Kulihat Alvian masih terdiam menatap senja yang mulai gelap.
Aku yang masih tak percaya, berbicara bahwa Aldi adalah temanku. Aku benar-benar tak mengerti dengan otak ku saat ini.
Setelah itu, Alvi mengantarkanku pulang.
Sampai dirumah, bibi memberitahukanku bahwa seseorang datang mencariku.
"Siapa bi?" Tanyaku duduk di sofa.
"Dia tidak menyebutkan namanya, namun bibi seperti mengenal dan pernah melihatnya." Jelas bibi
"Aku tidak punya teman laki-laki, selain Bagas, Reno dan Alvian sekarang bi." Aku semakin bingung.
Apakah Aldi? Tapi jika benar itu Aldi dia akan memberikan penjelasan pada bibi, setidaknya menyebutkan namanya.
"Tapi setelah bibi memberitahu bahwa non pergi ke acara di kantor, dia langsung bergegas pergi." Lanjut bibi menjelaskan.
"Baiklah bi. Aku akan memikirkannya nanti." Aku berlalu menaiki tangga menuju kamarku.
Pikiranku kembali berkecamuk. Perasaan tak karuan, tidurpun tidak nyenyak.
. Esok paginya, aku ada janji lagi dengan Syifa ditaman. Sebelum akhirnya aku masuk kuliah.
Jadwal kuliahku hari ini siang. Aku punya banyak waktu bertukar cerita dengan Syifa.
. Sampai ditaman, Syifa sudah menungguku.
"Sudah lama?" Tanyaku duduk disampingnya.
"Tidak juga." Jawabnya tersenyum. "Bagaimana acaranya?" Lanjutnya bertanya
"Alhamdulillah lancar." Jawabku tersenyum.
"Syukurlah" ucapnya berbinar
"Dan kau?" Tanyaku membalas bertanya.
"Lancar, tapi..." Syifa sedikit menunduk.
"Tapi?" Aku memiringkan kepalaku.
"Sepertinya dia tak menginginkan perjodohan ini." Aku semakin heran dengan ucapan Syifa.
"Tapi anehnya dia tetap melanjutkan dan menerimanya." Lanjut Syifa menjelaskan.
"Hemmm mungkin memang seperti itu. Bersabarlah, hubungan kalian akan baik-baik saja kedepannya." Avril mengusap lengan Syifa. Syifa mengangguk pelan. "Jika sudah baik-baik saja, jangan lupa kenalkan aku padanya." Lanjut Avril dengan nada ejekan.
"Baiklah...." Syifa tertawa kecil menanggapi Avril.
Dering ponsel Avril berbunyi, dilihatnya siapa yang menelpon.
"Bagas? Hallo" tanda Avril menjawab panggilan.
"Kau dimana?" Tanya Bagas dari sebrang.
"Aku ditaman kota. Ada apa?" Avril mengerutkan alisnya.
"Benarkah? Kau disebelah mana?"
"Aku di sebelah utara di kursi warna merah." Jelas Avril.
"Baiklah! Aku akan kesana!" Bagas menutup panggilannya.
"Ada apa Avril?" Tanya Syifa.
"Bagas. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi dia bilang akan kesini." Avril menjelaskan dengan wajah polos menatap ponsel.
"Avril.. aku duluan. Aku mau ke toko buku dulu. Setelah itu mungkin aku langsung ke kampus." Ucap Syifa.
"Baiklah.. hati-hati. Aku akan disini sementara waktu, menunggu Bagas datang." Avril tersenyum.
"Ya sudah! Jangan sampai telat ke kampus oke?" Syifa meninggalkan Avril.
Avril mulai fokus pada ponselnya.
"Avril" panggil Bagas yang sudah ada disampingnya.
"Ya?" Avril mendongak, lalu berdiri dari duduknya. Menjatuhkan ponselnya, dan menatap seakan tak percaya siapa yang di depannya.
"Avil" lirih Aldi tersenyum namun menahan genangan air di kelopak matanya.
Aldi memeluk Avril dengan erat. "Maafkan aku...." Air matanya sudah tak terbendung lagi. Avril membenamkan wajahnya di dekapan Aldi.
"Kau tak salah. Kau tak perlu minta maaf." Mulai terdengar isakan Avril.
"Sungguh Avil. Aku minta maaf. Aku mengecewakanmu." Aldi semakin erat memeluk Avril.
"Aku senang kau pulang. Jangan pergi lagi..."
"Hei. Kalian melupakanku?" Bagas mengambil ponsel Avril yang terjatuh.
Aldi melepas pelukan Avril, lalu menggenggam tangannya. "Jangan menangis."
"Kenapa kau tak memberitahuku? Aku bisa menyempatkan menjemputmu ke bandara." Lirih Avril.
"Maaf. Ini mendadak dan aku juga tidak tahu akan pulang ke kota ini. Dan aku tak percaya kau masih menungguku." Aldi menatap datar Avril.
"Kau bicara apa Al. Aku selalu menunggumu."
"Lalu, siapa orang yang menggandeng tanganmu saat acara di kantor ayahmu?" 'Deg' Avril menatap Aldi.
"Maksudmu Alvi? Dia teman kak Galih. Dan bagaimana kau tahu?" Avril semakin lekat menatap Aldi.
"Aku melihatnya sendiri." Jawab Aldi datar.
Avril menggenggam tangan Aldi seakan tak mau melepaskan. Bagai sebuah pisau yang menusuk didadanya, hatinya hancur, nafasnya sesak begitu melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Aldi.
"Apa maksudnya Al?" Avril menunduk menatap cincin pertunangan itu. "Apa ini yang ingin kau tunjukan?" Avril mundur beberapa langkah.
"Avril..." ucap Bagas lirih.
"Dan kau, kenapa kau tak bilang bahwa Aldi...." Avril melirik Aldi. Avril tak melanjutkan ucapannya, menghela nafas berat, dan menatap Bagas dengan tajam. Avril merebut ponselnya dari Bagas, dan berlari meninggalkan taman.
Kemudian Avril melajukan mobilnya dengan cepat. Avril menangis sejadi-jadinya. "Salah apa aku Tuhan? Kau mengambil ibuku, dan sekarang kau memisahkanku dengan Aldi." Ucap Avril didalam mobil.
Saat jalanan sepi, Avril sengaja membantingkan kemudi nya, menabrak pembatas jalan yang mengakibatkan kerusakan parah pada mobilnya. Kemudian kesadarannya mulai memudar.
. Saat membuka mata, terdengar isakan tangis seseorang disampingnya. Avril mengedarkan pandangan, mendapati kak Nadia yang menunduk di samping ranjang.
"Kak Nadia." Lirih Avril. Nadia mendongak, dan mengusap lembut Rambut Avril. "Syukurlah..." Nadia kembali menundukan kepalanya pada lengan Avril.
"Apa aku masih hidup?" Avril menerawang menatap atap.
"Kenapa aku tak mati? Bahkan jika selamat pun, setidaknya aku amnesia." Avril memejamkan matanya. Lalu membuka kembali, menatap jauh pada kedua mata kakak nya. Avril bangun dan bersandar. Menatap dalam pada Galih yang menatap Avril datar.
"Bukankah aku terbentur cukup keras? Semua badanku sakit, kaki ku patah, tapi kenapa kepalaku hanya tergores sedikit saja?" Avril terlihat putus asa.
Galih berjalan mendekati Avril.
"Kak. Bukankah lebih baik jika aku bertemu dengan ibu secepatnya?" Avril menatap lurus kedepan tanpa melirik sedikitpun pada Galih.
'Plak' tamparan keras tepat dipipi Avril. Meninggalkan bekas merah, namun tak membuat Avril meringis kesakitan, bahkan terlihat tak merasakan apapun.
"Kau pikir aku akan diam saja melihatmu seperti ini?" Tegas Galih menatap tajam Avril. "Sudah cukup aku kehilangan ibu, aku tak ingin kehilanganmu, orang yang aku sayangi untuk yang kedua kalinya." Bulir bening mulai mengalir di pipi Galih.
"Tamparanmu tak ada apa-apanya, dibanding rasa sesak yang terus menghalangi pernafasanku." Ucap Avril datar.
"Terserah kau mau mengoceh apa, tapi jangan karena orang seperti Aldian, kau rela kehilangan nyawamu hanya karena sakit hati." Ucap Galih melangkah menuju pintu.
"Kau tahu seberapa besar aku mencintainya kak." Galih berhenti dan menoleh pada Avril.
"Itulah salahnya. Kau terlalu mencintainya, berharap lebih padanya, hingga kau menggantungkan kebahagiaan padanya. Hingga saat kau kecewa, kau merasa dunia tak adil. Tapi sebenarnya kau tak bisa melihat bahwa kebahagiaanmu ada di depan mata. Selama ini ada aku, ayah, bahkan Nadia selalu mencoba membuatmu bahagia, tapi kau sendiri yang memilih rasa sakit itu. Lihatlah orang yang menyayangimu, bukan hanya orang yang kamu sayangi saja. Ingat itu Avril. Aku kakakmu, dan akulah yang tahu persis bagaimana perasaanmu." 'Deg' penjelasan Galih membuat Avril tak berbicara lagi. Galih keluar dari ruangan, berpapasan dengan seseorang yang tak dikenalnya.
"Siapa kau?" Tanya Galih menyernyitkan dahinya.
"Saya Ray tuan" jawab Ray sedikit menundukan badannya. "Saya asisten pribadi tuan Alvian." Lanjut Ray dengan ramah.
"Lalu?" Galih dengan tatapan datar.
"Saya ingin memberikan ini pada nona Avril. Karena beliau sedang ada rapat penting, jadi tak bisa memberikan secara langsung." Ray memberikan sebuah parcel buah-buahan ditangannya.
"Hanya ini?" Galih menatap buah itu dan menerimanya.
"Ummmmm... selebihnya hanya tuan Alvian yang bisa memberikannya." Jawab Ray berfikir sejenak.
"Kau bicara apa Ray. Ahh aku semakin tak mengerti apa yang si playboy itu rencanakan." Galih mengacak rambutnya. Galih kembali kedalam ruangan Avril dan memberikan kiriman itu. Ray hanya tersenyum melihat Galih yang pergi tanpa bicara lagi.
'Benar-benar keluarga dingin' gumam Ray dalam hati.
"Cepat sekali kau membelinya Galih? Apa kau memanggil pengantar pesanan?" Tanya Nadia yang sudah duduk di sofa.
"Ini dari Alvian." Jawab Galih yang membuat Avril menoleh seketika. "Apa? Kau mau bertanya dimana dia?" Galih menatap tajam Avril.
"Tidak" Avril kembali memalingkan pandangannya.
"Aku yang ingin bertanya itu Galih." Timpal Nadia dengan serius.
"Hemmm jadi kau mulai berani menanyakan laki-laki lain padaku?" Galih berjalan menghampiri Nadia. "Aku calon suamimu Nadia!" Lanjut Galih mendekatkan wajahnya pada Nadia. Nadia menepuk kedua pipi Galih dan menatapnya.
"Tentu saja tidak tuanku." Nadia tersenyum memejamkan matanya. "Aku hanya ingin tahu saja apakah Alvian benar-benar menyukai Avril atau tidak." Lanjut Nadia sedikit berbisik.
"Hemmmm benarkah?" Galih menatap lekat kedua mata Nadia.
"Ahemmm... apa kalian tak bisa menahan diri? Ada aku di sini." Avril yang masih memalingkan wajahnya.
'Ceklak' suara pintu terbuka.
"Avril. Akhirnya kau sudah bangun" ucap Bagas terengah-engah.
Avril hanya menoleh sedikit dan kembali fokus pada jendela.
"Kau masih marah padaku?" Avril tak menjawab pertanyaan Bagas.
"Avril... aku mohon jangan seperti ini. Aku benar-benar baru tahu juga saat itu." Bagas menghampiri Avril.
"Sudahlah Bagas. Aku sudah tak ingin mendengar ocehanmu. Kau tak salah, tak perlu meminta maaf seperti itu. Aku saja yang terbawa emosi." Avril tetap fokus pada jendela disampingnya.
"Avril... aku ingin memelukmu." Rengek Bagas.
"Silahkan Bagas. Aku juga ingin sekali memukul kepalamu." Avril memasang senyum manisnya.
"Baiklah. Tidak jadi." Bagas memalingkan pandangannya.
"Hei kak Galih! Apa kau akan merestui jika aku menyukai adik kesayanganmu ini?" Ucap Bagas menoleh pada Galih.
"Tidak akan.!" Tegas Galih.
"Ayolahh... aku tidak akan mengecewakannya. Aku berjanji." Lanjut Bagas memasang 2 jari.
"Aku tidak akan memberikan adikku pada berandalan sepertimu." Tegas Galih lagi.
"Be-beran-dalan?" Seketika Bagas menjadi depresi.
"Hei Bagas?" Panggil Avril.
"Hmmmm?" Bagas menoleh pada Avril.
"Apa banyak tugas saat aku tak masuk?" Avril menatap Bagas datar.
"Bukan banyak lagi, tapi menggunung. Kau tak masuk selama 1 pekan, dan bersiaplah saat kau sembuh maka kau akan cepat masuk rumahsakit lagi karena stres dengan tugasmu." Ucap Bagas menatap tajam Avril. Avril terbelalak mendengar ucapan Bagas, lalu menoleh pada Galih. Galih hanya memalingkan pandangannya dan Nadia hanya memasang wajah tidak tahu.
"Sial. Ini tidak lucu." Avril mencengkram erat selimut di depannya.
Bagas menatap ngeri teman kecilnya itu.
"Baiklah. Aku pulang dulu! Cepatlah sembuh. Teman-teman sudah merindukanmu." Ucap Bagas yang berlalu ke balik pintu.
Avril terdiam. Rasanya hanya ingin berdiam saja dikamar itu.
'Ceklak' suara pintu kembali terbuka. Seorang dokter muda memasuki ruangan dan menyuruh Galih dan Nadia untuk keluar selama dia memeriksa Avril.
Avril dengan sikap dinginnya mematuhi apa yang di ucapkan dokter itu.
"Badanmu akan segera pulih, tapi untuk kakimu sebaiknya jangan dipaksakan untuk berjalan. Karena akan fatal nantinya. Jika ingin berpergian, gunakan tongkat atau kursi roda." Jelas dokter itu dan Avril hanya mengangguk.
Meski sudah selesai, Noah masih tetap menatap kearah Avril yang sedari tadi menatap keluar jendela.
"Avril. Terimakasih! Kehadiranmu sudah merubahnya." Avril menoleh dan terheran, tak mengerti apa yang di ucapkan Noah. "Kau tak mengerti ya?" Noah menggaruk kepalanya.
"Akan ku ceritakan." Noah berjalan dan membuka lebar jendela. Menatap ke kejauhan gedung-gedung, dan menghela nafas panjang. "Aku punya teman. Dia sangat kesepian, orang tuanya sudah meninggal. Aku sendiri tak bisa menghiburnya. Setiap malamnya, dia habiskan untuk minum di club. Pulang dengan keadaan mabuk. Yaa sebelum kehilangan orang tuanya, dia anak manja yang memakai uang orang tuanya untuk memikat para wanita di sekolahnya. Tapi setelah insiden itu, dia benar-benar berubah. Aku tak mengenali sahabatku sendiri. Tapi tak ku sangka, seorang Avril Vania yang dikenal dingin bisa memikat hati sahabatku. Padahal selama ini, tak ada wanita yang bisa menarik perhatiannya. Jadi, aku harap kau tak meninggalkannya Avril." Noah menatap harap pada Avril.
"Apa yang kau maksud itu Alvi?" Tanya Avril datar.
Noah terkejut. Lalu menggaruk kembali kepalanya.
"Ternyata kau sudah tahu."
"Mudah sekali menebak ceritamu dokter...." Avril menatap konyol pada Noah. "Jadi? Kapan aku pulang?" Tanya Avril penuh harap.
"Sekitar 3 hari lagi, itupun jika kakimu sudah membaik." Avril menggembungkan pipinya mendengar jawaban Noah.
"Baiklah. Cepat sembuh nona Revano." Noah berjalan berlalu menuju pintu.
"Jangan mengejekku dokter sialan" geram Avril.
"Ahaha pundakku terasa panas sekali. Ha ha ha." Noah menutup pintu sedikit keras. Lalu mempersilahkan kembali Nadia untuk masuk. Namun Galih sudah tak disana.
"Terimakasih Noah. Upss maaf dokter." Nadia menutup mulutnya.
"Tak apa kak. Panggil aku sesukamu. Toh saat dirumah, kau akan kembali mengejekku." Noah melipatkan tangan di dadanya.
"Baiklah jangan marah." Nadia membuka sedikit pintu.
"Kak! Jika saja Alvi tidak menyukai Avril, apa kau akan mengizinkanku mencintai Avril?" Ucap Noah tiba-tiba. Nadia terdiam memegang erat gagang pintu.
"Sebaiknya kau tanyakan itu pada dirimu. Jika kau juga mencintai Avril seperti Alvi, bersainglah secara sehat. Tapi aku harap salah satu dari kalian ada yang mengalah." Nadia berlalu masuk kedalam ruangan. Noah menghela nafas panjang. Lalu kembali ke ruangannya.
. Didalam kamar pasien, Avril kembali terisak. Entah karena badannya yang sakit, atau mengingat mobilnya yang pasti rusak parah, atau juga mengingat kembali kenyataan bahwa Aldi sudah mengkhianatinya. Dadanya sesak. Pikirannya kembali kacau. Nadia memeluk erat Avril, dirasanya Avril sudah seperti adiknya sendiri.
"Sudah. Semuanya akan baik-baik saja." Nadia mengelus lengan Avril.
"Aku merindukan ibu." Tangisnya pecah.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
gorila cinta
agak pusing baca nya, nama nya agak sama ya autor
2022-05-26
0