Perempuan adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang di anggap lemah, mereka membuat anggapan bahwa perempuan di larang berbicara atau mengutarakan pendapatnya, acap kali perempuan tidak mendapatkan hak-nya, namun di paksa untuk selalu melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Perempuan di larang memiliki mimpi, apalagi untuk mewujudkannya, itu sudah seperti pantrangan di Desaku kala itu.
Ingin melawan? Ingin membantah? Atau ingin mengutarakan pendapat dan keinginan? Tentu itu hanya akan menjadi angan belaka, sebagaimana kepercayaan di Desa kami, bahwa jika ada anak atau perempuan yang berani membangkang pada perintah orang yang lebih tua atau pada suaminya, maka anak atau perempuan tersebut akan langsung di cap sebagai manusia durhaka, dan mungkin saja hukuman berupa cambukan atau makian adalah hal yang akan selanjutnya terjadi.
Iya, itu tanggapan orang-orang yang berada di Desa-ku kala itu, aku tinggal di sebuah Desa terpencil yang sangat jauh dari peradaban kota.
Desaku terletak di sebuah kaki gunung yang termasuk datarang paling tinggi, hawanya sejuk, dingin, pemandangannya yang begitu indah, sawah membentang, sungai dengan air jernih mengalun merdu, hutan dengan pohon pinus berderet, lalu tidak jauh dari rumahku terdapat sebuah perkebunan teh milik seorang Juragan yang di kelola oleh warga setempat.
Pernah terbersit di hati, bagaimana jika aku melarikan diri saja? Agar aku bisa terlepas dari belenggu yang membuatku lelah ini?? Tentu ... hal itu-pun akan menjadi hal yang mustahil bagiku, kabur?? Mau kabur ke mana?? Dengan minimnya pendidikan juga pengalaman, membuat para perempuan hanya mati kutu. Terus bergelung dengan rasa takut.
Pada akhirnya kami para perempuan hanya akan berkutat pada dapur, sumur, dan kasur. Itu sudah seperti adat dan budaya di Desa-ku, bahwa perempuan cukup hanya bisa memasak, membersihkan rumah, juga melayani suaminya dengan baik kelak.
Di desaku, anak perempuan yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, mereka sudah di pastikan akan segera di nikahkan, entah atas dasar perjodohan dari para orangtua, atau pihak laki-laki yang melamar langsung pada orangtua perempuan, perempuan tidak bisa memilih, mereka cukup menunggu dan menerima. Entah mereka menikah dengan pria yang rentang usianya jauh dari mereka, atau mungkin di jadikan istri ke dua, ke tiga, atau ke empat, mereka di larang menolak, para orangtua bilang pamali kalau menolak jodoh atau pilih-pilih jodoh, cukup sederhana, mereka hanya akan menganggap semuanya sebagai takdir.
Sekolah?? Kala itu, sekolah bagi anak perempuan merupakan hal yang sangat tabu, selain sekolah SD juga sekolah SMP yang memiliki jarak yang sangat jauh dari Desa-ku, tapi ... beruntunglah aku, yang hanya anak seorang penjaga keamanan di perkebunan teh tersebut, dan seorang Ibu yang hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, di perkenankan untuk mengecap pendidikan, meski hanya sekedar sampai lulusan SMP saja.
Kala itu, bagiku bisa bersekolah saja sudah hal yang sangat luar biasa, entah dari perjuangan menuju sekolah, perjuangan belajar, dan perjuangan dalam biaya-nya.
Jarak tempuh antara Desa-ku menuju sekolah kurang lebih hampir dua jam, atas kerjasama warga yang menginginkan anak-anaknya bersekolah dan sopir truk pengangkut teh di perkebunan tersebut, semua sepakat bahwa truk pengangkut teh sebelum beroprasi untuk mengangkut teh yang akan di kirim ke pabrik yang ada di kota, pada pukul delapan pagi, maka pada pukul lima pagi truk akan standby menunggu kami para siswa yang akan bersekolah untuk di antarkan ke kota tempat sekolah kami berada. Karena di buru waktu, kami tidak boleh ada yang terlambat, kami harus disiplin waktu, karena jika sedikit saja terlambat, maka truk akan berangkat terlebih dahulu, dan yang tertinggal otomatis tidak akan bisa berangkat sekolah. Ketika pulang sekolah kami akan di jemput pukul dua siang, selepas truk selesai mengantarkan teh untuk yang ke dua kalinya.
Rasa persaudaraan kami begitu kuat kala itu, setiap subuh kami saling membangunkan, kami saling menunggu, lalu kami saling membantu kala naik ke atas truk, berusaha menahan Mas Paijo si sopir truk, jika di antara kami kebetulan ada yang terlambat.
Perjalanan yang kami tempuh bukan tanpa resiko, bagi kami yang masih berusia dua belas tahun, jelas itu adalah perjuangan yang lumayan berat, ketika truk mulai berjalan, kami saling berpegangan, apalagi kala kami tahu kami tengah melewati tebing yang curam, atau jalanan tidak rata, kami malah akan terbahak merasakan sensasi bergejolak pada tubuh kami, kala kami melewati tanjakan maka semua orang akan merapat ke arah belakang mobil, namun kala kami melewati sebuah turunan maka kami akan merapat ke arah depan mobil.
Namun aku menikmatinya, menggunakan seragam SMP dengan rok selutut berwarna biru pekat, dasi yang melingkar di leher, topi dengan logo Tutwuri Handayani di depannya, tas punggung sederhana, sepatu warior berwarna hitam, kaus kaki putih, semuanya sesuai peraturan sekolah. Rambut di kuncir dua, dengan bangga setiap hari aku selalu tersenyum merekah pada siapa saja yang berpapasan denganku.
Jumlah anak yang bersekolah tidak lebih dari sepuluh orang, termasuk aku satu-satunya perempuan yang bertekad kuat untuk tetap melanjutkan pendidikan.
Bapak bilang “Pergilah sekolah, ambil ilmu yang banyak, kembangkan ilmu-mu di Desa ini, agar Desa ini bisa lebih maju lagi” begitu mulia cita-cita Bapak kala itu. Sebagai anak pertama di keluargaku, tentu Bapak menaruh kepercayaan besar di pundakku.
Meskipun hidup kami pas-pasan, karena gaji Bapak yang tidak seberapa, harus membiayai aku dan ke lima adikku yang tentu saja masih sangat kecil, karena saat itu program KB begitu tabu di Desa-ku, di percaya banyak anak banyak rezeky, maka seolah berlomba setiap warga memiliki anak selalu lebih dari lima.
Bapak memiliki sepetak ladang warisan keluarga, yang di tanami sayuran seadanya, Bapak juga merawat beberapa ternak seperti sapi juga beberapa ayam. Alhasil, jika untuk makan sehari-hari, kami tidak terlalu kekurangan.
Beras, kami dapatkan dari padi yang di tanam di sawah, sayuran di petik dari ladang, telur di dapatkan dari ayam-ayam yang di pelihara di belakang rumah, dan susu di dapatkan dari sapi yang Bapak pelihara, semua makanan aku rasa bisa memenuhi gizi dan protein untuk pertumbuhanku.
***
Setelah truk berhenti di depan gerbang sekolah, kami segera turun dengan saling membantu, meski aku anak perempuan satu-satunya, tapi aku tidak ingin menjadi manja, dan justru karena aku bergaul setiap hari dengan anak laki-laki, aku malah jadi terkesan tomboy.
Ku rapi-kan pakaianku, mereka bilang aku cantik, tinggi tubuhku lebih dari seratus enam puluh senti meter di usiaku yang baru tiga belas tahun, hidung mancung, badan berisi, rambut panjang bergelombang, dadaku berisi di banding anak seusiaku yang masih memiliki dada yang rata, kulitku putih bersih, juga aku memiliki semburat kemerahan di pipi secara alami, menurut temanku di kota, aku mirip artis film yang ada di tipi, artis mana akupun tidak tahu, karena aku tidak pernah menonton tipi.
“Almira!”
Aku menoleh kala suara itu memanggilku, aku tersenyum menatapnya yang berlarian menghampiriku.
Dia ... cinta pertamaku.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Meny Djaulu
ternyata pengorbanan RA.kartini yg memperjuangkan hak emansipasi wanita tidak bisa di dapatkan oleh wanita2 di desa lainya.miris memang,di tambah lagi sama org tua yg pengetahuanya masih sangat jaman purbakelo.
2024-10-12
1
Risfa
woww jumpa cinta pertama di smp
2021-12-13
1
paiJah🍃
hmmm ayok next
2021-11-27
2