Bunyi alarm membuatku terbangun.
Senin pagi yang hangat. Mentari mulai mengintip dengan kicauan nyaring burung kecil yang hinggap di pohon sakura dekat jendela kamarku.
Iya, pohon sakura itu merupakan hadiah ulang tahunku dari Ben dan Anna.
Mungkin tahun ini, aku ingin sebuah Maybach Exelero keluaran terbaru.
Selesai mandi, aku bersiap-siap turun ke bawah dan bergabung dengan mereka untuk sarapan pagi bersama.
Ternyata mereka sudah menungguku. Mereka juga terlihat rapi, bersiap-siap pergi bekerja. Ben dan setelan jas formalnya sementara Anna dengan dress floral seperti biasanya.
"Guten morgen." sapaku.
Mereka balas tersenyum. Menyuruhku segera duduk dan menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh Anna.
Khusus untuk memasak, kami tidak memerlukan bantuan Maid karena keinginan Anna adalah supaya aku dan Ben tetap memakan sesuatu yang sehat. Anna bukan Dokter ahli gizi tapi ia termasuk penganut gaya hidup sehat dan sangat menjaga pola makannya, termasuk pola makan kami; Ben dan aku.
Pagi ini semua kuawali dengan semangat. Sekolah baru dan teman baru. Untuk yang terakhir, semoga teman baruku di sini sama baiknya dengan teman lamaku di Cina.
Ah! Aku jadi rindu kakek dan nenek!
Mungkin ini berlebihan, mengingat baru seminggu yang lalu aku datang setelah tujuh tahun pergi meninggalkan Jerman.
"Itu cantik, Violette."
Aku melirik Ben melalui ekor mata, "Apanya?"
"Benda yang melingkar di lehermu ... Aku baru melihat itu. Kapan kau membelinya?"
Kini atensi Anna juga beralih menatap pada kalung yang sengaja kupakai di hari pertama sekolah, "Ah! Ini ... Kemarin aku menemukannya saat kita datang ke sekolah." Jemariku menyentuh liontin berbentuk singa jantan— "Aku menyukainya."
Ini memang bagus!
"Pasti milik salah satu murid di sana, Vi. Sebaiknya kau kembalikan saja." Anna memperingati.
Aku menggeleng, keberatan.
"Ini milikku! Lagipula, aku juga tidak tahu siapa pemiliknya."
...******...
Satu jam perjalanan.
Aku tidak mengerti, kenapa Ben harus repot merekomendasikan sekolah baru untukku yang jaraknya lumayan jauh jika lima belas menit di persimpangan jalan dekat Mansion kami, ada sekolahan juga.
"Kita sudah sampai. Violette, jaga dirimu! Jangan nakal dan jangan terlalu banyak membeli junkfood atau—"
"Anna, please! I know!"
"Good girl! Kalau begitu, masuklah! Jika tidak ada jadwal operasi, aku yang akan menjemputmu nanti siang, Sayang."
Kepalaku mengangguk, segera turun saat jarum jam menunjukkan bel masuk akan segera tiba.
Bodoh. Seharusnya aku datang lebih pagi supaya tidak kesulitan menemukan kelas baruku.
Demi Tuhan! Kemarin aku tidak sempat berkeliling lebih jauh dan sekolah ini terlalu luas untuk murid pindahan sepertiku.
Karena buru-buru berjalan, aku tidak memperhatikan kakiku yang tak sengaja menginjak kulit pisang dan— BRAK! Aku terpleset. Jatuh dan berdarah, di bagian lutut.
Beruntung, tidak banyak murid yang berlalu-lalang di sini, jadi perasaan malu itu tertutupi oleh rasa perih di lututku.
"Sialan! Sekolah macam apa ini? Membiarkan muridnya buang sampah sembarangan!" umpatku.
"Hey! Kau baik-baik saja?"
Empat orang datang menghampiri, satu dari ketiganya adalah seorang siswi perempuan.
Mataku menelisik penampilan mereka yang terlihat tak sesuai dengan gambaran sekolah ini. Jauh dari kata elit, menurutku.
Salah satu dari mereka beradu pandang denganku. Aku stagnan dan jantungku berdebar ketika sepasang obsidian birunya menatapku tajam, tak berkedip.
Pemuda berkulit pucat mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri dan aku menyambutnya, "Danke." kataku.
"Lukamu harus diobati. Kami antar ke klinik ya?"
"Biar aku saja."
Satu-satunya gadis diantara ketiga siswa itu berjalan mendekat, menopang tubuhku di bahu sempitnya. Kami berjalan beriringan, tanpa bersuara dan lagi, aku berusaha mencuri pandang pada seseorang yang berdiri di sisi kiriku.
Dia terus memperhatikanku, menatapku dalam keterdiaman yang nyata. Itu membuatku agak risih, ngomong-ngomong.
Harus kuakui dari ketiganya, pemuda bermata biru itu yang paling tampan, dengan dada bidang yang tercetak jelas di balik seragam Senior Highnya tersebut.
Oh sialan! Pikiranku mulai mesum.
Dia juga memiliki garis rahang yang tegas serta hidung mancung yang menjulang tinggi. Jangan lupakan sepasang obsidian birunya yang tajam, aku juga menyukai itu.
Dulu, aku selalu memuji warna mata biru Ben, kupikir semua yang berwarna biru adalah favoritku, tapi yang ini— kenapa rasanya berbeda?
Gadis itu masih kuat menopang tubuhku dan kami berjalan sangat pelan.
Di ujung sana, klinik yang luasnya dua kali lipat dari lapangan basket terlihat oleh obsidianku. Kami bergegas masuk dan di sambut oleh seorang wanita cantik berjas putih. Sepertinya wanita itu adalah Dokter jaga yang ada di klinik ini.
Namanya Mrs. Rachel.
Dan ia tampak seumuran dengan Kakakku. "Jadi siapa yang sakit?" Suaranya terdengar begitu lembut, persis seperti Anna.
"Murid baru ini, Mrs. Rachel."
Lalu Mrs. Rachel memintaku berbaring di ranjang namun aku menolaknya, "Saya duduk saja, Frau."
Seseorang langsung menyela— "Dia sudah di sini, jadi kita bisa kembali ke kelas."
Butuh waktu lima belas menit untuk bisa mendengar suara bass pemuda berambut mencolok; ash grey tersebut.
Karena semenjak tadi, hanya dia satu-satunya yang tak bersuara.
Lalu apa katanya? Kembali ke kelas?
Tsk! Padahal aku masih ingin mendengar suara beratnya yang seksi itu.
Lima detik aku menunggunya kembali bicara namun ia justru melenggang pergi. Di susul oleh temannya, si gadis brunette.
"Tapi kita harus mengantarnya ke kelas."
Pemuda itu mengabaikan ucapan temannya dan tetap berjalan keluar, membiarkan aku bersama dua temannya saling bersitatap, bingung.
Sementara gadis brunette itu menoleh sebentar, "Semoga lekas sembuh." Kalimat terakhir sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.
Aku mendesah kecewa dalam hati.
"Sudah selesai. Jangan dibasuh air dulu ya supaya lukanya cepat kering. Jika masih sakit, kau bisa beristirahat sebentar di sini."
"Tidak, Mrs. Rachel. Ini sudah lebih baik, saya harus kembali ke kelas." Aku beranjak dan teman si mata biru tadi langsung sigap memegang lenganku, "Terimakasih. Saya permisi dulu."
Saat di luar, kedua pemuda itu menawarkan diri untuk mengantarku ke kelas. Aku tidak menolaknya karena memang aku butuh mereka agar cepat sampai di kelas.
Banyak hal yang terjadi di hari pertama masuk sekolah. Rasanya bibirku ingin mengeluh pada Ben karena dialah yang telah merekomendasikan sekolah ini padaku.
Dan lagi, aku masih pensaran dengan pemuda tadi. Mereka; ke empat murid itu, berpenampilan seperti berandalan. Sama sekali tidak mencerminkan murid disiplin yang taat pada aturan sekolah.
Aku berdoa, semoga mereka tidak berada di kelas yang sama denganku atau hari-hari yang mendebarkan akan selalu kuhadapi.
"Hey! Bagaimana bisa murid baru sepertimu diantar oleh Kekasihku dan Louis?"
Ya Tuhan! Apalagi sekarang?
...******...
-Frau(n); nyonya
-Danke(n); terimakasih
TOUCH VOTE, COMMENT AND LIKE!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Yulestiani Desy Wulandari Soewarno
bagus thoor.. bahasa mu lugas tak tergesa..
2022-05-25
0
Astri
lanjut
2022-01-01
0