. Dering ponselnya membuat Avril terbangun.
"Hallo." Ucap Avril tanpa melihat nama di layar ponselnya.
"Turun atau aku yang ke kamarmu."
"Apa?" Teriak Avril setengah sadar.
"Jangan berteriak. Aku tidak tuli." Ucap Alvi mengusap telinganya.
"Apa maksudmu?" Avril menatap layar ponselnya.
"Cepatlah. Atau kau benar-benar ingin aku ke kamarmu?" Ejek Alvi.
"Diam kau. Dan aku masih tidak mengerti." Ucap Avril.
"Aku dirumahmu." Alvi melirik pada Galih.
"Apa? Sedang apa kau di rumahku?" Tanya Avril dengan nada tinggi.
"Sudahlah. Jika kau masih bertanya, aku akan ke kamarmu sekarang." Ucap Alvi serius.
"Silahkan saja jika kau berani." Avril melirik pintu.
"Baiklah nona, kau yang meminta. Aku akan kesana." Alvi mematikan ponselnya. Avril terkejut lalu berlari menuju pintu dan menguncinya.
"Jika kau berani ke kamar Avril, kubunuh kau.!" Galih menatap tajam pada Alvi.
"Ahaha tenang tuan. Aku hanya becanda." Alvi tertawa kecil.
"Ini karena ayah terlalu mempercayainya." Ayah mendongak menatap Galih.
"Kau menyalahkan ayah?"
"Ti-tidak juga. Aku hanya...." Galih terlihat serba salah.
"Sudahlah. Alvi tidak seperti yang kau pikirkan." Ucap ayah kembali membaca koran ditangannya.
"Heheh..." Alvi melirik Galih penuh kemenangan.
"Ayah. Sebenarnya siapa anak ayah disini?" Galih menepuk dahinya.
"Maaf tuan, aku tidak bermaksud." Ejek Alvi.
"Diam kau." Geram Galih. Alvi hanya tertawa menanggapi Galih yang kesal padanya.
. Setelah lama Avril bersiap, terdengar suara ketukan pintu.
"Sial. Alvi benar-benar kesini" gumam Avril ketakutan
"Apa ayah dan kakak sedang tidak dirumah? Padahal hari sabtu ayah tidak akan pergi jika tidak keluar kota" pikiran Avril mendadak kacau.
Ketukan semakin keras, Avril mundur dan terduduk di kasurnya.
"Pergi kau. Atau aku akan menelpon polisi." Teriak Avril menarik selimutnya.
"Non. Ini bibi." Teriak bibi dari luar.
"Eh? Bukan Alvi?" Lirihnya langsung berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Apa non baik-baik saja?" Ucap bibi khawatir menatap Avril. "Kenapa harus menelpon polisi?"
"Ak-aku baik-baik saja bi. Tak ada apa-apa." Avril memijit pelipisnya. Lalu Avril melihat seorang laki-laki yang sedang duduk santai yang fokus pada ponsel ditangannya. Avril menghela nafas lega ketika melirik pria disampingnya, tak lain adalah Galih.
"Syukurlah kakak ada dirumah." Lirih Avril mengusap dadanya.
"Kenapa non?" Bibi menatap heran Avril yang bertingkah aneh hari ini.
"Ah tidak bi." Jawab Avril tersenyum.
"Ohh ini non. Bibi bawakan sereal permintaan non." Ucap bibi menyodorkan nampan dengan mangkok sereal dan segelas susu coklat.
"Kenapa non tidak sarapan dibawah?" Tanya bibi lagi.
"Sedang ingin dikamar saja bi. Sambil bersiap." Jawab Avril kemudian berlalu kedalam kamar tanpa menutupkan pintu.
. "Avril belum bangun bi?" Tanya ayah tanpa menoleh pada bibi yang sedang menuruni tangga.
"Sudah tuan. Non Avril sedang bersiap." Jawab bibi ramah dan terlihat senang.
"Bi... bibi sedang bahagia?" Tanya Galih heran.
"Tidak tuan." Jawab bibi menunduk. Kemudian kembali kedapur.
"Kenapa adikmu lama sekali?" Alvi melirik kesal pada Galih yang sedang menyeruput kopinya.
Galih menaikan bahunya sebentar dan melirik pada Alvi.
"Biasanya tidak. Mungkin sedang mengikat rambutnya." Ucap Galih kembali menatap layar laptopnya.
"Yaaa atau sedang melipat lengan kemejanya." Alvi menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan matanya.
. Setelah lama menunggu, terdengar langkah kaki menuruni tangga. Galih menoleh, menatap tak berkedip.
"Avril." Lirih Galih.
"Hmmm?" Alvi membuka satu matanya lalu terbelalak melihat siapa yang turun.
"Ayah? Apa dia benar anak ayah?" Tanya Alvi tanpa menoleh pada ayah.
Karena heran, kemudian ayah menoleh kebelakang dan mendapati Avril dengan versi lamanya. Memakai dress selutut, rambut yang terurai, dan aura lembut dan hangat yang selama ini hilang entah kemana.
Alvi menoleh ayah yang tak memalingkan pandangannya dari Avril.
"Ayah pun sama!" Ucap Alvi menyindir.
Ayah mendelik pada Alvi. "Kau berani menyindirku?"
"Heheh tidak ayah. Aku hanya becanda." Alvi mengangkat kedua tangannya.
"Avril menatap heran pada orang-orang diruangan itu.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa aku terlihat aneh? Atau terlihat seperti hantu?" Avril mendekati ayah lalu mencium tangannya.
"Aku pergi dulu ayah." Lanjutnya menghampiri Galih. "Kedipkan matamu kak." Ejek Avril mencium tangan Galih.
Lalu Avril menghampiri Alvi.
"Jangan mencium tanganku, dipipi saja!" Ejeknya menatap Avril.
'Plak.' Pipi Alvi terasa sedikit panas.
"Kau kasar sekali Avril." Alvi mengusap pipinya.
"Bukankah kau yang meminta dipipi?" Avril melipatkan tangan di dadanya. Galih tertawa puas melihatnya.
"Bukan ini maksudku." Alvi mengacak rambutnya.
"Jangan macam-macam Alvi." Avril melotot pada Alvi.
Alvi tiba-tiba menepuk kedua pipi Avril lembut.
"Kau menggemaskan Avril." Ejek Alvi kemudian berjalan menghampiri ayah dan mencium tangannya, lalu melakukan hal yang sama pada Galih.
"Manis sekali sikapmu nak!" Ejek Galih menatap tajam pada Alvi.
"Yaaa kau pasti mengerti. Bukankah harus seperti ini untuk meluluhkan hati calon mertua dan kakak ipar yang sangat keras kepala sepertimu?" Ucap Alvi santai membalas ejekan Galih.
"Lalu kau pikir siapa yang akan merestuimu?" Galih menyeringai.
"Ayah." Jawab Alvi santai.
"Apa kalian akan terus bertengkar seperti ini?" Ucap ayah menoleh pada keduanya.
Alvi kemudian pamit dan berlalu menarik tangan Avril.
Alvi membukakan pintu mobil untuk Avril.
"Ray tidak mengantarmu?" Tanya Avril memasuki mobil.
"Apa kau merindukannya?" Alvi menutup pintu.
"Tentu saja." Jawab Avril datar.
Alvi masuk di samping Avril tepat dibelakang kemudi. Melajukan mobil meninggalkan rumah Avril.
. Setengah perjalanan, keduanya terdiam tak ada yang bicara.
"Kapan lulus?" Tanya Alvi memecah keheningan.
"2 tahun lagi." Alvi mengangguk menanggapi jawaban Avril.
"Ku dengar ada seniormu yang menyukaimu." Ucap Alvi.
"Kenapa tiba-tiba membahas itu?" Avril menatap Alvi.
"Aku hanya memastikan saja. Apa itu benar?" Alvi terus fokus pada jalanan.
"Mungkin." Avril kembali menatap ke depan.
"Apa kau juga menyukainya?" Tanya Alvi tanpa menoleh dan sedikit menahan nafasnya.
"Tidak." Jawaban Avril membuat nafasnya terhembus panjang.
"Kau sedang apa?" Tanya Avril menatap heran pada tingkah Alvi.
"Ahah ti-tidak. Ak-aku hanya mengatur pernafasanku saja." Jawab Alvi terbata dan tersenyum kaku.
"Kau aneh Alvi." Avril menatap ke tepi jalan.
"Aku hanya takut kau juga menyukai mahasiswa itu Avril" gumam Alvi dalam hati.
Alvi menepikan mobil dikantornya.
"Kenapa kesini?" Tanya Avril heran.
"Ada sedikit urusan pada Ray." Jawab Alvi keluar mobil. Lalu berlari dan membukakan pintu mobil Avril.
Beberapa karyawan menatap Presdirnya membukakan pintu dan keluar seorang gadis dari dalam.
"Itu bukan Amel. Siapa dia?" Bisik seorang karyawan wanita yang lewat di loby kantor.
"Sepertinya pak presdir sudah tidak dengan Amel lagi. Bukankah sudah 2 tahun Amel berada di London? Dan sekarang pak presdir membawa wanita lain ke kantor. Itu sudah membuktikan bahwa mereka sudah putus." Bisik karyawan yang lain.
Alvi memasuki pintu utama diikuti Avril dibelakangnya.
"Apa dia tamu pak presdir?" Bisik seorang karyawan yang di lewati Avril, pelan tapi masih terdengar.
Tak jauh dari lift, Ray terlihat memberikan hormat pada Alvi yang menghampirinya.
"Ray... antarkan Avril ke ruanganku." Ucap Alvi datar.
"Baik tuan." Jawab Ray sopan.
Avril menatap punggung Alvi. Auranya begitu berbeda dari 5 menit yang lalu. Benar-benar dingin.
"Ayo nona!" Ucap Ray tersenyum. Avril terus fokus menatap punggung Alvi. Kemudian Alvi berbalik dan menepuk pundak Avril pelan. "Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali."
Avril menunduk, lalu memalingkan pandangannya.
"Ayolah jangan memasang ekspresi seperti itu, aku tak akan lama." Lanjut Alvi menepuk kepala Avril.
"Baiklah." Jawab Avril singkat. Alvi tersenyum kemudian berlalu meninggalkan Avril dan Ray.
Ketika hendak melangkah, seseorang memanggil namanya.
"Avril.. kau Avril kan?" Seseorang memiringkan kepalanya.
"Iya..." jawab Avril datar.
"Ahaha kau masih sama Avril. Masih dingin... dan apa kau masih menunggu Aldian? Bukankah Aldian sudah..."
"Aku yak ingin mendengarnya lagi kak!" Ucap Avril memaksakan senyumannya.
"Ohh maaf. Aku hanya mendengar rumornya. Tapi aku tak tahu kebenarannya." Ucapnya sedikit menunduk dan melirik pada Avril. "Apa kau tidak punya pacar sekarang?" Tanyanya antusias.
Avril hanya terdiam sedikit menundukan pandangannya.
Ray berjalan menengahi keduanya.
"Maaf manager Irfan. Sepertinya tamu kita sedang tidak ingin bicara." Ucap Ray menatap tajam Irfan.
"Maaf Avril. Tapi lain kali jika bertemu, aku ingin mengobrol banyak denganmu." Avril hanya tersenyum menanggapi Irfan.
Kemudian Avril berlalu memasuki lift dengan Ray.
Irfan menatap pintu yang perlahan menutup, tersenyum, dan bergumam "kau masih sama, dan akupun masih sama. Aku masih mencintaimu Avril. Tak peduli siapa saja sainganku."
"Nona mengenal Irfan?" Tanya Ray yang berdiri didepan Avril.
"Iya. Dia kakak kelasku saat SMA." Jawab Avril.
"Sepertinya dia menyukai nona." Lanjut Ray.
"Memang." Avril menatap kosong pada pintu lift yang tertutup.
"Apa nona menyukainya?" Ray sedikit melirik dengan keringat dingin di pelipisnya.
"Tidak." Jawab Avril datar.
"Lalu, siapa yang nona sukai?" Keringat Ray mulai mengalir kebawah.
"Tidak ada." Jawab Avril lagi.
Ray hanya terdiam sampai pintu lift terbuka. Lalu mengantar Avril ke ruangan Alvi.
"Apa nona ingin minum teh sambil menunggu tuan?" Ray sedikit menunduk.
"Tidak Ray. Terimakasih. Dan jangan formal seperti itu." Ucap Avril datar.
"Tuan akan marah jika tahu saya tidak sopan pada nona." Ray tersenyum. "Kalau begitu saya permisi." Ray menutup kembali pintu ruangan.
Avril berjalan menuju sofa disamping jendela. Duduk dan menatap keluar.
Masih tak percaya jika Aldian sudah bertunangan dengan gadis lain selain dirinya.
Airmatanya jatuh tanpa disadari. Avril mengusap pipinya, dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Ruangan itu sepertinya terkunci" Avril menatap sebuah pintu di belakang meja kerja Alvi.
Avril berdiri dan menghampiri sebuah rak buku tak jauh dari tempat duduknya.
Avril mengambil sebuah novel. "Sepertinya menarik" gumamnya kembali duduk di sofa dan mulai membuka novel ditangannya.
Entah Avril yang membacanya dengan cepat, atau Alvi yang tak kunjung kembali.
Avril membaca nya dengan ekspresi kesal. Kemudian Avril melangkah keluar ruangan dan mendapati Ray yang sedang sibuk dengan komputernya.
"Apa Alvi masih lama? Jika lama, aku akan pulang terlebih dulu." Ucap Avril.
"Tidak. Jangan nona. Sebaiknya nona tunggu sebentar lagi." Ray berdiri dari duduknya.
"Tapi, sudah 1 jam. Jika Alvi sedang sibuk, mengapa dia menjemputku?" Avril menggembungkan pipinya.
"Tuan hanya ingin meluangkan waktunya untuk menemui nona. Karena seminggu ini tuan tidak bisa bertemu dengan nona. Jadi saya harap nona bisa menunggu sebentar lagi." Ucap Ray tersenyum
"Tuan sangat merindukan nona" gumam Ray.
. "Ray. Aku ingin bertemu dengan Alvi." Ucap seorang wanita berkacamata yang tiba-tiba berdiri di samping Avril. Ray terlihat terkejut tidak menanggapi ucapan wanita itu. Avril menoleh dan dengan datar menatap Amel.
"Kak Amel?"
"Ahh... apa kau Avril?" Amel membuka kacamatanya. Avril hanya mengangguk menanggapinya.
"Untuk kesalahan Aldian aku minta maaf Avril." Ucapnya memasang wajah sedih.
"Sedang apa kak Amel disini?" Gumam Avril menatap Amel.
"Maaf nona, tapi tuan sedang ada meeting penting hari ini." Jelas Ray datar. Avril menoleh kembali pada Ray.
"Kenapa Ray begitu dingin pada kak Amel?"
"Tak apa, aku akan menunggunya." Amel hendak melangkah kedalam ruangan. Ray berjalan cepat dan menarik tangan Amel.
"Maaf nona. Tapi tuan tidak memperbolehkan siapapun masuk tanpa seizinnya. Dan sekarang sedang ada tamu penting bagi tuan. Jadi saya harap nona bisa mengerti." Ucap Ray terlihat kesal.
"Apa? Hanya orang yang di izinkan? Siapa? Siapa yang lebih penting dari aku yang sudah jelas kekasihnya.?" 'Deg' Avril tersentak mendengar ucapan Amel. Avril kembali menoleh pada Amel.
"Kau dengar Avril? Hanya karena menjadi orang kepercayaan Alvi, dia benar-benar menjadi angkuh." Avril tersenyum paksa menanggapi ucapan Amel.
"Ak-aku permisi." Avril berbalik dan pergi menuju lift.
Ray mengikuti dari belakang dan memanggil Avril beberapa kali, membuat Amel merasa heran.
. Didalam lift, Avril menatap kosong kedepan.
"Mengapa aku kesal? Siapa Alvi? Siapa kak Amel? Aku tidak peduli pada mereka. Aku tidak peduli hubungan mereka." Avril mencengkram tali tasnya.
"Kenapa kau mengikutiku Ray?" Lirih Avril.
"Saya mengkhawatirkan nona. Dan jika ada sesuatu yang terjadi pada nona, tuan tidak akan memaafkan saya." Ucap Ray.
"Bukankah seharusnya kau mengkhawatirkan kak Amel."
"Tuan tidak peduli pada Amel. Tuan hanya peduli pada nona." Ucap Ray
"Aku siapa Ray? Aku tidak ada hak untuk dipedulikan oleh Alvi. Dan jelas kak Amel punya hak itu. Bukankah dia..."
"Tidak nona, anda salah faham. Itu tidak seperti yang anda dengar. Jadi saya mohon, nona kembali ke ruangan tuan dan menunggu tuan menemui nona." Ray berbalik menghadap Avril.
"Tidak Ray. Aku ingin sendiri dulu hari ini." Ucap Avril memalingkan pandangannya.
"Tidak nona. Saya menolak permintaan nona."
'Ting.' Pintu lift terbuka. Avril hendak berlari namun Ray menarik lengan Avril.
Ray melepaskan genggamannya ketika melihat air mata Avril mengalir di pipinya.
"Nona..." lirih Ray.
Avril terdiam sejenak. Menghela nafasnya dan menghapus air matanya.
"Aku akan pulang. Dan katakan pada Alvi jangan menemuiku" Avril melangkah menjauh dari Ray.
"Apa maksudmu gadis bodoh?" Ucap Alvi membuat Avril menoleh. Dan mendapati Alvi dengan wajah kesal mengahmpirinya.
"Siapa yang mengizinkanmu pulang?" Lanjutnya.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Atri Aulia
Enggak kak. Itu memang kesalahan aku. Udah sempet sunting tapi belum ke update. Maaf ya🙏🏻
2023-08-11
0
kika
bru tingkat 2 kok setahun lagi lulus thor? avril kuliahnya D3 kah thor? biasanya orang kaya kyliahnya s1 (4 tahun) atau malah sklian s2/s3...
2023-08-11
0