. Avril memutuskan untuk menemui Alvi ke kantornya.
Sampai di depan ruangannya, Ray terlihat memberi hormat.
"Apa nona ingin menemui tuan Alvian?" Tanya Ray ramah.
"Tidak. Aku ingin menemuimu Ray." Jawab Avril datar.
"Jangan seperti itu nona. Jika tuan tahu, bukan hanya gaji saya saja yang dipotong, tapi saya juga akan kehilangan pekerjaan ini." Ucapnya terlihat khawatir.
"Apa maksudmu Ray?" Avril menatap Ray heran.
"Ti-tidak nona hanya saya dan tuan Alvian yang tahu." Ray tersenyum kaku. Kemudian Ray berjalan membukakan pintu untuk Avril.
"Silahkan nona, kebetulan tuan masih ada didalam." Ucap Ray ramah.
"Terimakasih" ucap Avril memasuki pintu yang dia tahan untuk tetap terbuka.
Terlihat Alvi sedang bergelut dengan tumpukan kertas dimejanya.
"Sepertinya kau sedang sibuk tuan." Ucap Avril membuyarkan lamunannya.
"Avril? Mengapa kau kesini?" Tanyanya heran.
"Aku hanya ingin memastikan ucapan kakak ku saja." Jawab Avril duduk di depannya.
"Ahh sepertinya kakakmu bicara yang tidak-tidak tentangku." Alvi masih fokus pada berkasnya.
"Yaa begitulah." Avril mengedarkan pandangannya, dan terfokus pada sebuah ruangan di belakang Alvi.
"Apa kau merindukanku?" Tanyanya menyandarkan tubuhnya.
"Hemmm kau sangat percaya diri." Avril memalingkan pandangan.
"Lalu? Jika kau tidak merindukanku, tidak mungkin kau sampai repot-repot menemuiku." Ejeknya lagi.
"Terserah kau mau beranggapan seperti apa, tapi aku hanya penasaran saja. Sesibuk apa kau, sampai tak bisa menemuiku." Avril melipatkan tangannya.
"Aku ada meeting, aku akan menemuimu nanti" Alvi berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Ternyata kau benar-benar sibuk Alvi." Ucap Avril mengikutinya dari belakang. "Tapi, aku juga harus ke kampus." Aku mendahuluinya keluar dari pintu. Alvi hanya menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya terus bergumam "apa aku terlalu sibuk, tak ada waktu menemuinya. Sampai dia sendiri yang menemuiku."
"Hei Alvi." Alvi mendongak,menatap rambut Avril yang terurai rapi. "Tidak jadi." Avril kembali berjalan. Berlalu dibalik pintu lift. Alvi menatap Avril yang perlahan menghilang terhalang pintu yang tertutup.
Tak bisa dipungkiri, Alvi merasa sesak Avril pergi begitu saja. Rasanya ingin meninggalkan tanggungjawabnya sebagai presdir saat ini.
"Aku yang merindukanmu Avril." Ucap Alvi.
Alvi berbalik badan dan mendapati Ray di belakangnya.
"Kau mengejutkanku Ray." Ucap Alvi kesal.
"Maaf tuan. Tapi sebaiknya tuan segera ke ruang meeting. Klien sudah menunggu anda." Ray memasang wajah serius.
"Kau menakutkan saat serius Ray." Alvi menutup wajahnya sebagian.
"Ohhh maaf!" Ray menundukan wajahnya.
"Hahhhhh aku malas Ray... bisakah kau menggantikanku? Aku ingin bertemu Avril." Rengek Alvi.
"Maaf tuan, tapi untuk meeting kali ini tidak bisa di handle oleh siapapun kecuali tuan sendiri. Dan bukankah barusan tuan sudah bertemu nona Avril?" Kembali Ray memasang senyuman di wajahnya.
"Cihh... sial! Aku bahkan tak bisa istirahat dengan tenang."
"Setelah ini, anda bisa istirahat tuan. Bertahanlah 1 minggu lagi. Karena jadwal anda sangat padat." Jelas Ray.
"Sepertinya kau berniat membunuhku Ray." Geram Alvi.
"Ehhhhhh? Maaf tuan.." Ray kembali menunduk.
. Disisi lain, Avril memarkirkan mobilnya di sebuah toko kue.
"Semoga masih ada" gumamnya menutup pintu mobil. Lalu berjalan menuju pintu.
'Deg' langkahnya terhenti ketika mendapati seseorang yang amat dikenalnya berhenti tepat di depannya. Menatap lembut kearahnya, dan tak hentinya menjatuhkan bulir bening dari kelopak matanya.
"Avril. Ini kau nak?" Seorang perempuan berusia sekitar 40 tahunan membelai wajah Avril lembut.
"Kau sangat cantik, sampai mama sulit mengenalimu." Air mata Avril mulai berderai membasahi wajahnya.
"Mama?" Avril memeluk wanita itu.
"Mama senang kau baik-baik saja nak!" Ucapnya terus mengusap rambut Avril.
Keduanya memilih berbincang di sebuah cafe.
"Apa kau sudah bertemu Aldian?" Avril hanya mengangguk. "Apa kau membencinya?" Kini Avril menggeleng. "Maaf sudah membuatmu terluka." Ucap Mama Dewi menunduk.
"Mama tidak salah. Mama tak perlu meminta maaf. Ini sudah jalannya" ucap Avril tersenyum.
"Kau benar-benar baik nak.!"
"Aku tidak sebaik itu ma. Aku belum sepenuhnya memaafkan Aldi, tapi aku juga belum bisa melepaskannya." Avril mengepalkan sedikit tangannya.
"Mungkin mama akan memberitahukanmu alasan Aldi menerima perjodohannya." Ucap Mama menatap Avril.
"Aldi sudah menceritakannya ma." Avril memalingkan pandangannya.
"Kau percaya?" Avril menggeleng.
"Entahlah. Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Bahkan aku belum bisa menerima kenyataannya." Jelas Avril melirik pada kopi didepannya.
"5 tahun lalu, perusahaan P diambang kebangkrutan. Dan sepertinya kau juga mendengar rumornya. Tak ada perusahaan yang mau membantu kami. Bahkan peeusahaan ayahmu pun saat itu sedang tidak stabil.
Namun ada 1 teman ayahnya Aldian yang mau membantu tanpa imbalan. Kami menerima bantuan itu. Dan menyuruh Aldian ikut dengannya keluar kota." Mama menghela nafas panjang.
"Apa mama juga ikut?" Avril mengerutkan dahinya.
"Tidak." Jawabnya.
"Lalu? Kenapa aku tak pernah melihat mama lagi setelah kepergian Aldi." Avril benar-benar heran.
"Mama tidak berniat bertemu denganmu." Ucapnya membuat Avril tersentak.
"Apa mama membenciku?" Mama hanya menggeleng.
"Bukan. Mama hanya tidak siap dengan pertanyaan yang akan kamu tanyakan tentang Aldi." Ucap Mama menegaskan. Avril kembali memalingkan wajahnya.
"Setelah 3 tahun, Ayahnya meminta Aldi memutuskan dua pilihan. Melamarmu, atau menerima perjodohan dengan anak teman ayahnya. Bagi mama pilihan itu sangat tak bisa Aldi putuskan begitu saja. Jika melamarmu, Aldi akan merasa bersalah pada teman ayahnya karena dia berhutang budi padanya. Tapi jika menerima perjodohan itu, Aldi tak mungkin melepaskanmu. Aldi sangat mencintaimu. Setiap hari Aldi selalu menelpon mama menanyakan kabarmu. Sampai akhirnya Aldi memberikan jawaban atas pilihannya. Dan Aldi memilih untuk melamarmu saat Aldi pulang ke kota ini." Avril kembali terkejut. Air matanya kembali mengalir.
"Namun, mama tak mengerti setelah kembali dari rumahmu, Aldi tiba-tiba menyetujui perjodohannya. Mama sempat berfikir kau menyakitinya, namun mama terus menjauhkan pikiran itu. Hingga Aldi menceritakan semuanya dan memberitahu mama bahwa kau kecelakaan ketika mengetahui bahwa Aldi sudah bertunangan dengan gadis lain." Mama menatap lekat Avril.
"Mama benar-benar terpukul melihatmu terbaring dengan luka di tubuhmu. Ingin rasanya memelukmu saat keadaanmu seperti itu. Tapi, karena mama tak ingin menemuimu secara langsung, mama diam-diam menjengukmu tanpa sepengetahuan Aldi. Dan kau sangat beruntung memiliki kakak ipar seperti Nadia. Dia sangat mengerti situasinya. Hingga tak seorangpun dari keluargamu yang tahu jika mama selalu menemuimu saat kau tak sadarkan diri."
"Kak Nadia?" Avril kembali terheran. Mama hanya mengangguk. Kemudian mama meraih tangan Avril dan menggenggamnya.
"Mama harap kau tak menyalahkan keadaan dan tak membenci Aldian."
"Aku tak membencinya ma.. aku hanya butuh waktu untuk melupakannya saja." Ucap Avril menatap mama.
"Pantas saja semua ibu mengahrapkan kau jadi menantunya. Kau bagai malaikat yang benar-benar nyata." Avril hanya tersenyum.
"Mama terlalu memujiku."
"Mama juga ingin seberuntung ibumu, mempunyai putri secantik dan sebaik ini." Mama mengelus punggung tangan Avril.
"Ah... apa aku boleh tahu siapa gadis yang menjadi tunangan Aldi?" Avril sedikit ragu.
"Tentu saja. Namanya Annisa." Jawab mama tersenyum.
"Wahhh sepertinya dia sangat baik." Ucap Avril tiba-tiba.
Avril begitu terkejut ketika melirik jam dinding cafe.
"Haaaa? Aku lupa!" Ucap Avril menepuk dahinya. "Aku ada kelas. Sial." Avril sibuk merapikan tasnya.
"Kau masih saja seperti ini." Avril hanya tertawa kikuk lalu mencium tangan Mama Dewi.
"Biar mama yang bayar. Kau cepatlah bergegas. Jangan terlambat."
"Tapi...."
"Kau mau datang terlambat?" Ejek mama.
"Hemmm baiklah, dan maaf." Avril berlalu meninggalkan meja itu.
Tepat di pintu, Avril berpapasan dengan Aldi. Pandangannya tetap lurus tak melirik Aldi sedikitpun.
"Avil.." lirih Aldi menatap kepergian Avril yang semakin jauh melajukan mobilnya.
Setelah memastikan mobil Avril tak terlihat, Aldi menghampiri dimana ibunya duduk.
"sepertinya dia membenciku sekarang." Aldi duduk di tempat Avril tadi. Menatap pintu yang terbuka lalu tertutup. Mama hanya menatap Aldi.
. Avril berlari dari parkiran menuju kelasnya.
"Sial kenapa kelasku begitu jauh." Gumam Avril sambil berlari kecil. 'Nyut' bagai terjepit keras, Avril menjatuhkan buku-bukunya. Meraih tiang di sampingnya agar dirinya tetap berdiri. Kakinya tersa sakit karena berlari.
Beberapa orang menghampiri Avril dan memunguti buku yang berjatuhan lalu memberikanya pada Avril.
"Te-terimakasih." Ucap Avril menahan perih dikakinya.
"Sepertinya kau kesakitan." Ucap Sammy menatap Avril.
"Ti-tidak usah. Sa-saya bisa sendiri." Avril memaksakan senyumnya.
"Bukankah kau Avril? Anak ekonomi tingkat 2?" Avril mengangguk.
Avril tak begitu mengenal senior-seniornya. Termasuk Sammy, yang berdiri tepat di depannya itu. Sammy adalah mahasiswa tingkat 3 yang populer dikalangan gadis-gadis. Selain wajahnya yang tampan, Sammy juga berprestasi dibidang olahraga dan sains. Banyak gadis yang mengaguminya. Baik secara diam-diam ataupun terang-terangan. Tapi Sammy tak sedikitpun mempedulikan mereka. Bagi Sammy, itu hanya perasaan kagum yang timbul karena melihat wajah dan prestasinya saja. Sammy hanya menyukai satu gadis. Dan itu adalah Avril, gadis dingin yang selalu bersama 2 sahabat lelakinya.
Sammy mengulurkan tangannya. "Biar aku bantu" ucapnya dengan wajah datar.
Tak disangka, uluran tangan itu di balas oleh Bagas yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Maaf kakak senior, kebetulan Avril teman sekelas kami. Jadi, biarkan kami saja yang membantunya." Kemudian Bagas merangkulkan di Avril dipundaknya.
"Jangan berlari jika kakimu belum sembuh total." Reno mengambil buku yang ada dipangkuan Avril.
Avril hanya menunduk.
"Jangan merasa dikejar waktu. Dia berjalan, bukan berlari. Dia juga tak akan meninggalkanmu." Ucap Bagas menuntun Avril.
"Bicara apa kau?" Avril melirik tajam Bagas.
Bagas hanya tertawa kecil.
Sampai di kelas, ketiga sahabat itu terkejut mendapati dosennya sudah dikelas.
"Kupikir kalian membolos." Sindir pak dosen.
"Maaf pak. Kami membantu Avril dulu." Ucap Reno mencari alasan.
"Memangnya Avril kenapa? Bukankah sudah biasa Avril selalu terlambat 3 menit." Ucap pak dosen menepuk-mepukan kakinya.
"Avril..." Bagas melirik kaki Avril.
"Hahhhh baiklah. Hari ini kalian bapak maafkan. Bapak memaklumi alasan kalian." Pak dosen menghela nafas panjang.
"Avril berlari karena mengejar waktu juga pak." Ucap Reno menyimpan buku Avril dibangkunya.
"Kau bicara sesuatu Reno?"
"Tidak pak. Itu perut saya yang bicara." Ucap Reno santai.
Pak dosen beberapa kali menghela nafas panjang.
"Apa seperti ini sikap anak jendral dan komandan kepolisian?" Gumam pak dosen.
. Disisi lain, Aldi mengantar ibunya pulang.
"Kapan kakak pulang?" Tanya Aldi yang fokus pada jalanan.
"Minggu ini. Kenapa?" Tanya Mama menoleh pada Aldi.
"Tak apa."
"Jika ada apa-apa, sebaiknya kau bicara." Mama menepuk pundak Aldi. Aldi terus terfokus menyetir.
--
. Ketika pulang, Avril berjalan santai menuju parkiran dengan Syifa.
"Emm Avril. Akhir-akhir ini kau tak bercerita tentang dia lagi. Apa kau benar-benar akan menyerah?" Avril menggigit bibir bawahnya. Menahan agar air matanya tak jatuh dihadapan Syifa.
"Ahhh sepertinya begitu. Sudah terlalu lama juga aku berharap dia kembali, tapi sepertinya harapan ini sudah bukan lagi harapan." Avril mencoba tersenyum pada Syifa.
"Begitu ya... padahal aku ingin melihatmu bahagia jika bertemu dengannya. Sejujurnya aku sedih melihatmu seperti kesepian, menolak setiap lelaki yang menyukaimu. Tapi jika ini keputusanmu, semoga saja kau bertemu dengan seseorang yang benar-benar menyayangimu, yang tak pernah meninggalkanmu, selalu memprioritaskan dirimu, dan selalu berusaha membuatmu bahagia." Syifa menerawang jauh kedepan.
Avril menatap Syifa dalam, kemudian tersenyum.
"Iya... semoga saja."
Belum sampai di parkiran, terlihat Sammy berdiri di ujung koridor kelas. Avril terus melangkah melewati Sammy tanpa menoleh sedikitpun.
"Avril..." panggil Sammy membuat Avril terhenti dan menoleh.
"Kakak memanggil saya?" Avril menunjuk dirinya sendiri. Sammy tersenyum dan mengangguk. Kemudian Sammy melangkah mendekati Avril.
"Kakimu sudah baikan? Kalau belum, aku tak keberatan mengantarkanmu pulang." Sammy menatap hangat pada Avril.
"Tidak terima kasih kak. Saya membawa mobil sendiri." Jawab Avril melirik Syifa.
"Tapi..." 'kringg' suara ponsel Avril berbunyi. Avril merasa senang siapa yang menelpon. Avril sengaja memperlihatkan senyum manisnya. Lalu menjawab panggilan telponnya.
"Hallo. Maafkan aku. Tapi aku agak terlambat. Bisakah kau menunggu lebih lama?" Ucap Avril.
"Apa maksudmu? Aku belum bicara apa-apa." Alvi terdengar kebingungan.
"Sebentar saja. Aku mohon, ada temanku yang ingin bicara penting padaku." Avril melirik Sammy.
"Avril? Aku tak mengerti."
"Baiklah. Terimakasih! Aku akan menemuimu secepatnya, dan aku akan meminta maaf secara langsung padamu." Avril memasang wajah bersalah.
Alvi tak bicara, sepertinya bicarapun tak ada artinya. Alvi merasa meraada yang janggal dari ucapan Avril.
"Bagus. Sebaiknya kau jangan bicara Alvi" gumam Avril tersenyum.
"Apa? Kau sakit? Mendadak sekali! Baiklah aku akan segera kesana." Ucap Avril menutup panggilan.
"Kak Sammy maaf saya permisi." Avril berlalu meninggalkan Sammy.
. Disisi lain, Alvi terus menatap kesal layar ponselnya.
Alvi memanggil Avril lagi.
"Jelaskan" tegas Alvi setelah tersambung pada Avril.
"Apa?" Tanya Avril polos.
"Jangan pura-pura lupa Avril."
"Kenapa kau terdengar kesal?"
"Aku tidak kesal." Geram Alvi.
"Lalu? Kenapa kau seperti harimau kesurupan?" Ejek Avril.
"Kau tidak memberikanku kesempatan bicara, lalu kau menutup telponnya begitu saja." Alvi menghela nafasnya.
"Ahhhh maaf tuan... aku sedang terdesak. Jadi? Apa yang ingin anda katakan.?"
"Hmmmph. Aku merindukanmu bodoh." Alvi mengacak rambutnya.
Namun Avril tak bicara lagi setelah mendengar Alvi.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments