimpiku Ra, mari kita wujudkan mimpimu bersama-sama, aku menyukaimu Ra, jadi ... apapun mimpimu, aku akan mendukungmu, dan akan membantumu untuk mewujudkannya” ucapnya lantang, tanpa beban.
“Terimakasih Ka” aku memanggutkan kepala, tersenyum malu-malu, rona pipiku mungkin sudah ketara, jika suasana tidak mulai menggelap.
“Sama-sama Ra, jangan berpaling dariku Ra, tetaplah begini, selalu di sampingku, dan kita akan menggenggam dunia bersama” ucapnya penuh semangat. Aku semakin terharu.
Aku-pun, sangat mencintainya. Arkana.
Flashback end
***
“Sayang ... sedang apa?” aku mengerjap, kala ku rasakan sebuah tangan melingkar di antara perutku.
“Se sedang memasak” jawabku gugup, juga tak nyaman, ingin rasanya aku menyingkirkan tangan yang sedang menjalar ini, tapi mustahil kulakukan. Aku tidak ingin mendapatkan perlakuan buruk lagi darinya.
“Kamu jangan terlalu lelah, bukankah sudah ada Bibi yang akan memasak??” tanyanya melepaskan pelukan eratnya.
Fiiiuuuhhh ...
“A aku, hanya ingin belajar” jawabku dengan tangan masih mengaduk sayur sop bening yang berada di dalam panci di hadapanku.
“Hmmhhttt ... wangi sekali, pasti enak” ucapnya sambil menarik salah satu kursi makan, lalu mendaratkan bokongnya di sana.
Aku diam lagi, tidak berniat merespon ucapannya.
“Kalau suami pulang itu, tawarin minum dulu!” aku memejamkan mata lagi, kala ku dengar suara mertuaku begitu menggema di dalam ruangan dapur yang cukup luas ini.
“Mih, Arga bisa ngambil sendiri kok, lagian Mira lagi sibuk Mih” pria itu berdiri lagi, meraih minuman mineral dari dalam kulkas.
“Ya biar di biasakan, jadi perempuan itu harus gesit! Dia harus belajar cepat!” suaranya begitu memekakkan telingaku.
“Mih ... udah dong, jangan menekan Mira, kasihan 'kan?” dia membelaku lagi di hadapan Ibunya, aku menunduk, terdiam, buliran bening ini sekuat tenaga aku tahan, andai aku bisa melawan, andai aku tidak menikah dengan pria ini, andai kehidupan keluargaku lebih baik lagi, andai ...”
“Sayang ... sayur sop-mu hampir mengering” dia memperingatiku, aku terhenyak, segera sadar dari lamunanku, yang terus berandai-andai.
“Ah! Ma maaf ...” aku segera mematikan kompor, lalu mencoba mengangkat panci tanpa alas.
“Aaaawwww!!!” aku menjerit, kala kurasakan tanganku terasa terbakar, begitu panas, kurasakan mungkin kulit tanganku akan melepuh.
“Sayang! Kamu kenapa??” pria itu segera menghampiriku, menarik tanganku, memeriksanya, lalu meniup-niupnya penuh perhatian. Memuakkan!.
“Astagaaaaaaa!!! Ngaduk sop aja gak bisa!! Kamu itu perempuan atau bukan sih?? Kalau hanya ngaduk sop saya kira anak SD juga bisa!” lagi-lagi suara itu begitu menggema, aku melirik perempuan yang tengah berkacak pinggang itu dengan ekor mataku. Memuakkan.
“Mah, ada apa ini??” Kak Risya datang, dengan wajah lelahnya, menghampiri kami yang tengah dalam keadaan tegang. Sementara pria itu masih mengusap-usap tanganku, hendak memberikan salep pada tanganku, setelah tadi berlari mencari kotak P3K.
“Ituh, istrinya Arga, masa masak sop aja gak bisa!” perempuan itu langsung berlalu meninggalkan kami, tanpa memperdulikan keadaanku.
“Ra ... kamu gak apa-apa??” tanya Kak Risya lembut, menghampiri aku yang terduduk di kursi makan, dengan air mata yang sudah mengembang.
“Aku gak apa-apa Kak” aku menggeleng, dengan senyuman di paksakan.
“Lain kali, tidak perlu memaksakan diri Ra, sekarang biar aku saja yang memasak” ujarnya, meletakkan tas mahalnya di atas meja makan, lalu mulai mendekati kompor.
“Maaf ya Kak” aku menunduk lagi.
“Gak apa-apa Ra, namanya juga belajar” Kak Risya sempat memutar tubuhnya menatapku, lalu kembali menghadap kompor.
“Sayang, kamu istirahat saja di kamar, nanti biar makanan kamu aku yang bawa ke kamar” ucap pria yang masih asyik mengoleskan salep di tanganku. Aku mengangguk setuju, lalu kami segera memasuki kamar setelah berpamitan pada Kak Risya.
Dia memapahku mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhku di atas kasur besar miliknya. Aku menyelonjorkan kakiku, dengan bibir yang aku gigit sekuat tenaga, karena rasa perih di tanganku yang baru terasa.
“Lain kali, jangan memaksakan diri, kan ada Bibi yang biasa memasak” ucapnya lagi dengan nada lembut.
“Iya, maaf” aku menunduk lagi.
“Ya sudah, aku mau ganti baju dulu ya” dia mengecup keningku singkat, lalu bergegas menuju lemari, mengambil pakaian gantinya, dan langsung masuk kamar mandi.
Ku pejamkan mata ini, ku resapi hidupku yang bagaikan di dalam neraka. Aku sungguh membenci hidupku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Sunarti
jadi menantu baru bukannya d lembutin, eh mulut mertua kok setajam silet😄😄😄
2022-09-27
0
sitiazzahra
mampir teh
2021-12-25
2
Risfa
wehh galak banget itu mertua
2021-12-13
1