Brengsek!
Bajingan!
Berandalan!
Tampan sialan!
Batinku terus mengumpatinya dengan puluhan sumpah serapah tak pantas karena mengira pria itu akan menciumku.
"Kalung itu ... Milikku!"
Yang membuatku kesal bukan benda itu, melainkan saat ia memanggilku dengan nama tengahku.
Aku tidak suka!
Kecuali yang memanggilku dengan sebutan itu adalah Ben dan Anna. Selebihnya, aku paling benci dipanggil dengan nama tengahku.
Menuruku, tidak keren dan mengerikan, kau tahu?
Aku juga tidak mengerti kenapa orangtuaku memberiku nama Empusa tapi Ben bilang, supaya kelak aku bisa memiliki keduanya; paras cantik namun juga bisa mematikan, melindungi diri saat bahaya mengancam.
"Terserah! Tapi jangan pernah memanggilku begitu!" Obsidian violetku menatapnya tajam, "Aku tidak suka."
Lalu, pandangan kami bertemu, hanya sebentar sebelum akhirnya pria itu berjalan keluar.
"Hey, wait!" panggilku, sekali lagi.
Dan berhasil membuat pria itu berhenti tapi tidak berbalik, posisinya membelakangiku.
Dasar tidak sopan!
"Kalung itu .." Tiba-tiba saja suaraku tercekat di tenggorokan, ragu dengan reaksinya nanti, "Apa benar kalung itu milikmu?" kuperjelas kata terakhirku supaya ia mengerti.
Mataku terbelalak saat pria itu berbalik dengan ekspresi wajah dingin. Menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.
Apa dia marah? Apa dia tersinggung mendengar ucapanku?
Pantang bagi gadis Moller untuk takut. Di sini, aku harus memiliki mekanisme pertahanan diri dengan baik. Misal, balas memberinya tatapan mengintimidasi juga?
Lagi pula, jika sesuatu yang buruk terjadi padaku maka Ben tidak akan diam saja. Menuntut pria itu sampai ia tidak bisa mengajukan kasasi di pengadilan tinggi Mahkamah Agung atau mengajukan banding untuk membela diri karena lima belas pengacara Ben siap menjebloskannya ke dalam penjara dengan dakwaan yang berat.
Belum lagi Kakak keduaku, Anna. Meski dia seorang wanita, tapi jangan remehkan kemampuannya dalam seni bela diri wushu dan kundao.
Anna bahkan memiliki sabuk merah strip satu.
Jadi, jangan pernah mencoba melawannya atau Anna bisa mematahkan leher pria itu dengan satu kali gerakan.
Terlalu larut dalam lamunan sampai aku tak menyadari pria itu sudah berdiri di dekatku seraya berbisik; "Kau ini sudah mengambil barang milik orang lain tanpa izin, juga banyak bertanya .." Ia menarik wajahnya kembali, napasku masih tertahan saat melihatnya menyeringai seksi, "Ich habe absolut kein Interesse an feuerhaarigen Mädchen!"
Brengsek! Dia menyindirku!
Kemudian pergi meninggalkanku sendirian dengan perasaan kesal karena kalimat terakhir yang ia ucapkan.
Jika tidak ingat kami sedang di perpustakaan maka aku sudah menendang tulang keringnya tadi.
...******...
Di awal, kami sudah sepakat, Ben yang menjemput. Kakakku itu benar-benar definisi pria yang bertanggung jawab dan menghargai waktu.
Datang lebih awal, lima belas menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi.
Aku melambaikan tangan ketika melihat mobil porsche hitam terparkir di depan gerbang.
Tidak salah lagi!
Namun langkahku harus terhenti saat melihat Ben di kelilingi oleh para siswi yang menatapnya penuh pesona. Memuji wajah tampannya dan mereka juga meminta foto bersama.
Bibirku mencebik, melihat penampilan Ben begitu sempurna dengan setelan jas coklat. Tampak pas dan cocok di tubuh tingginya tersebut.
Lain kali aku akan menyuruh Ben mengenakan hoodie hitam dan masker tertutup supaya gadis-gadis itu tidak lagi mengerumuninya seperti seekor semut!
Melihatku sudah kesal karena harus menunggu beberapa menit namun kerumunan para gadis itu tak kunjung membubarkan diri.
"Excuse me! Gadisku sudah datang."
Bibirku tersenyum, mengejek.
Merasa puas melihat wajah kecewa mereka. Tidak tahu saja jika selera Ben adalah wanita dewasa dengan proporsi tubuh bak model Victoria Secret dan mereka semua tidak masuk dalam kriteria yang kusebutkan, maaf.
Mereka menatapku, iri. Bisikan samar terdengar dan kubalas mereka dengan tatapan tajam juga.
"Maaf. Ada sedikit ma— VIOLETTE AWAS!"
Secepat Ben berteriak, namun belum sempat aku menghindar, tubuhku tertarik ke samping. Aku tak berani membuka mata sebab aku tidak percaya bahwa tertabrak motor rasanya bisa sehangat ini.
"Open your eyes, please!"
Suara itu?
Reflek. Kelopak mataku terbuka. Pria itu memelukku, erat. Raut wajahnya begitu cemas, "Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?" Dia mencoba memastikan, lagi.
Aku mengangguk.
Meski tak dapat dipungkiri, jantungku kembali berdebar di saat yang tidak tepat.
Ben datang, merusak suasana manis yang terasa menggetarkan hati, "Lepaskan tanganmu darinya!"
Ben menarikku ke dalam dekapannya, sangat posesif dan aku tidak mengerti, kenapa Ben bersikap kasar pada seseorang yang sudah menolongku.
"Ben-"
"Masuk mobil, Violette!"
Aku menggeleng, "Dia sudah menolongku."
Kini Ben menoleh, menatapku tajam.
Tidak biasanya.
"Kau mau membantah ucapan Kakakmu?"
Pria itu terdiam. Membiarkan kami berdebat dan berakhir aku yang mengalah. Percuma! Sampai kapan pun, aku tidak akan sanggup melawan Kakakku sendiri.
Wajahku berubah masam. Bibirku mendengus, kesal dan Ben menyadari perubahan suasana hatiku.
Masih segar dalam ingatan, beberapa menit yang lalu, rengkuhan hangat itu terasa membekas tapi semua berubah ketika aku melihat Ben berbicara sesuatu dengannya.
Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka namun aku yakin, pembicaraan yang kurang baik sedang berlangsung.
Itu terlihat ketika Ben menunjuk pria itu secara tegas.
Kakakku kembali.
Menghidupkan mesin lalu melajukan mobil dan menjauh dari sekolah. Aku bisa melihat pria itu masih di sana, berdiri hingga mobil kami menghilang di tikungan depan.
"Katakan sesuatu?"
"Apa yang ingin kau dengar, Violette?"
Mataku berotasi, malas. Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan. Menyebalkan sekali!
"Dia temanku! Dia juga yang menyelamatkanku lalu kenapa kau terlihat marah padanya, huh?" Tak sadar, suaraku meninggi.
Pertama kalinya.
Kupikir, Ben marah!
Namun nyatanya lima menit berlalu, Kakakku tetap diam.
Kemudian mobil memasuki halaman Mansion. Ben keluar dan membuka pintu mobil untukku.
"Masuk, Violette." perintahnya.
Baiklah! Ini jadi masalah serius. Ben dan keterdiamannya bukan sesuatu yang baik untuk diabaikan.
Aku menurut. Wajahku menunduk dan membiarkan kakiku berjalan menuju counter dapur untuk mengambil segelas air dingin di kulkas.
Pikiranku kembali mengingat kejadian tadi.
"Open your eyes, please!"
Pria itu terlihat begitu mengkhawatirkan aku.
"Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?"
Mungkin aku yang terbawa perasaan. Dia hanya menolong, tidak ada maksud apapun selain itu.
Aku masuk ke kamar, menghempaskan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar dan terus membayangkan wajah tampannya.
Rasa kantuk menghampiri. Mataku mulai terpejam namun urung sebab ponselku bergetar.
Satu notifikasi pesan terlihat di layar.
Unknown
[14.25]
Bagaimana keadaanmu?
Keningku mengernyit bingung, nomor tanpa nama mengirim pesan. Aku memastikan jika kode; +49— adalah kode nomor negara Jerman.
Tapi siapa?
Si pengirim itu memasang sebuah foto profil.
Hanya dua motor besar yang terpasang sebagai foto profilnya.
Kemudian dia mengirim pesan lagi!
[14.35]
Kenapa tidak dibalas?
[14.37]
Kenapa harus? Siapa kau?
Iya. Aku membalasnya dan kupikir, seseorang berusaha menggangguku dengan mengirim pesan aneh.
Tidak mungkin jika itu temanku dari Cina. Kode nomor teleponnya saja berbeda.
Aku memeriksa ponselku lagi setelah tadi sempat kuatur dalam mode silent.
Benar saja, dia membalas pesanku. Bukan hanya satu tapi tiga pesan sekaligus.
[14.39]
Aku manusia!
[14.39]
Tidak sekarang kau mengetahuinya!
[14.40]
Dilihat dari caramu membalas pesan, kupikir tidak ada masalah, bye!
Kubalas pesannya secepat mungkin sebelum dia menghilang, entah kemana!
[14.45]
Aneh! Kau belum menjawab pertanyaanku, Sir.
Siapa kau?
[14.45]
Aku bersumpah akan menyuruh pegawai IT terbaik Kakakku untuk mencari datamu dan membobol sistem keamanan ponselmu!
Lihat saja!
...******...
TOUCH VOTE, COMMENT, LIKE!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Astri
seruu ayo ramaikn novel ini.. bagusss
2022-01-01
0